BERASAP, bau dupa langsung menyeruak di udara. “Teng, teng, dum, dum” bunyi simbel dan genderang di pukul nyaring, bertalu-talu. Cuaca panas tidak membuat warga berteduh. Malah, mereka berdesak-desakan mencari lokasi terbaik untuk melihat atraksi tersebut. Sebagain warga membawa anak kecil di gendongan –yang sesekali tertawa riang setiap atraksi sejumlah pemuda di depannya. Tak sedikit yang mengabadikan momen itu dengan kamera telepon seluler.
Atraksi heboh itu merupakan pertunjukan kolaborasi Barongsai dan Liong di depan Vihara Maitri, Gampong Mulia, Banda Aceh. Pertunjukan ini bukanlah hal yang biasa di Banda Aceh, kota yang memberlakukan syariat Islam. Meski sudah menjadi salah satu cabang olah raga resmi di Indonesia, pertunjukan pertunjukan singa dan naga itu masih jarang ditemui selain dalam perayaan- perayaan yang digelar etnis Tionghoa saat menyambut Imlek atau hari besar bagi etnis turunan tersebut. Uniknya, sejumlah putra-putri Aceh terlibat dalam kelompok Barongsai dan Liong. Setidaknya, hal ini diketahui dari dua remaja putri yang mengenakan jilbab.
Hari itu, liuk-liuk naga dan singa diadakan untuk merayakan Tahun Baru Imlek 2566, Kamis, 19 Februari 2015. Ramai etnis Tionghoa mengunjung vihara-vihara di Banda Aceh. Vihara Maitri termasuk salah satu vihara yang menggelar perayaan dan doa. Para jemaat terus berdatangan untuk berdoa, khusuk dan khidmat. Para pengunjung yang ingin menyaksikan pertunjukan dibenarkan mendekat dan memasuki vihara yang dihiasi dekorasi serba merah.
Genderang terus ditabuh, asap dupa, lilin yang dibakar tidak membuat yang datang menyurutkan niatnya. Saat berfoto dengan dua ikon pertunjukan sangatlah dinantikan. Bahkan, tiga polisi yang berjaga ikut berfoto bersama.
Kemeriahan yang terjadi pada Tanggal 19 Februari 2015 adalah salah satu dari rangkaian acara yang sudah dimulai tengah malam untuk menyambut tahun baru Imlek 2566 yang ditandai dengan berakhirnya tahun kuda dan berganti menjadi tahun kambing kayu dalam kalender masyarakat Tiongkok.
Keramaian itu berlangsung hilang ketika rombongan Barongsai dan Liong meninggalkan halaman Vihara yang tertinggal para petugas dan para peziarah yang berdoa dan menambah minyak ke lilin pelita yang akan terus menyala selama tiga hari kedepan. Di dekat pintu masuk juga terdapat lilin lilin berukuran besar dan pohon anpau yang mirip bunga Chery Blossom ciri khas musim Semi negara Asia Timur.
“Perayaan Imlek itu memang berbarengan dengan datangnya musim semi, tapi kan di sini cuma ada dua musim sehingga ini suka cita yang juga terus dirayakan bersama keluarga,” cerita seorang peziarah yang datang bersama keluarganya.
Di sudut lain ruangan itu terlihat keluarga lain yang membeli perlengkapan untuk sembahyang yang terdiri dari dupa, lilin, dan kertas bewarna kuning. Beberapa lainnya mendaftarkan nama mereka untuk dituliskan di lilin pelita, nama-nama keluarga itu ditulis dalam karekter Cina yang akan ditempel di gelas gelas lilin pelita. Untuk menjaga agar api lilin itu tetap hidup selama tiga hari kemudian mereka membayar 100 ribu Rupiah. Ucapan Gong Xi Fat Chai, yang artinya selamat, pun terdengar di penjuru bangunan.
“Perayaan tahun ini memang lebih sepi dari tahun kemarin. Tahun kemarin pelitanya lebih dari 500, tahun ini 300 pun tidak sampai. Mungkin keadaan ekonomi setahun terakhir kurang bagus,” ungkap salah seorang petugas yang dipanggil Bibi.
Hal yang pertama kali dilakukan untuk sembahyang pada hari itu adalah membakar dupa, lilin lalu kertas bewarna kuning yang melambangkan uang yang dimaksudkan untuk mendatangkan banyak rezeki di tahun yang akan datang. Setelah melakukan sembahyang di depan altar utama, mereka bergegas keluar untuk membuang kertas yang dibakar lalu bergegas ruangan yang terletak di belakang untuk memberi penghormatan kepada leluhur.
“Dalam sejarahnya banyak perumpamaan memang seperti warna merah ini selain doa juga melambangkan kemeriahan dalam menyambut tahun baru, sama juga dengan ikan koi yang melambangkan hoki dan lainnya kalau saya banyak lupanya,” tambah petugas itu lagi sambil bergegas membereskan dan membereskan dupa dan lilin yang sudah habis terbakar.
Di Banda Aceh ada empat Vihara yang melaksanakan perayaan Imlek yaitu Vihara Dharma Bakti, Vihara Maitri, Vihara Setia Muni dan Vihara Dewi Samudera.
Walaupun siang makin panas suasana di Vihara Dharma Bakti masih ramai, berbagai ucapan selamat masih tergantung di pagar Klenteng itu, bau dupa pun masih tercium kuat, dibandingkan tiga vihara lain tempat inilah yang paling dikenal dan mudah dijumpai. Ini juga yang paling tua dan masih sangat kental tradisinya.
“Vihara ini sudah lama sekali sudah lebih seratus tahun ada di sini dan orang lebih mengenalnya dengan nama Tepekong,” ungkap Fajar Saputra, sekertaris Vihara Darma Bakti Banda Aceh. Di tempat ini juga tradisi China yang sangat kental dengan berbagai ornamen khas , naga dan juga lampion yang tergantung di sepanjang pintu masuk.
Lampion Merah, Barongsai, kue keranjang, dan Angpau adalah beberapa hal yang selalu ada setiap kali perayaan tahun baru Imlek. Menurut pria yang mempunyai nama Tiongkok Yang Kuang Siung semua itu mempunyai makna tersendiri.
“Seperti kue keranjang, ini makanan khas Imlek bila kita berkunjung ke rumah rumah keluarga pasti ada. Ini merupakan perumpamaan agar ikatan kita ke depannya tetap erat seperti sifat kue ini yang lengket,” cerita pria yang juga akrab disapa A Siung.
Eratnya ikatan antara Imlek dan Barongsai mempunyai cerita yang sudah cukup lama melekat dalam cerita rakyat masyarakat Tiongkok. Alkisah pada zaman Dinasti Qian ada sebuah desa yang selalu diganggu oleh makhluk jahat yang menakuti masyarakat suatu ketika muncullah singa yang melawan makluk itu hingga kalah. Ketika makhluk jahat itu kembali, tidak ada singa yang muncul. Masyarakat mulai memakai kostum singa dan memukul genderang untuk mengusir penggangu itu dan berhasil.
“Inilah yang melatar belakangi kenapa ada Barongsai dan setiap perayaan Imlek. Jadi tarian Singa itu dilambangkan sebagai pengusir aura-aura buruk dalam setahun ke depan,” kisah Fajar.
Lampion yang tergantung bertuliskan aksara Tiongkok merupakan doa dan harapan untuk tahun depan sama halnya seperti lilin pelita.
Perayaan Imlek dan warna merah dalam tradisi Tiongkok, berdasarkan cerita mitos perayaan ini baru dilaksanakan setelah Nian –makhluk yang memangsa ternak, tanaman, anak kecil — datang setiap pergantian tahun. Masyarakat selalu memasak makanan enak dan meletakkannya di depan rumah untuk menghindari serangan. Suatu hari masyarakat Nian ketakutan saat akan memangsa anak dengan pakaian berwana merah. Sejak itu, warga percaya bahwa Nian takut dengan warna merah dan mulai memasang banyak ornamen merah ketika pergantian tahun datang.
“Selain itu merah tandanya juga meriah, pembawa hoki dan pembawa kesejahteraan,” tambah pengusaha ini lagi.
Fajar Saputra atau A Siung datang kembali ke vihara untuk sembahyang sebelum kembali mengunjungi rumah kerabat terdekat. Satu lagi tradisi yang melekat ketika Imlek yaitu pulang kampung. Namun menurut Fajar, hal ini jarang dilakukan oleh etnis Tionghoa yang ada di Aceh.
“Kita mau pulang ke mana? Lahir dan besar di sini. Ayah juga orang sini. Kalau ditanya orang kampungnya di mana, ya di Aceh sini,” Fajar tersenyum.
“Kita senang tinggal disini, walaupun ada syariat Islam namun itu tidak masalah selama semuanya masih menjaga satu sama lainnya,” ungkapnya sebelum beranjak pergi.
Sebelum Vihara Dharma Bakti ditutup pada jam 5 sore, banyak warga Banda Aceh yang datang untuk berfoto dan melihat tradisi masyarakat keturunan ini. Di antara mereka juga terlihat turis asing.
Populasi warga keturunan Tionghoa yang ada di Aceh kebanyakan datang dari suku Khek atau Hakka yang dulunya di dalam sejarah lebih dikenal dengan Suku Han Yang datang bermigrasi berbeda dengan Sumatera Utara yang banyak dijumpai adalah Suku Hokian. Selain kurang dalam hal jumlah perayaan tahunan ini juga kurang meriah bila dibandingkan provinsi tetangga.
“Malam penyambutan Imlek pusatnya itu pada pukul 00.00 besok paginya silaturrahmi ke seluruh keluarga. Buat penganut agama Budha, mereka akan ikut sembahyang lagi di Vihara Setyamuni dan mereka yang Kristen akan melakukannya di gereja, tidak ada yag berbeda,” ujar Kho Khie Siong Ketua Yayasan Hakka Aceh. Yayasan ini menjadi pusat perkumpulan Warga keturunan Etnis Tionghoa yang ada di Aceh.
Menurut pria yang akrab disapa Aky ini, perayaan Imlek di Aceh memang tidak terlalu ramai dan meriah. Namun, mereka tetap merayakannya dengan ceria dan khidmat.
“Perayaan di sini kita sesuaikan dengan pelaksanaan Syariat Islam yang ada di sini, walaupun tidak ada himbauan dari pemerintah. Kita juga harus saling menghargai. Di sini kita masih bisa melihat toleransi tampa meninggalkan identitas diri,” tambah Aky.
Pada Imlek tahun ini, atraksi kolaboratif Barongsai dan Liong dipentaskan dalam durasi waktu yang lebih lama. “Untuk menambah kebahagiaan dan kegembiraan warga,” lanjut Aky.
Populasi warga keturunan di Banda Aceh hanya berkisar empat sampai lima ribu jiwa yang sebagian besarnya tinggal di daerah Peunayong. Desa di Kecamatan Kuta Alam ini dikenal sebagai Pecinan Aceh, meski tidak ditemukan bangunan bersejarah yang menggambarkan bahwa itu pecinan.
“Sama seperti budaya lainnya kalau dijaga dan dilestarikan agar generasi muda tidak lupa tradisi nenek moyang,” kata Aky. Ia sendiri mengaku sudah banyak lua budaya warisan nenek moyang mereka. “Untuk bidang seni budaya kita tinggal sekali, para orang tua yang mengerti pun tinggal dihitung jari dan kalau anak mudanya nggak mau belajar ya bisa hilang,” kali ini, Aky gundah. [Khiththati] Tulisan ini sudah dimuat di ACEHKITA.com. http://www.acehkita.com/2015/02/kolaborasi-singa-dan-naga-di-negeri-syariat/