Minggu, 29 Desember 2013

Perempuan Penjaga Rumah Cut Nyak (Feature)



“Rumah ini dibangun memang khusus untuk mengatur strategi perang” kata Mariani sambil membetulkan jelbabnya. ” letaknya yang dekat dengan bukit memungkinkan mengatur perang geriliya” tambah Mariani lagi.

Mariani sudah menjaga rumah yang bercat dominan berwarna hitam ini sejak tahun 1991. awalnya ia hanya sedang melihat sang ayah kedatangan banyak tamu. ”Waktu kecil saya ini pemalu tapi senang melihat banyak orang waaupun harus sembunyi-sembunyi” kenang Mariani sambil tersenyum kecil.

Ketika ayahnya pensiun marianipun memberanikan diri menggantikan ayahnya untuk menjadi penjaga rumah Cut Nyak Dien. mariani mempelajari banyak hal tentang sejarah rumah Aceh ini dari ayah nya dan dari dokumen-dokumen lain.

Mariani adalah orang asli lampisang. rumahnya tak jauh dari rumah Cut Nyak Dien. ia hanya perlu berjalan kaki untuk mencapai tempat kerjanya.ia bekerja dibawah Balai Kajian Purbakala Aceh.

Rumah Cut nyak Dien dibangun oleh Teuku Umar pada tahun 1893. Umar kala itu mendapat bantuan dana dari belanda. ” nah teuku umar, bersiasat untuk mendukung balanda pada awalnya untuk mengambil simpati dan dipercaya oleh belanda, setelah dipercaya umar kemudian mengambil senjata dan diserahkan kepada pejuang aceh” terang Mariani.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dien tinggal di rumah lampisang hanya tiga tahun. kala itu cut nyak dien banyak mendengar kabar miring tentang dirinya karena sang suami awalnya dianggap berkhianat. namun tak lama kemudian belanda mengetahui siasat Teuku Umar, akhirnya pada tahun 1896 rumah kediaman mereka pun dibakar.

”Ketika mengetahui belanda sudah mendekat umar, istri dan pasukannya memilih menjauh dan bersembunyi di glee beraden sambil menyusun taktik berikutnya” ucap mariani lagi sambil menunjuk kearah salah satu bukit di sekitar rumah Cut Nyak Dien.

Saat  mereka pulang rumah itu sudah hangus terbakar. tiada yang tersisa kecuali sumur dan pondasi tangga.

”Jadi rumah ini dibangun kembali diatas pondasi awal” kata Mariani lagi.

Rumah Aceh ini berukuran 25x17 serta memiliki 65 tiang serta 17 jendela. karena takut air nya diracuni oleh Belanda jadi Teuku Umar membuat sumur yang tinggi yaitu 10 meter.

” Sumur itu masih sama dengan saat dibangun dulu cuma di cat sedikit diluarnya, airnya itu bisa di minum saat tsunami kami pakai air dari situ.” ujar Mariani sambil menunjuk kearah sumur tinggi bercat putih.
seperti layaknya rumah aceh, rumah ini mempunyai dua tangga satu didepan lainnya di belakang. tapi rumah ini tidak memiliki lumbung padi atau pun jingkhi (alat untuk menumbuk padi atau beras) yang lazimnya dimiliki rumah aceh.

Rumah ini memiliki empat kamar tanpa kamar samping.

”Rumah aceh tidak mempunyai kamar disamping, adat ureng aceh kama nyan juree nan jih juree, dalam rumoh nyang paleng ateuh paleng tinggi nyan juree, miseu paleng rendah nyan dapu, hana mandum ureng jeut kalen juree (adat orang aceh kamar itu juree namanya, dalam rumah yang paling atas yang paling tinggi itu juree, kalau yang paling rendah itu, jadi tidak semua orang bisa melihat jure)” jelas Mariani.

Dalam struktur Rumah Aceh ada empat pembagian tempat yang pertama adalah seuramo keu yang biasanya dipakai untuk menerima tamu, bagian yang paling tinggi untuk juree, setelah itu ada seuramo liekot atau yang bisa dipakai untuk ruang keluarga kemudian baru ada dapur.

”Dibuat seperti itu agar tidak semua orang yang datang  kerumah tau dimana letak kamar si punya rumah, lagi pula karena biasanya juree untuk perempuan jadi juga untuk melindungi. Kalau si tamu pun hendak kebelakang juga tidak boleh lewat juree tapi ada pintu lain, itulah bagai mana adat aceh menghormati perempuan” kata Mariani lagi sambil tersenyum.

Mariani terus bercerita dan saya mendengarnya.

Rumah ini kembali dibangun tahun 1981 kala itu ia masih remaja. Untuk membagun tiang di datangkanlah kayu semantok dari Aceh Barat.

”Yang diambil adalah bagian tenggah kayu dengan cara diratakan sedikit demi sedikit dengan alat yang masih menggunakan tangan, makanya kayu ini kuat malahan ada yang tidak percaya ini kayu, mereka bilang besi” kata Mariani lagi sambil mengetuk tameh (tiang) didekatnya.

