“Rumah ini
dibangun memang khusus untuk mengatur strategi perang” kata Mariani sambil
membetulkan jelbabnya. ” letaknya yang dekat dengan bukit memungkinkan mengatur
perang geriliya” tambah Mariani lagi.
Mariani sudah
menjaga rumah yang bercat dominan berwarna hitam ini sejak tahun 1991. awalnya ia hanya
sedang melihat sang ayah kedatangan banyak tamu. ”Waktu kecil saya ini pemalu
tapi senang melihat banyak orang waaupun harus sembunyi-sembunyi” kenang Mariani
sambil tersenyum kecil.
Ketika ayahnya
pensiun marianipun memberanikan diri menggantikan ayahnya untuk menjadi penjaga
rumah Cut Nyak Dien. mariani mempelajari banyak hal tentang sejarah rumah Aceh ini
dari ayah nya dan dari dokumen-dokumen lain.
Mariani adalah
orang asli lampisang. rumahnya tak jauh dari rumah Cut Nyak Dien. ia hanya
perlu berjalan kaki untuk mencapai tempat kerjanya.ia bekerja dibawah Balai
Kajian Purbakala Aceh.
Rumah Cut nyak
Dien dibangun oleh Teuku Umar pada tahun 1893. Umar kala itu mendapat bantuan
dana dari belanda. ” nah teuku umar, bersiasat untuk mendukung balanda pada
awalnya untuk mengambil simpati dan dipercaya oleh belanda, setelah dipercaya
umar kemudian mengambil senjata dan diserahkan kepada pejuang aceh” terang
Mariani.
Teuku Umar dan
Cut Nyak Dien tinggal di rumah lampisang hanya tiga tahun. kala itu cut nyak
dien banyak mendengar kabar miring tentang dirinya karena sang suami awalnya
dianggap berkhianat. namun tak lama kemudian belanda mengetahui siasat Teuku
Umar, akhirnya pada tahun 1896 rumah kediaman mereka pun dibakar.
”Ketika mengetahui
belanda sudah mendekat umar, istri dan pasukannya memilih menjauh dan
bersembunyi di glee beraden sambil menyusun taktik berikutnya” ucap mariani
lagi sambil menunjuk kearah salah satu bukit di sekitar rumah Cut Nyak Dien.
Saat mereka pulang rumah itu sudah hangus terbakar. tiada yang tersisa
kecuali sumur dan pondasi tangga.
”Jadi rumah ini
dibangun kembali diatas pondasi awal” kata Mariani lagi.
Rumah Aceh ini
berukuran 25x17 serta memiliki 65 tiang serta 17 jendela. karena takut air nya
diracuni oleh Belanda jadi Teuku Umar membuat sumur yang tinggi yaitu 10 meter.
” Sumur itu masih
sama dengan saat dibangun dulu cuma di cat sedikit diluarnya, airnya itu bisa
di minum saat tsunami kami pakai air dari situ.” ujar Mariani sambil menunjuk
kearah sumur tinggi bercat putih.
seperti layaknya
rumah aceh, rumah ini mempunyai dua tangga satu didepan lainnya di belakang.
tapi rumah ini tidak memiliki lumbung padi atau pun jingkhi (alat untuk
menumbuk padi atau beras) yang lazimnya dimiliki rumah aceh.
Rumah ini
memiliki empat kamar tanpa kamar samping.
”Rumah aceh tidak
mempunyai kamar disamping, adat ureng aceh kama nyan juree nan jih juree, dalam
rumoh nyang paleng ateuh paleng tinggi nyan juree, miseu paleng rendah nyan
dapu, hana mandum ureng jeut kalen juree (adat orang aceh kamar itu juree
namanya, dalam rumah yang paling atas yang paling tinggi itu juree, kalau yang
paling rendah itu, jadi tidak semua orang bisa melihat jure)” jelas Mariani.
Dalam struktur Rumah
Aceh ada empat pembagian tempat yang pertama adalah seuramo keu yang biasanya
dipakai untuk menerima tamu, bagian yang paling tinggi untuk juree, setelah itu
ada seuramo liekot atau yang bisa dipakai untuk ruang keluarga kemudian baru
ada dapur.
”Dibuat seperti
itu agar tidak semua orang yang datang
kerumah tau dimana letak kamar si punya rumah, lagi pula karena biasanya
juree untuk perempuan jadi juga untuk melindungi. Kalau si tamu pun hendak
kebelakang juga tidak boleh lewat juree tapi ada pintu lain, itulah bagai mana
adat aceh menghormati perempuan” kata Mariani lagi sambil tersenyum.
Mariani terus
bercerita dan saya mendengarnya.
Rumah ini kembali
dibangun tahun 1981 kala itu ia masih remaja. Untuk membagun tiang di datangkanlah
kayu semantok dari Aceh Barat.
”Yang diambil
adalah bagian tenggah kayu dengan cara diratakan sedikit demi sedikit dengan
alat yang masih menggunakan tangan, makanya kayu ini kuat malahan ada yang
tidak percaya ini kayu, mereka bilang besi” kata Mariani lagi sambil mengetuk tameh (tiang) didekatnya.
Ia hafal betul
bagaiman rumah ini dibuat kembali. Dari kecil ia sangat menyukai bangunan
bersejarah ini. Karena rasa sayang ini pula ketika tsunami menghantam aceh
akhir 2004 silam ia pun selamat di rumah ini.
Pagi itu setelah
gempa mariani bergegas kerumah peninggalan cut nyak dien ini, ia mau melihat
kalau-kalau ada barang yang rusak tanpa membersihkan pecahan gelas yang
berserakan karena lemari jatuh dirumahnya. Ia terus teringat rumah cut nyak.
Saat sampai disana
ia bertemu dengan tetangganya. mereka bergegas naik. lemari-lemari yang ada
berjatuhan. temannya mengigatkan agar mariani tidak mengangkat lemari karena
siapa tau nanti datang gempa lagi. kemudian sang teman juga menganjurkan untuk
menutup semua jendela karana tak mungkin ada pengunjung hari itu. tak lama
setelah itu ia bersama temannya duduk ditangga sambil bercerita cerita.
”Setelah itu ada
bapak tetangga yang mengatakan air laut naik, dia lari karena ketakutan jadi
saya penasaran kemudian bergegas naik kerumah dan membuka jendela” kisahnya
kepada saya.
tak lama kemudian
ia mendengar suara pesawat terbang tapi bukan dari atas tapi dari bawah makin
lama suara itu makin dekat.
” Jeh hai kalen
dile umpung manok ka dime ( itu hai
lihat dulu kandang ayam sudah dibawa)” kata Mariani kala itu kepada temannya.
Mariani awalnya
mengira kalau rumah yang dibawa tsunami itu kandang ayam nyata itu adalah rumah.
sangat ketakuatan dia mengira bahwa hari
itu mungkin kiamat. namun kemudian ia bergegas ke belakang tempat beberapa
senjata tanjam di pajang. beberapa kali memukul kaca dan tak pecah juga
akhirnya ia membuka paksa lemari itu.
”Saya ambil
pedang untuk membuka atap, dari tahun 1991 hari itu saya pertama kali memengang pedang” kenang Mariani.
Ia memotong dan
menebas atap rumah dari rumbia, agar orang-orang bisa naik keatas atap. awalnya
ada pedang ditangannya kemudian satu di berikan untuk seorang temannya. pedang
yang diambil oleh Mariani adalah parang jenis singgarong.
” Saya membuka
atap karena mengira airnya akan lebih tinggi, banyak orang yang naik kemudian
saya suruh mereka untuk azan” kata Mariani lagi.
Menurut kepercaayaan
orang Aceh zaman dulu melafaskan azan saat banjir dan kebakaran akan membuat
api dan air itu melunak.
”Saya terus
memperhatikan bukit, kata orang tua kalau bukit itu terbang betul-betul kiamat”
kisa Mariani lagi.
Selain membuka
atap Mariani juga mempersiapkan papan-papan alas tempat tidur untuk pengapung
bila rumah itu benar-benar tenggelam. juga membuat tali untuk menolong
orang-orang yang hanyut terseret air.
Mariani tinggal
dirumah Cut Nyak Dien selama empat bulan bersama tujuh kepala keluarga lainnya.
”Saya nggak
mungkin meninggalkan rumah ini tanpa kunci, lagi pula saya
selamat disini, yang lain sudah naik gunung dan nggak ada yang berani turun
kala itu termasuk ayah dan adik laki-laki saya, jadi saya harus jaga” kenang
Mariani lagi.
Ibu dan adik
perempuan tidak selamat dalam musibah itu. selama tujuh hari kemudian bantuan
sampai dan akhirnya mereka mendapatkan makanan. Mariani juga
mengantarkan makanan itu ke bukit kerena disana juga tidak ada makanan.
”Setelah tujuh hari baru mendapatkan makanan, sebelumnya
dapat minyak makan sedikit saja seperti mendapatkan emas” ucap Mariani lagi
sambil tersenyum lebar. banyak hal yang membuat Mariani sampai sekarang masih
menjaga rumah Cut Nyak Dien sampai sekarang.
”Saya dulu pernah
tidak mau lagi menjaga rumah ini, tapi malamnya saya bermimpi ada seorang
wanita tua yang berselendang didalam rumah tidak megijinkan ia turun sebelum
semua jendela tertutup” ingat mariani.
Selagi mariani
menutup jendela, wanita itu membukanya lagi hal itu terjadi sampai ia
terbangun.
”Waktu saya
bangun, saya berkeringat banyak sekali, saat saya ceritakan kepada ayah katanya
mungkin saya belum diizinkan pindah sama Cut Nyak” kata Mariani lagi.
Maka dari itu ia
akan terus berupaya menjaga rumah yang beralamat di desa Lam U, lampisang bernomor
12 itu sampai tua.
”Kalau saya
pensiun nanti, maunnya kerabat saya juga yang menjaga rumah ini” harap Mariani
diakhir wawancara.
[Khiththati] Tulisan ini telah di Publikasikan pada Tabloid Bungong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar