Minggu, 29 Desember 2013

Peringatan Palsu (Feature)

UMAR Latif sibuk menjelaskan tanda-tanda kebesaran Allah di depan kelas. Umar berusia sekitar 50 tahun, berkaca mata minus, bertubuh agak gemuk, dan rambutnya bermodel belah tengah. Ia dosen mata kuliah Tafsir di Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry atau biasa disebut IAIN Ar Raniry.

Sekarang baru pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Artinya, masih tersisa waktu tiga puluh menit lagi untuk Umar berceramah. Hari itu Senin, tanggal 4 Juni 2007.

Ketika ia dan mahasiswanya tengah asyik berdiskusi, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar kelas. Letak ruang 61 ini dekat jalan kampus, sehingga keributan kecil saja di jalan itu akan terdengar lantang dan mengganggu konsentrasi orang-orang dalam ruang.

Seisi kelas langsung bangkit dari kursi, bergegas menuju pintu maupun jendela. Bahkan ada yang saking paniknya langsung keluar kelas begitu saja, tanpa mempedulikan Umar. Kelas seketika jadi gaduh.

Jalan di samping dan di muka fakultas penuh sesak dengan mahasiswa yang berlarian.

“Woi! Ada apa lari-lari?” teriak Nasir kepada seorang mahasiswi yang berlari sambil mengangkat roknya. Si mahasiswi bukannya menjawab, malah lari lebih kencang.
 

“Eh, ada apaan sih lari-lari, kebakaran ya?” tanya Ainul tak sabar kepada seorang mahasiswa yang terlihat kesusahan mengemudikan
 kereta. Orang Aceh menyebut sepeda motor itu kereta. Padahal di Pulau Jawa,kereta diartikan sebagai kereta api. 

“Lari aja,
 dek (dik), saya juga nggak tau kenapa saya lari. Pokoknya lari aja,” ujar lelaki itu, sambil berlalu.

Kelas Tafsir bubar tanpa dikomando siapa pun. Penghuninya kocar-kacir mengikuti orang banyak atau mencari
 kereta mereka di tempat parkir. Umar ikut berlari sambil membawa vespanya menjauhi kampus.

Jalan-jalan sempit di kampus yang biasanya sepi, dalam sekejap telah dilewati ratusan mahasiswa dan siswa sekolah di sekeliling kampus. Mereka rata-rata menggenggam telepon seluler, yang terus berbunyi. Suara gugup orang yang menelepon dan bunyi telepon seluler membuat suasana tambah tegang.

Jalan lingkar kampus macet, karena orang berlomba-lomba untuk segera pergi. Ada yang berlari dengan kaki telanjang, ada yang berlari sambil menggendong anaknya yang terus menangis, ada yang berlari dengan menggandeng tangan temannya.

Saya mengemudi
 kereta dengan membonceng Nana, teman sekelas saya.

“Pakoen nyoe pak (kenapa ini pak)?” tanya saya pada tukang becak yang sedang mengantri lewat di jalan itu.

“Alarm tsunami jimeusu (alarm tsunami berbunyi),” jawabnya sambil melihat ke arah isteri dan dua anaknya.

“Alarm pat toeh (alarm yang di mana)?” tanya saya lagi.

“Nyan nyang bineh mesjid Kajhu (itu yang di samping masjid Kajhu),” jawabnya.

Ia mengatakan bahwa alarm tersebut sudah berbunyi kira-kira tiga puluh menit yang lalu.
 

Di jalan ada orang berteriak-teriak, “Ie laot ka jiek, ka plueng laju (air laut sudah naik, lari terus)!”
 

Lima belas menit kemudian, kami pun sampai di lapangan Tugu Darussalam. Biasanya dari IAIN Ar Raniry ke lapangan Tugu hanya ditempuh dengan beberapa menit ber-kereta. Orang-orang yang tadi berlari, sebagian ada yang mencoba memanjat tugu. Zainuddin termasuk salah seorang dari mereka yang berhenti di tugu ini.

“Mencari teman adalah hal yang sangat penting dilakukan kalau keadaan seperti ini. Paling tidak kita bisa berbagi cerita dan tidak sendiri,” ujarnya kepada saya.

Mesjid Jami’ Darussalam pun jadi sasaran manusia untuk berkumpul. Dari masjid ini adzan mulai berkumandang.