Ia hafal betul bagaiman rumah ini dibuat kembali. Dari kecil ia sangat menyukai bangunan bersejarah ini. Karena rasa sayang ini pula ketika tsunami menghantam aceh akhir 2004 silam ia pun selamat di rumah ini.  

Pagi itu setelah gempa mariani bergegas kerumah peninggalan cut nyak dien ini, ia mau melihat kalau-kalau ada barang yang rusak tanpa membersihkan pecahan gelas yang berserakan karena lemari jatuh dirumahnya. Ia terus teringat rumah cut nyak.

Saat sampai disana ia bertemu dengan tetangganya. mereka bergegas naik. lemari-lemari yang ada berjatuhan. temannya mengigatkan agar mariani tidak mengangkat lemari karena siapa tau nanti datang gempa lagi. kemudian sang teman juga menganjurkan untuk menutup semua jendela karana tak mungkin ada pengunjung hari itu. tak lama setelah itu ia bersama temannya duduk ditangga sambil bercerita cerita.

”Setelah itu ada bapak tetangga yang mengatakan air laut naik, dia lari karena ketakutan jadi saya penasaran kemudian bergegas naik kerumah dan membuka jendela” kisahnya kepada saya.
tak lama kemudian ia mendengar suara pesawat terbang tapi bukan dari atas tapi dari bawah makin lama suara itu makin dekat.

” Jeh hai kalen dile umpung manok ka dime (  itu hai lihat dulu kandang ayam sudah dibawa)” kata Mariani kala itu kepada temannya.

Mariani awalnya mengira kalau rumah yang dibawa tsunami itu kandang ayam nyata itu adalah rumah.  sangat ketakuatan dia mengira bahwa hari itu mungkin kiamat. namun kemudian ia bergegas ke belakang tempat beberapa senjata tanjam di pajang. beberapa kali memukul kaca dan tak pecah juga akhirnya ia membuka paksa lemari itu.

”Saya ambil pedang untuk membuka atap, dari tahun 1991 hari itu saya pertama kali memengang pedang” kenang Mariani.

Ia memotong dan menebas atap rumah dari rumbia, agar orang-orang bisa naik keatas atap. awalnya ada pedang ditangannya kemudian satu di berikan untuk seorang temannya. pedang yang diambil oleh Mariani adalah parang jenis singgarong.

” Saya membuka atap karena mengira airnya akan lebih tinggi, banyak orang yang naik kemudian saya suruh mereka untuk azan” kata Mariani lagi.

Menurut kepercaayaan orang Aceh zaman dulu melafaskan azan saat banjir dan kebakaran akan membuat api dan air itu melunak.

”Saya terus memperhatikan bukit, kata orang tua kalau bukit itu terbang betul-betul kiamat” kisa Mariani lagi.

Selain membuka atap Mariani juga mempersiapkan papan-papan alas tempat tidur untuk pengapung bila rumah itu benar-benar tenggelam. juga membuat tali untuk menolong orang-orang yang hanyut terseret air.
 
Mariani tinggal dirumah Cut Nyak Dien selama empat bulan bersama tujuh kepala keluarga lainnya.

”Saya nggak mungkin meninggalkan rumah ini tanpa kunci, lagi pula saya selamat disini, yang lain sudah naik gunung dan nggak ada yang berani turun kala itu termasuk ayah dan adik laki-laki saya, jadi saya harus jaga” kenang Mariani lagi.

Ibu dan adik perempuan tidak selamat dalam musibah itu. selama tujuh hari kemudian bantuan sampai dan akhirnya mereka mendapatkan makanan. Mariani juga mengantarkan makanan itu ke bukit kerena disana juga tidak ada makanan.

”Setelah tujuh hari baru mendapatkan makanan, sebelumnya dapat minyak makan sedikit saja seperti mendapatkan emas” ucap Mariani lagi sambil tersenyum lebar. banyak hal yang membuat Mariani sampai sekarang masih menjaga rumah Cut Nyak Dien sampai sekarang.

”Saya dulu pernah tidak mau lagi menjaga rumah ini, tapi malamnya saya bermimpi ada seorang wanita tua yang berselendang didalam rumah tidak megijinkan ia turun sebelum semua jendela tertutup” ingat mariani.

Selagi mariani menutup jendela, wanita itu membukanya lagi hal itu terjadi sampai ia terbangun.

”Waktu saya bangun, saya berkeringat banyak sekali, saat saya ceritakan kepada ayah katanya mungkin saya belum diizinkan pindah sama Cut Nyak” kata Mariani lagi.

Maka dari itu ia akan terus berupaya menjaga rumah yang beralamat di desa Lam U, lampisang bernomor 12 itu sampai tua.

”Kalau saya pensiun nanti, maunnya kerabat saya juga yang menjaga rumah ini” harap Mariani diakhir wawancara.


[Khiththati] Tulisan ini telah di Publikasikan pada Tabloid Bungong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar