“Kalau mau ke Arun, ikut aja jalan lurus
nanti belok kiri, meunasah jih na bak teungoh gampong (meunasahnya ada di
tengah kampong)” ujar seorang laki-laki tua yang sedang duduk santai dengan
temannya di jambo kecil dekat sawah.
Mengikuti jalan lurus dari Cot Keung
hingga bertemu dengan jalan aspal yang sudah mulai mengelupas, tak lama
kemudian belok kanan sampailah di desa Arun. Di Arun jalannya tak beraspal.
Disisi kanan kiri lorong hanya ada jalan yang dari semen yang dicetak sedangkan
ditengahnya dibiarkan kosong. Namun
Menjelang berbuka puasa jalan kecil di desa ini menjadi ramai.
“ Tum, tum, tum” bunyi beude tring
dibunyikan anak-anak tak jauh dari jalan masuk desa. Beude tring adalah mainan
yang sering dibuat anak anak kecil pada saat ramadhan dan hari raya. Mainan ini
terbuat dari potongan batang bambo yang di lobangi sedikit diatasnya. Cara
bermainnya adalah dengan meniup bambu kemudian
memasukkan api kedalam lobang diatasanya.
Tak jauh diri situ terdapat sebuah
bangunan kecil yang tidak begitu terurus didekat kebun sayur. Mempunyai tangga yang terbuat dari semen
sedangkan lantai nya terbuat dari potongan
bambo yang sudah menghitam dengan dialasi beberapa tikar yang mulai melapuk
diatasnya. Disana ada tiga orang laki-laki sedang istirahat sambil menunggu ie
bu beudah siap dimasak. Didepanya ada tempat ber wudhu’ sederhana. Itulah
meunasah desa arun. Meunasah panggung itu mempunyai tujuh jendela.
“Mulai dipeuget biasa jih poh setengeh
peut, entek poh limong liwat kajeut tacok, nyak watee buka puasa manteng seu um
(mulai dibuat biasanya jam setengah empat, nanti jam lima lewat sudah bisa diambil, agar nanti
waktu buka puasa masih panas)” ujar Muhammad yunus sambil memperbaiki posisi
duduknya.
Ie bu beudah adalah minuman berbuka
puasa yang di maksud Yunus. Di meunasah arun setiap bulan puasa selalu
menyediakan ie bu beudah. Menurut yunus memasaknya sudah dilakukan turun
temurun.
“Nek lon peugah watee gob nyan ubit
kana ureng mangun nyan bak meunasah watee bulen puasa (kata nenek saya ketika
beliau masih kecil sudah ada orang yang memasak itu di meunasah saat bulan puasa)” kata Yunus
lagi yang sekarang umur nya lebih dari 65 tahun.
Ie bu beudah adalah minuman yang terbuat
dari campuran empat puluh empat macam daun. Campuran didalamnya adalah kunyit,
lada, beras dan kelapa.
“Namun jika ada kemudahan atau sedekah nanti
ditambah kacang tanah, kacang hijau, ubi dan ketela” kata Baihaqi.
Mula- mula daun yang telah dikumpulkan
di jemur sampai rapuh lalu ditumbuk sampai halus pakai jingkhi oleh masyarakat
desa. Jingkhi adalah alat penumbuk tradisional yang bisa digunakan untuk
menumbuk padi atau beras hingga menjadi tepung.
Setelah semua daun selesai ditumbuk diaduk lada dan kunyit yang juga
telah di haluskan. Namun kunyitnya tidak dijemur. Lalu semua bahan yang telah
siap di berikan kepada orang yang ditunjuk untuk memasak lalu kemudian di jemur
lagi.
“Karena di buat oleh orang ramai semua
nya harus kerja sama” ujar Baihaqi. Menurut baihaqi yang memasak nanti akan
dibayar sesuai kesepakatan warga dengan hasil zakat. Untuk beras yang di
gunakan dalam ie bu beudah akan diambil padi hasil sawah wakaf.
“Jadi semuanya dapat mamfaat dari kegiatan
ini” tambah Baihaqi lagi.
Desa Arun tidak pernah berhenti memasak
ie bu beudah selama ramadhan walaupun desa ini pernah menjadi daerah garis
merah saat konflik dulu. “misei bulen puasa hana pre, watee konflik kamo na
syit meu tagun alhamdullilah hana peu peu (kalau bulan puasa tidak pernah
libur, waktu konflik kami juga da memasak alhamdullilah tidak apa-apa)” cerita
Muhammad Yunus.
Sama halnya saat menumbuk daun yang
menjadi tugas bersama. Begitu juga dengan mencari daunnya. Satu bulan sebelum
bulan ramadhan, keuchik akan mengumumkan dimeunasah kapan hari memetik daun.
“keuchik akan bilang ketika sudah
waktunya mencari daun daunnan, jadi siapa yang mau ikut berkumpul di meunasah
tapi ini merupakan tugas laki-laki karena nanti perempuan yang akan menumbuk” kata Muhammad Ali.
Menurut Muhammad Ali biasanya selain mencari daun mereka juga akan
meuramin sehingga orang yang ikut bisa mencapai dua mobil pic up seperti orang
pergi gotong royong dikampung. Meuramin
adalah makan bersama. Biasanya setiap orang
membawa serta nasi bersamanya dan kalau ada kemudahan bisa potong ayam atau
bebek. Yang pergi mencari daun ke bukit-bukit adalah tiga generasi yang berbeda
yang pertama adalah orang tua yang sudah mengenal daun-daun yang akan digunakan
kedua adalah pemuda dan ketiga adalah anak-anak yang akan diperkenalkan dengan
daun yang diperlukan. Ada daun yang tidak boleh dipetik karena pahit seperti
daun japa yang biasa digunakan untuk obat.
“Karena daun itu tidak semuanya dapat
digunakan nanti ada yang pahit ada juga yang membuat gatal” kata Muhammad Ali.
“ kami dulu juga di ajarkan oleh orang tua tentang daun mana yang boleh diambil
yang mana tidak karena ini merupakan resep warisan turun temurun” tambah
Baihaqi tersenyum.
Diantara daun yang digunakan adalah seurapat,
seumalu batee, murong batee, tahe peuha, daun jemblang dan daun saga. Semua
daun itu dijemur selama empat hari.
“Ini merupakan makanan yang paling baik
untuk berbuka, dan banyak khasiatnya badan kita jadi enak dan kuat tidak cepat
lelah untuk anak-anak dia bisa sehat tapi kalau didalam tubuhnya ada penyakit
didalam akan timbul gatal-gatal” tutur baihaqi lagi.
“Memang kadang-kadang ada yang pahit
karena salah daun atau bisa jadi kurang bumbu jadi bisa saja lain tempat lain
rasa” kata Muhammad yunus. “kalau sudah begitu sepanjang ramadhan rasa nya akan
begitu karena bumbunya sudah dicampur kalau yang bagus nanti kalau sudah
selesai dimasak airnya akan berwarna merah” tambah Muhammad yunus lagi.
Menurut Baihaqi adanya ie bu beudah
merupakan kebahagiaan tersendiri. “ na
ie bu beudah lam gampong saboh nikmat misei ka rab supot karame aneuk mit bak
meunasah, teuma keun hana dipeukarue mak di dapu( ada ie bu beudah di kampong
satu kenikmatan, kalau sudah sore anak kacil sudah ramai di meunasah, jadi kan
tidak perlu menganggu ibunya di dapur)”ujar Baihaqi tersenyum. Selain itu
mereka juga bias mengerti tradisi dan meneruskannya.
“Zaman sekarang sudah modern, anak-anak
lebih banyak yang sudah tidak kenal sama budaya dan tradisi sendiri semuanya
ikut televisi jadi sudah agak susah, jadi dengan ada ini paling tidak setiap
habis asar anak-anak akan kemari selesai shalat asar bukannya di depan
televisi” ujar Muhammad Ali tersenyum.
“lagi pula ini sedekah bersama yang juga dinikmati bersama” tambah Muhammad Ali
lagi.
Sekian lama menjaga tradisi ini mumbuat
warga masyarakat arun sudah terbisa dengan ie bu beudah yang menjadi menu utama
berbuka selama ramadhan.
“Lon buka puasa harus na ie nyo misei
hana nyan hana merasa walaupun na aso kaya (saya buka puasa harus ada air ini
kalau tidak ada itu tidak terasa walaupun ada srikaya)” kata Muhammad Yunus
tersenyum sambil memperlihatkan gigi nya.
Setelah masak ting dari besi yang
digantung di jendela meunasah akan dipukul. “kalau dulu yang dipukul tambo
(beduk) atau gom yang suaranya lebih besar” ujar Baihaqi.
Jam sudah menunjukkan pukul empat,
muslim selaku orang yang ditunjuk saat musyawarah desa untuk memasak ie bu
beudah sudah mulai membersihkan beulagong.
wadah yang digunakan adalah wajan besi ukuran besar yang dapat menampung delapan
timba air. Setelah beulagong dibersihkan muslim memasukkan kayu bakar dan
menyalakannya. Lalu memasukkan air setengah beulagong.
Kemudian
memasukkan semua bahan di tambah dengan beras dan masak sebanyak dua are. satu are setara dengan enak mok atau dua liter. Dimasak sehingga beras berubah menjadi nasi kemudian ditambah lagi
air hingga beulagong penuh. Setelah itu di masukkan garam. Setelah mendidih api
tetap tidak dimatikan agar tidak cepat basi.
“Setiap hari saya memasak 2 are, dan memasak kadang hingga satu jam setengah
tapi setelah matang apinya tetap saya biarkan agar kalau malam masih tetap
panas” ujar muslim sambil terus mengaduk masakannya. Muslim baru tahun ini
dipercayakan memasak ie bu beudah ramadahan kali ini sebelumnya ia hanya
melihat orang lain yang mengerjakan.
Tak
lama kemudian ie bu beudah siap. Baunya harum dan segar. Airnya berwarna merah.
Ting, ting, ting muslim memukul besi ting menandakan masyarakat sudah boleh
mengambil hasil masakannya. Kemudian anak-anak mulai berdatangan membawa
timba-timba kecil ada mengantri dapur yang tidak jauh dari meunasah. Pintu
dapur itu baru ditutup ketika malam sehingga siapa yang ingin mengabil boleh
masuk walaupun tidak ada muslim disana. Bagaimana ingin mencoba?
[Khiththati]