PUKUL 07.45, 26 Desember 2004, gempa besar 8,9 skala Richter
mengguncang Aceh.
Fahrul terbangun pagi itu, karena ia merasa bumi bergoyang.
Ia langsung tiarap, lalu bergegas keluar setelah gempa mereda. Dijalan
orang-orang berlalu dengan tergesa-gesa, bahkan ada sebagian yang berlari-lari.
Belum hilang rasa kaget Fahrul, tiba-tiba seorang tukang becak yang lewat di
depan rumahnya mengatakan air laut naik. Setelah terdengar tiga kali ledakan,
tsunami pun datang.
Semula ia cuma menyangka itu air pasang biasa. Tak berapa
lama ia mendengar orang-orang mengatakan bahwa air sudah masuk kota. Ia ikut
lari bersama mereka. Tapi langkah Fahrul terhenti begitu mendengar dari
tetangganya banyak orang yang minta tolong di sungai yang tak begitu jauh dari
rumahnya.
Rumah Fahrul terletak di Lambuk, sekitar 15 menit dari pusat kota
Banda Aceh.
Tanpa pikir panjang ia bergegas kembali ke rumahnya. Walau
sudah dilarang ayahnya, ia tetap bersikeras pulang. Ia menitipkan jam tangan,
dompet dan berpesan ia minta dicari bila nanti tak bertemu lagi.
Sampai di rumah diambilnya tali yang biasa digunakannya
untuk memanjat tebing. Dengan membawa tali lengkap dengan alat-alat lain, ia
dan tiga teman yang ditemuinya di jalan melangkah ke arah jembatan Simpang
Surabaya.
Di jembatan itu sudah banyak orang berkerumun. Mereka
melihat ke bawah jembatan, menonton orang yang minta tolong dan
timbul-tenggelam di air hitam yang penuh sampah serta mayat itu.
Fahrul meminta orang-orang membuka jalan untuknya. Ia
berjalan sampai ke besi pembatas, melihat ke bawah dan tanpa sadar ia menangis.
Dengan spontan, ia langsung mengikat tali di besi jembatan
dan meluncur ke bawah. Semula ia ingin menolong seorang pria, tapi ia mendengar
suara yang entah dari mana datangnya agar ia membantu seorang perempuan, sudah
ibu-ibu. Susah payah, ia melalui tumpukan kayu yang menghalanginya. Ia
berhasil mencapai perempuan itu. Begitu si perempuan
berhasil memegang tangannya, tetap tak mudah baginya naik ke atas. Ada orang
lain yang ikut bergelayutan di tangannya. Mereka kembali tercebur ke air hitam
itu. Perempuan tersebut lepas darinya.
Dalam sungai ia melihat banyak mayat melayang, sampai
akhirnya nalurinya mengatakan bahwa ia telah menyentuh tubuh perempuan yang
tadi ditolongnya. Ketika ia berhasil membawanya ke atas jembatan, perempuan itu
malah terjun lagi ke sungai. Dengan susah payah, diraihnya kembali tubuh
perempuan itu dari dalam sungai. Lagi-lagi, si perempuan ingin terjun. Ia tak
ingin hidup lagi. Fahrul kemudian mencari akal untuk membujuknya.
Ia lantas berkata, “Nggak bisa begitu dong bu, anak ibu di
atas tadi minta saya nolong ibu.”
“Mana anak saya?” tanya ibu itu.
Fahrul menunjuk sembarang tempat di atas. Akhirnya mereka
berdua kembali lagi ke atas jembatan. Sebuah ambulan lewat dan Fahrul yang
mencari bantuan pengobatan segera meminta ibu tersebut masuk ke dalamnya. Sejak
itu ia tak pernah lagi bertemu orang yang diselamatkannya itu.
Tepat setahun tsunami, sebuah pameran foto diselenggarakan
di museum Banda Aceh. Fahrul datang, karena diajak temannya. Di depan sebuah
foto, mereka berhenti. Sang teman merasa kenal dekat dengan subjek dalam foto
tersebut. Fahrul juga berkomentar sama. Lama-lama ia sadar bahwa itu adalah
foto dirinya dan perempuan yang ditolongnya. Mereka tergantung di tali. Pada
keterangan foto
tercantum tulisan “pemuda ini dan wanita yang ditolongnya
tewas setelah akhirnya jatuh kembali ke sungai”.
Malam itu juga Fahrul protes kepada panitia dan meminta
mereka mengganti keterangan di bawah foto.
“Itulah wartawan, setelah ambil foto langsung pergi jadi
nggak tahu,” ujar Fahrul, sambil tersenyum.
Sekarang Fahrul agak gemuk dibandingkan waktu tsunami.
Namun, tulang tangannya tak bisa kembali normal. Bekas tali pun masih menghitam
di pergelangan tangan kanannya. Menjelang peringatan tsunami dia selalu
bermimpi kejadian di jembatan itu.
Di hari yang sama, di tempat beda, Saiful Sulaiman tengah
berada di laut. Ia nelayan desa Suak Ribee, Aceh Barat, tapi asal Palembang.
Tahun 1975 ia meninggalkan kampung halamannya, pindah ke Aceh.
Saiful biasa melaut malam hari dan kembali siang esok
harinya dengan membawa ikan-ikan. Malam minggu itu ia berangkat bersama 20
orang dengan 10 perahu. Awalnya Saiful juga tidak merasa ada yang janggal. Laut
tenang dan airnya jadi dingin. Tidak ada ikan yang didapatkannya. Ia sempat
melihat ada ombak besar menghantam darat tapi karena dari
jauh, ia pikir cuma ombak pasang. Tak jua mendapat ikan akhirnya ia dan nelayan
lain memutuskan untuk pulang.
Saiful dan teman-temannya tak menemukan tepi
pantai yang jadi tanda daratan. Rumah-rumah hilang digantikan wujud lautan
berisi sampah. Perahu pun tak bisa berlayar karena tertahan kayu-kayu. Mereka
kemudian berenang mencari daratan.
Saat tsunami itu Saiful kehilangan istri dan anaknya. Empat
tahun setelah tsunami, saya menemuinya. Ia sedang membuat jala bersama istri
barunya, di pinggir laut. Ada perubahan besar di Suak Ribee pascatsunami.
“Setelah tsunami di desa ini tinggal 30 kepala keluarga dari
200 kepala keluarga. Tapi sekarang sudah ramai lagi dan banyak yang saya tidak
kenal,” ujarnya, seraya tersenyum.
Tapi bukan hanya itu perubahan yang terjadi. Setelah tsunami
air laut jadi agak dangkal dan ikan berkurang. Selain perubahan alam,
kedatangan kapal pukat harimau membuat nelayan tradisional seperti dia menjadi
susah dapat ikan.
“Selain itu di sini banyak penjual buah yang mendapat
bantuan perahu, bukan nelayan. Aneh kan?” kata Saiful, lagi.
EMPAT tahun setelah tsunami, Annisa masih terus memikirkan
cara memperbaiki rumahnya. Rumah bantuan ini tanpa dapur dan kamar mandi yang
layak pakai, juga sudah miring sebelah.
Rumah terus melesak ke dalam tanah, sehingga Annisa dan suaminya harus
bertindak cepat sebelum rumah mereka hilang.
Suami-istri ini bekerja sebagai penyadap karet. Desa
Suak Nie, tempat mereka tinggal, sebagian besar daratannya sudah jadi laut.
Warga yang ingin punya rumah harus membeli tanah.
“Semuanya akan ada jalan keluarnya?” tanya Annisa, kecewa.
Tsunami tak hanya melanda Aceh dan menewaskan lebih dari 150
ribu jiwa, kepulauan Nias di Sumatera Utara juga dilandanya. Di Nias, 850 jiwa
jadi korban.
Saat tsunami menghantam desa Sisara Hili, Indra sedang
berada di Gunung Sitoli—ibukota Nias yang letaknya beberapa kilometer dari desa
tersebut. Indra relawan Palang Merah Indonesia. Pukul 12 siang dia bersama
sembilan rekannya berangkat ke tempat bencana. Di hari itu 54 orang berhasil
dievakuasiTim Indra dari desa yang dihuni 120 kepala keluarga itu.
MENJELANG peringatan empat tahun tsunami, saya bertemu Indra
Lesmana Adi Putra Lase dan temannya, Herman. Mereka memberi pelatihan siaga
menghadapi bencana kepada warga.
Sama seperti di Aceh, Nias juga melakukan pembangunan
kembali pasca bencana. Tapi hambatan juga ada.
“Pembangunan di sini juga berjalan lambat. Ada kesalahan di
sana-sini. Bahan bangunannya juga tidak sesuai standar,” ujar Indra.
Rasa percaya dan harapan warga Nias terhadap terhadap Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pun telah memudar.[]Khiththati
# Tulisan ini sudah di publikasikan di AcehFeature.org