Berasal
dari keluarga penenun turun-temurun, Dahlia cemas songket Aceh akan punah.
Regenerasi penenun tidak berjalan lagi. Almarhumah ibundanya, Nya’ Mu, dulu
memperoleh penghargaan dari pemerintah Indonesia untuk dedikasinya dalam
melestarikan wastra berharga ini.
Ilalang tumbuh tinggi di halaman rumah
panggung bergaya tradisional Aceh yang berada di Jalan Teungku Glee Ineum
Lorong Abu Lampisang No. 16 itu. Pintu pagarnya tidak dikunci. Dalam rumah
terlihat beberapa bagian yang terbuat dari kayu telah lapuk. Rumoh teupeuen (rumah tenun) yang
didanai pembuatannya oleh Dinas Perindustrian Aceh ini terasa sunyi.
Sejak Nya’ Mu, panggilan akrab untuk
sang pemilik rumah yang bernama Maryamu, meninggal dunia pada Februari 2009
lalu, pemandangan tadi jadi lumrah. Dahlia, anak perempuan Nya’ Mu satu satunya, kini meneruskan usaha ibunya
yang dinamai Songket Aceh Gema Beusare. Mereka pernah memiliki gerai di Kampung
Mulia, Banda Aceh, tapi hancur akibat bencana tsunami pada 26 Desember 2004 dan
sampai sekarang tidak dibangun lagi. Di kampung Siem, di kabupaten Aceh Besar, semua
orang mengenal keluarga Dahlia sebagai pembuat songket turun temurun. Jarak
Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh, ke kampung Siem sekitar 40 menit bermobil.
Rumah Dahlia berdekatan dengan rumah
tenun sang ibu. Namun, dia hanya menenun di hari Sabtu dan Minggu saja di situ.
Di hari-hari lain, dia harus menjaga cucu, memasak dan membenahi rumah.
Orang-orang Aceh kini jarang
mengenakan songket, kecuali untuk upacara adat. Kebutuhan keluarga Dahlia tidak
dapat lagi bertumpu dari usaha ini. Di Aceh Besar, songket hanya menjadi aseo
talam (barang hantaran) dari keluarga laki-laki kepada perempuan di hari
pernikahan. Ija seunalen (pakaian ganti) dianggap sebagai ulee ija
atau kain yang nilainya paling tinggi dibanding barang hantaran lain, bahkan
dianggap sebagai penghargaan terhadap perempuan itu sendiri.
Nya’ Mu, ibunda Dahlia, menerima
berbagai penghargaan berkat upayanya melestarikan songket Aceh. Salah satu
potret di dinding rumah memperlihatkan Nya’ Mu sedang menerima penghargaan Upakarti di Istana Negara, Jakarta, pada 28
Desember 1991, yang diserahkan presiden Soeharto.
“Banyak yang saya tidak sempat belajar dari
Ibu. Dia bisa menciptakan motif pada kain dan sekarang kami menenun dari apa
yang pernah dibuat oleh Ibu dulu,” kata Dahlia, yang biasa disapa “Kak Dah” seraya
mengeluarkan koleksi songket dari lemari kaca.
Dahlia kemudian membentangkan sehelai
songket tua. “ini buku kain songket. Orang zaman dulu tidak bisa menggambar. Mereka membuat buku
motif dengan menenun,” tuturnya. Kain itu berusia sekitar 200 tahun, berukuran
50 x 50 cm, berisi 25 motif kuno. Meskipun sudah lapuk dan berlubang di sana
sini, ada yang ingin membelinya dengan harga puluhan juta. Dahlia mewarisi kain tersebut dari ibunya,
sedangkan sang ibu mewarisi kain yang sama dari neneknya, Naimah, yang juga
menerima pusaka keluarga ini dari mendiang orangtuanya. Salah satu motif di
kain itu adalah motif pada selendang hitam yang dipakai pahlawan Aceh, Cut Nyak
Dien, yang juga orang Aceh Besar. Berdasar catatan sejarah, songket tertua Aceh
ditemukan di Pidie antara abad ke-10 dan abad ke-11.
Songket Aceh tidak memiliki motif
mahluk hidup seperti manusia dan hewan, melainkan tumbuhan atau awan yang menjadi
inspirasi. Interpretasi dari masa lalu terhadap ajaran Islam telah membuat
peniruan bentuk manusia dan hewan dilarang.
Nya’ Mu sendiri mencipta lebih dari 50
motif songket. Motif-motif ini dulu pernah diterbitkan oleh Dinas Perindustrian
Aceh dalam bentuk buku pada tahun 1992. Tapi sekarang para pembeli tidak
terlalu memperhatikan motif. “Mereka lebih memilih warna,” ujar Dahlia. Songket
tradisional Aceh terdiri dari empat pilihan warna, yaitu hitam, merah, kuning
dan hijau. Sekarang songket dengan warna baru, seperti merah muda, ungu dan
campuran beragam warna menjadi pesanan pembeli.
Harga seperangkat songket dan
selendang, berkisar dari Rp 400 ribu sampai Rp 1 juta. Bahan bakunya mahal.
Prosesnya juga membutuhkan waktu 15 hari. Sutra dan benang emas untuk membuat songket
berasal dari Bandung, yang dibeli Dahlia di Medan.
Ketika ibunya masih hidup, mereka
mempunyai peternakan ulat sutra sendiri dan memproduksi warna-warna untuk
songket dari bahan-bahan alam. “Semua pekerja datang dari Pulau Jawa. Waktu konflik (antara pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) memanas, mereka terpaksa pulang kampung,
sehingga puluhan ulat itu mati karena tidak ada yang mengurus,” kenang Dahlia.
Nasib songket Aceh pun terancam punah.
Tidak ada regenerasi penenun. Dahlia cemas, “Dulu Ibu sangat yakin bahwa
setelah perdamaian (di Aceh) akan banyak yang akan datang untuk belajar membuat
songket, tapi ternyata tidak ada murid ibu yang kembali. Mereka beralih profesi
menjadi tukang bordir, karena itu lebih cepat menghasilkan uang,” Selain itu,
tidak seorang pun anaknya bersedia meneruskan usaha penenunan ini, meskipun
mereka bisa menenun. Membuat songket tidak hanya membutuhkan ketelitian, tapi
juga tidak mampu mendatangkan uang secara rutin.
Songket-songket dari kampung Siem tidak pernah
lagi ikut serta dalam pameran di mana pun. Kendalanya, kekurangan biaya. Hanya
satu alat yang tengah digunakan di rumah tenun tersebut dan memperlihatkan kain
songket merah jambu yang hampir selesai ditenun pada sore ini, 23 Februari 2015.
Banyak alat tenun telah diselimuti sarang
laba laba di sini. (KHITHTHATI) - Tulisan Ini Sudah dimuat pada Majalah Dewi Edisi (lupa) pertengahan tahun 2015