Allah Hu Akbar, Allah Hu Akbar
Ashadualla Ilaa Hailallah, Ashadualla Ilaa Hailallah
Ashaduanna Muhammadar Rasulullah, Ashaduanna Muhammadar Rasulullah
Haiya’ala Shalat, Haiya’ala Shalat
Haiya’alal Falah, Haiya’alal Falah
Suara adzan membuat suasana kian mencekam. Adzan di luar waktu shalat menjadi pertanda musibah besar, seperti kebakaran, banjir ataupun tsunami. Hal seperti ini sering terjadi di Aceh.

Lalu-lintas kacau. Antrian sepeda motor makin panjang. Jalan dua arah berubah jadi jalan satu arah. Mobil,
labi-labi (angkutan umum berkapasitas sepuluh orang), sepeda, dan sepeda motor tidak mau saling mengalah. Masing-masing ingin cepat melaju. 

Di trotoar, anak-anak berseragam putih-merah (sekolah dasar) dan putih-biru (sekolah menengah pertama), menangis-nangis memanggil ibu mereka. Murid-murid taman kanak-kanak kocar-kacir tanpa pengawalan guru mereka di jalan raya. Mereka seperti anak ayam kehilangan induk, menangis sepanjang jalan. Para guru sibuk menyelamatkan diri masing-masing.

Sejumlah orang jatuh di jalan, tapi langsung bangkit dan berlari tanpa mempedulikan rasa sakit atau luka-luka di tubuh mereka.


ORANG-orang cenderung mencari tempat yang lebih tinggi. Sepanjang jalan dari Darussalam menuju Tungkop, tukang bensin eceran diserbu pengendara
 kereta.

“Mak, bek woe dile u Banda, na tsunami, droe neuh di kampong mantoeng (ibu jangan balik ke Banda, ada tsunami, jadi ibu di kampung saja).” Terdengar suara seseorang berbicara dengan ibunya di telepon seluler.

Bunyi klakson bersahut-sahutan, diselingi umpatan orang yang ingin kendaraannya maju lebih dulu dibanding yang lain.

Tepat di samping
 kereta saya, ada sebuah labi-labi. Lelaki yang duduk di samping sopir labi-labimengatakan bahwa ia datang dari Krueng Raya, yang berjarak sekitar 45 menit bermobil dari pusat kota Banda Aceh. Ia hendak menuju Tungkop lewat jalur Darussalam dan ini artinya, ia mengambil jalan memutar serta membutuhkan waktu yang lebih panjang.

“Watee kamoe troek u Kadju seurune nyan ji muesue. Baroe jeh awak Amerika peugah, meuseu alat jih ji meusu di yue plueng, karena 30 menit watee peuseulamat droe. Maka jih kamoe meu wet Darussalam yak jak u Blang Bintang. (Waktu kami sampai ke Kadju, alarm yang di situ bunyi. Dulu kata orang Amerika kalau alat itu berbunyi, kita harus lari, karena cuma ada waktu 30 menit untuk menyelamatkan diri. Jadi kami ke Darussalam, mau pergi ke Blang Bintang),” katanya, panjang-lebar.

Lalu-lintas padat dan semerawut di simpang Tungkop, baik dari arah Blang Bintang menuju ke Darussalam maupun ke Lambaro Angan. Tak berapa lama, mobil polisi patroli berwarna hitam meluncur ke muka sebuah warung kopi dan diparkir sembarang. Seorang polisi turun dari mobil, langsung menuju jalan raya dan mengatur lalu-lintas.

“Pak, nggak ada tsunami, bapak bisa balik ke rumah,” kata polisi itu kepada sopir truk pasir.

“Nyoe, droeneuh mangat neu peugah, miseu na tsunami euntreuk droeneuh peu na neupeureumeun kamoe ( Ya, Anda enak saja bicara seperti itu, nanti kalau ada tsunami apa anda memperhatikan kami)?” jawab sopir tersebut dengan nada emosi.

Polisi itu tak mau menambah masalah, sehingga ia segera meninggalkan sopir truk yang keras kepala tadi dan kembali mengatur lalu-lintas. Sekarang ia beralih pada pengguna jalan yang berlawanan arah. Walaupun sendirian, dengan cekatan ia berjalan dari satu kendaraan ke kendaraan lain.

Tak jauh dari sini, seorang perempuan menangis di tepi jalan. Ia hendak menuju Darussalam. Di sampingnya, seorang pemuda mencoba menenangkan.

“Udahlah bu, nggak mungkin bisa lewat,” ujar pemuda itu sambil melihat kondisi jalan yang macet.

“Tapi anak saya masih TK (taman kanak-kanak). Dia pasti takut karena rame-rame (ramai-ramai) begini. Kalau dia ketabrak gimana?” tukasnya, seraya menyeka air matanya dengan tangan.

“Kan ada guru, pasti nggak apa-apa,” hibur pemuda tadi.
 

Meskipun polisi telah mengatakan tidak terjadi tsunami, tetapi keadaan jalan masih tetap macet.

Pukul sebelas lewat empat puluh menit, saya mengarahkan kereta ke Kahju, ke tempat alarm tsunami berbunyi.
 

Lantaran jalan besar macet, maka jalan-jalan kecil jadi alternatif. Berbeda dengan keadaan di jalan raya yang hiruk-pikuk dan panik, orang-orang yang rumahnya berada di sepanjang jalan ini tenang-tenang saja. Saya bahkan bertemu dengan seorang teman yang tengah asyik menyapu halaman rumahnya. Namanya, Devi Karmila.

“Tadi udah diumumkan di mesjid kalau tidak ada tsunami, dan alarm itu berbunyi karena kesalahan teknis, jadi ngapain lari,” kata Devi, seraya terus menyapu.

Semula ia hendak berangkat ke kampus, tapi kemudian dibatalkannya.


MATAHARI semakin tinggi. Di halaman masjid itu sudah ramai orang. Sejumlah wartawan mengerumuni Nazaruddin, sekretaris desa Kajhu.

Kantor desa, masjid dan tower tsunami berada di satu pekarangan.
 

“Sirine berbunyi sendiri, kurang lebih tiga puluh menit, waktu itu saya di kantor, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) waktu dihubungi tidak ada jawaban,” ujar Nazarudddin, sambil menunjuk tower.

Raungan sirine terdengar sampai ke Darussalam. Beberapa hari sebelum itu warga juga memperoleh pesan pendek melalui telepon seluler, yang menyebutkan bahwa gempa besar dan tsunami akan terjadi. Tak urung warga jadi panik. Begitu alarm berbunyi, banyak orang berlari, jatuh, bertabrakan atau ditabrak, dan terluka.

Mobil oranye milik tim Save and Rescue atau SAR tampak memasuki halaman masjid. Setelah itu mobil wakil walikota Banda Aceh, Iliza Sa’anuddin Jamal, yang datang.

Begitu turun dari mobilnya, Iliza langsung menemui Nazaruddin. Para wartawan yang hadir di situ segera mewawancarainya.

“Saya nggak yakin ada tsunami, karena tower yang lain nggak berbunyi, makanya saya berani ke sini,” ujar Iliza, tersenyum.

“Ketika masyarakat lari, panik, terjadi insiden di dalam masyarakat dan mudah-mudahan alat tersebut nggak membuat resah dan menimbulkan insiden baru. Dan mungkin hari ini peringatan Allah agar kita tidak diam saja,” katanya kepada wartawan.

Setelah Iliza dan rombongannya berlalu, tanpa sengaja mata saya tertuju pada seorang laki-laki bertubuh agak kurus dan berkulit coklat matang. Nama lelaki ini, Kariman. Ia asal Jawa Tengah.

Kariman baru tiga bulan di Aceh, bekerja sebagai kuli bangunan. Ia dan teman-temannya berada tak jauh dari masjid Baitussalam, Kajhu, saat sirine berbunyi.

“Saya dan kawan-kawan langsung melompat dari lantai dua, karena bos saya bilang kalau mendengar sirine itu harus segera menjauhi laut,” katanya.

“Saya berjalan dan mencoba memberhentikan mobil, tak ada satu pun yang mau berhenti. Satu jam saya duduk di simpang jalan, sedangkan kawan saya sudah nggak tahu ke mana,” lanjutnya, dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa yang kental.

Setelah peringatan palsu yang berasal dari tower Kajhu, di siang harinya warga Banda Aceh kembali dikejutkan oleh raung sirine dari tower tsunami yang berada di Ulee Lheue. Warga panik. Tetapi lagi-lagi, tak ada tsunami.

Belum puas dengan dua kali aksinya, sirine tsunami di tower di Lhok Nga meraung di sore hari. Lagi-lagi, tak ada tsunami. Warga benar-benar kesal dan marah. Sejumlah orang kemudian merusak tower Lhok Nga sebagai pelampiasan rasa frustasi mereka.

Siapa yang harus bertanggung jawab dalam tiga kasus ini? Bagaimana bila suatu hari raung sirine benar-benar menandakan tsunami dan warga menganggapnya lelucon? Hal mengerikan pasti terjadi.

[Khiththati] Tulisan Ini telah di publikasikan di AcehFeature.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar