Jumat, 28 November 2014

Buaya-Buaya Woyla [Feature]

Pascatsunami buaya-buaya mengganas di sungai Woyla. Korbannya penduduk desa sekitar. Pawang buaya dari Australia pun didatangkan.

KAMIS, 14 Februari 2008, Juariah ditemani menantu perempuan tampak sibuk membuat kue loyang dan spet, kue kering khas Aceh. Beberapa hari lagi akan ada kenduri di rumahnya, untuk mendoakan suaminya yang telah meninggal dengan mengundang penduduk desa. Rusmi Rahmad, suami Juariah, meninggal tiga puluh hari yang lalu karena digigit buaya. Dalam adat Aceh kalau ada orang meninggal, keluarga akan membuat acara doa bersama di rumah maupun di meunasah. Kenduri ini dilakukan di hari pertama, kedua, ketiga, kelima, ketujuh, kesembilan, kesepuluh, keempatpuluh empat dan keseratus orang tersebut meninggal dunia. Pihak keluarga akan memberikan minum atau kue-kue kepada orang yang berdoa.

Di hari naas itu, seperti biasa Juariah dan Rusmi pergi ke sungai pada pukul delapan pagi. Setelah mengambil air, Juariah kembali ke rumah mereka sendirian sedangkan Rusmi tetap di sungai. Belum lagi sampai ke rumah, Juariah mendengar suaminya berteriak. Dengan tergopoh-gopoh Juariah berlari ke arah sungai, tapi Rusmi sudah tak kelihatan lagi. Ia tidak tahu suaminya berada di mana. Rumah Juariah berada sekitar seratus meter dari sungai, di desa Ranto Panyang, Woyla.

Sepuluh tahun lebih sudah ia dan keluarganya tinggal di rumah itu. Setiap kali membutuhkan air, Juariah dan Rusmi akan mengambilnya di sungai di samping rumah mereka. Rumah pasangan ini terletak paling ujung, dekat jalan setapak menuju kebun karet, sawah dan kebun ubi. Rumah tersebut semi permanen, bercat putih dan di pintu masuknya ada gambar bendera merah putih dan tulisan NKRI. Halaman rumah lumayan luas.

Akhirnya dari orang yang berada di sekitar sungai Juariah mengetahui bahwa suaminya hilang diseret buaya ke dalam sungai. Rusmi sendiri baru dilepaskan oleh buaya setelah tiga jam berada dalam air. Tak terbayang oleh Juariah kalau suaminya harus pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

“Sudah sepuluh tahun kami tinggal di sini dan baru tiga tahun terakhir saya melihat buaya ada di dalam sungai. Terkadang mereka juga berjemur dipinggir sungai,” katanya kepada saya, dengan suara agak serak.

Tak jauh dari situ terdapat pangkalan rakit yang menghubungkan antara desa Ranto Panyang dengan desa Pasimali. Buaya membawa Rusmi melewati rakit penyeberangan ini, sehingga para pengayuh rakit ikut mengejar buaya. Namun, buaya bengal tersebut baru melepas Rusmi setelah seorang pawang buaya menjanjikan akan mengganti Rusmi dengan seekor kambing.

Pelheh ureng nyan entrek kamoe ganto degon kameng (lepaskan orang itu nanti akan kami ganti dengan kambing),” ujar Juariah, mengulangi apa yang dikatakan pawang kepada buaya yang menggigit suaminya.

Buaya menuruti permintaan pawang, lalu membawa Rusmi ke pinggir sungai yang agak sepi. Setelah itu Rusmi dibawa pulang dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Seekor kambing pun diikat di tempat yang sama. Keesokan harinya kambing itu hilang. Rusmi menderita luka di kakinya karena gigitan buaya.

Sejak suaminya meninggal, Juariah tak berani lagi dekat-dekat sungai. Menurut Juariah, buaya yang berenang mendekati kita tak akan menimbulkan riak di air sehingga kita tidak tahu kapan ia datang. Untuk kebutuhan air rumah tangga, Juariah sekarang memasang pompa mesin untuk menarik air dari dalam sungai.

Buya nyan baro na, watee kaleh tsunami, barojeh meutem takalen han (buaya itu baru ada setelah tsunami, dulu lihat pun saya tidak pernah),“ kata Juariah, seraya sesekali melihat foto keluarga yang tergantung di dinding. Dalam foto itu nampak Rusmi tersenyum bersama kedua anak laki-laki mereka. Dulu mereka tinggal di Suak Semaseh sebelum pindah ke Woyla.

Pawang buaya dari Autralia juga pernah datang ke rumahnya. Juariah masih ingat dengan baik wajah ketiga pawang itu.

Awak nyak di penget bube aleh nyan di pasang bak krueng, wate di balek singoh ka di tamong buya kenan, di lua bube nasyit lhee boh buya laen (mereka membuat perangkap lalu memasang di sungai, ketika mereka kembali keesokan harinya sudah ada satu buaya dalam perangkap, di luar perangkap ada juga tiga buaya lain),” kisah Juariah, sambil membetulkan letak kaca matanya.

Pawang itu memasang perangkap sekitar 500 meter dari rumah Juariah. Umpannya, seekor babi. Juariah sangat terkesan dengan aksi mereka, terlebih aksi pawang yang perempuan.

Payahai inong tapi hana di takot, tanyo manteng yee bak takalen ( padahal perempuan tapi dia tidak takut, kita melihat saja takut),” kenang Juariah. “Buya yang kap linto lon ka di tembak (buaya yang gigit suami saya sudah ditembak),“ lanjutnya.

Suratkabar Serambi Indonesia pernah memuat berita tentang kedatangan pawang dari Australia untuk menjinakkan buaya di krueng atau sungai Woyla, Meulaboh, Aceh Barat.

Pawang buaya itu dari kebun binatang Brisbane, Queensland. Mereka adalah Rian Coulter, Kate Coulter dan Toby Milliyard. Seorang lagi yang menyertai mereka berasal Taman Safari, Jakarta, bernama Rofandi.

Tim penjinak buaya ini datang ke Aceh atas undangan Perhimpunan Kebun Binatang Indonesia (PKBI), Taman Safari Indonesia (TSI), Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), dan Flora and Fauna International (FFI), dan difasilitasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKASD). Tim ini kemudian mendirikan pos di Kuala Bhee, sekitar satu jam setengah perjalanan dari Meulaboh. Pada tanggal 23 Januari 2008 pawang buaya dari Australia memasang kandang jebakan di aliran sungai Woyla di desa Le Sayang, sekitar dua kilometer dari Kuala Bhee. Esok harinya seekor buaya sepanjang lima meter masuk perangkap. Sekarang buaya itu ada di Jantho, Aceh Besar.

Sebelum itu, pada 19 Januari 2008, seekor buaya berhasil ditembak aparat Kepolisian Sektor Woyla Barat. Buaya itu berhasil dilumpuhkan setelah sepuluh kali ditembak dengan senjata laras panjang. Buaya malang itu sedang asyik berjemur di desa Pasi Jeut.

Rusmi Rahmad meninggal dalam usia 59 tahun. Tapi Rusmi bukanlah korban pertama yang digigit buaya di sepanjang sungai Woyla. Ada seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang pernah diserang buaya di sungai itu juga. Anak laki-laki itu diserang saat ia dan ibunya sedang naik sampan di sungai. Sang ibu selamat dan anaknya meninggal dunia setelah jatuh ke dalam sungai. Selain itu, ada anak perempuan yang digigit buaya saat sedang mandi.


PADA tanggal 15 Februari 2008, saya menuju Peuleukung. Dari Ranto Panyang ke Peuleukung, harus melewati Pasimali dan desa Pasi Jeut. Ranto Panyang dan Pasimali dibatasi oleh sebatang sungai. Tak ada jembatan yang menghubungkan kedua desa ini. Hanya dua rakit yang siap mengantar penumpang dari pukul tujuh pagi hingga pukul enam sore. Rakit ini terdiri dari dua sampan yang disambung dengan papan.

“Dari dulu di sini memang tidak ada jembatan, dibuat dari tahun 2006 tapi belum siap sampai sekarang,” ujar Muhammad Juni, salah seorang warga desa Pasimali, saat menunggu rakit.

Jembatan yang dimaksud masih berbentuk rangka dengan tiang-tiang dari batang kelapa yang terpancang di sungai itu. Di kanan kiri sungai, di dekat tempat rakit mangkal, banyak pekerja membangun jembatan.

Pembicaraan tentang buaya sangat tabu dilakukan ketika rakit sudah berjalan.

“Dulu pernah ada buaya yang ikut diam-diam di belakang rakit, karena terpikir kayu jadi nggak ada yang takut,” kisah Juni, lagi. “Maka jih bek pegah-pegah entek ijak bak tanyo(makanya jangan bilang-bilang nanti datang ke kita),“ sambungnya.

Lebar sungai ini sekitar 120 meter, dengan kedalaman lima meter di saat musim kemarau.

Jarak pangkalan rakit ke Peuleukung sekitar dua kilometer. Kebun coklat dan kelapa sawit tampak di tepi jalan. Mata pencarian penduduk di sini tak ada yang tetap. Ketika harga buah pinang mahal, mereka akan berkebun pinang. Begitu juga bila karet, nilam, coklat dan sawit mahal, mereka akan beralih mengurus ladang mereka yang ditumbuhi pohon-pohon itu.

Rumah Nida Handayani sangat mudah ditemukan di Peuleukung. Tinggal tanyakan kepada warga, maka mereka akan memberitahu. Usia Nida 17 tahun. Ia juga salah satukorban buaya.

Hari itu Kamis, 5 juli 2007, sekitar pukul 10 pagi, Nida minta izin kepada ayahnya untuk mencuci di sungai. Nida pergi bersama temannya, Darni, ke sungai yang tak jauh dari rumah mereka dengan membawa baju-baju kotor yang akan dicuci. Setelah selesai mencuci, Darni keluar dari dalam sungai dan pergi ke tepi. Sementara Nida buang hajat besar. Tiba-tiba Nida terjatuh. Darni menyangka temannya terpeleset dan masuk ke sungai.

“Dia cuma bilang ‘Mak’. Dan suaranya sangat kecil,” kisah Darni. Darni baru terperanjat ketakutan ketika ia melihat Nida terkulai lemas dalam gigitan buaya.

Dulu Darni sangat suka diajak ke sungai, tapi sekarang ia tak mau dekat-dekat lagi dengan sungai. Saat ini Darni berusia 14 tahun dan belajar di sebuah sekolah menengah pertama di Pasimali.

Bukan hanya Darni, tapi banyak warga yang tak yang berani lagi ke sungai. Dulu di Peuleukung banyak rumah tidak memiliki sumur, tapi setelah kejadian Nida, hampir semua rumah dilengkapi sumur. Padahal warga harus menggali sekitar delapan cincin atau sekitar empat meter ke dalam tanah baru bisa menemukan air. Sumur itu pun akan kering kalau musim kemarau.

Sebenarnya di rumah Nida ada sumur yang baru saja dibuat, tapi ia lebih suka mencuci dan mandi di sungai. Rumahnya kecil dan terlihat berantakan. Di atap banyak sarang laba-laba. Rumah itu pun tanpa plafon. Sebuah lemari bahkan diletakkan di halaman rumah, karena tak cukup ruang untuk menampungnya di dalam. Setengah bagian rumah roboh waktu gempa besar pada 26 Desember 2004, sedang bagian lain retak-retak.

Yakub duduk di salah satu kursi sambil menghisap rokok dalam-dalam. Ia memakai kopiah, berkemeja dan berkain sarung. Ia memandang ke dinding-dinding rumahnya. Di sana terpampang kalender bupati Aceh Barat, Ramli, dan wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla serta sebuah lukisan rumah. Dulu Yakub jadi salah satu anggota tim sukses Ramli.

Matanya berkaca-kaca. “Di situ dulu ada foto Nida, tapi sekarang sudah saya simpan. Kalau ada foto itu, saya selalu teringat dia,” ujar Yakub, sambil terus menghisap rokoknya. Nida adalah anak perempuan Yakub satu-satunya.

Buaya tak mau melepaskan Nida begitu saja. Perempuan muda ini dibawa buaya berenang hilir-mudik di sungai. Polisi akhirnya mencoba menembak buaya itu, tapi gagal. Orang-orang ramai berkumpul menonton kejadian tersebut, bahkan ada yang merekam dan memotret. Sampai sore hari, upaya untuk melepaskan Nida dari mulut buaya terus dilakukan. Buaya itu kemudian menghilang dengan membawa Nida.

“Isteri saya ada bernazar di pinggir sungai. Dia bilang, buaya bawa pulang anak saya, bawa ke sini sama saya. Kalau sudah meninggal, juga tidak apa-apa. Ada jasadnya saja sudah cukup,” kisah Yakub, dalam bahasa Aceh.

Malam tiba. Tapi Nida belum juga ditemukan. Pembacaan surat Yassin digelar di pinggir sungai. Bupati Ramli juga hadir.

Keesokan harinya, pukul tujuh pagi, seorang pengangkut pasir di desa Pasi Ara, sekitar tujuh kilometer dari Peuleukung, menemukan tubuh perempuan dengan rambut terurai terbaring di dekat perahu pasirnya dalam keadaan tak bernyawa.


BUAYA adalah hewan perenang yang sangat kuat dan pandai menghanyut kan diri di sungai tanpa tubuhnya kelihatan, kecuali mata dan lubang hidung. Ia tinggal di dalam lubuk atau tanah yang menjorok ke dalam sungai. Di sepanjang sungai Woyla terdapat banyak lubuk, sehingga mudah bagi buaya untuk berkembang biak.

Buaya biasanya makan ikan. Di Indonesia dikenal dua jenis buaya, yaitu buaya muara dan buaya air tawar. Buaya muara bertubuh lebih besar.

Ukuran tubuh buaya dewasa biasanya berkisar antara dua sampai tujuh meter, tergantung spesies dan jenis kelaminnya. Biasanya yang betina lebih pendek. Bobotnya bisa mencapai 400 sampai 500 kilogram. Usia buaya cukup lama. Bahkan ada yang usianya mencapai lebih dari 100 tahun, bila hidup di habitatnya.

Penduduk desa sekitar sungai Woyla agak bingung dengan kedatangan dan keganasan buaya yang cukup gencar pascatsunami ini.

“Dulu ada buaya tapi di Cot Kumbang, terkurung dalam rawa-rawa dan tak bisa ke mana-mana, tapi setelah tsunami kampung itu hilang, dan buayanya terdampar di sungai Woyla,” kisah Iskandar. Nama daerah rawa itu, Laut Nie.

Yakub juga mengatakan bahwa menurut pawang Australia masih sekitar 70 ekor buaya yang mendiami sungai Woyla dari muara sampai ke Teunom, Aceh Jaya, baik yang berukuran besar maupun kecil.*** [Khiththati]


* Tulisan ini sudah pernah dimuat oleh Acehfeature.org tahun 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar