Senin, 23 Maret 2015

Nikah + Mahar = Hareuta Peunulang? [Feature]

Pada bulan-bulan tertentu di Aceh, banyak upacara pernikahan yang dilakukan seperti di bulan Maulid, Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah. Bahkan dalam seminggu bisa terselengara dua upacara penikahan dalam satu kampung.

Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk membangun sebuah rumah tangga yang resmi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar ikatan tersebut sah, salah satunya adalah mahar. Mahar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pemberian wajib berupa uang atau barang, dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika berlangsungnya akad nikah.

Lain lubuk lain ikannya begitu pepatah yang dapat menggambarkan keberagaman budaya dan adat yang ada di Aceh antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Seperti halnya ada pesisir Aceh memiliki perbedaan dengan yang ada di daratan tinggi. Begitu pula dalam masalah pemberian mahar dan upacara pernikahannya.

Abdurrahman, dosen fakultas Hukum Unsyiah mengatakan “ untuk masalah mahar, kita dapat melihat beberapa faktor perbedaan, perbedaan sistem kekerabatan sangatlah berpengaruh.” “walaupun Aceh menganut sistem kekeluargaan bilateral, tetapi ada beberapa kecondongan nantinya, apakah kepada ke patrilineal atau matrilineal” tambahnya lagi.

Menurut Syaukas Rahmatillah, Imam Mesjid Tungkop “ faktor yang membuat mahar itu berbeda kerena beberapa hal seperti adat yang berbeda, kedudukan ataupun status sosialnya dalam masyarakat, semakin tinggi status sosialnya semakin tinggi dalam pengambilan maharnya.” “tetapi menurut agama yang diambil adalah yang paling berkah” Ujarnya mengigatkan.

Berbicara soal banyaknya mahar, itu tergantung kesanggupan keluarga pihak laki-laki. Ada yang 1 Bungkai (16 mayam), ada yang 10 mayam dan ada yang 6 mayam. “bahkan di Aceh Selatan, daerah Sama Dua dan Tapak Tuan ada yang hanya dua mayam”cerita Syaukas Rahmatillah lagi.
“pengambilan ketentuan mahar, nantinya ada musyawarandidalam keluarga, bukan sembarang diambil. Dalam adat semuanya dapat dimusyawarahkan. Sehingga tidak menjadi masalah nantinya”tutur Badruzzaman Ismail Ketua Majelis Adat Aceh (MAA).

Di Aceh Besar dan Pidie, setelah menikah biasanya suami akan tinggal di rumah isterinya. Semua kebutuhan suami akan dipenuhi oleh orang tua isteri. Sedangkan Hareuta Peunulang akan diberikan setelah mereka memutuskan untuk hidup mandiri. “Hareuta peunulang sendiri ada berupa tanah, sawah, rumah, toko dan apapun yang bermamfaat bagi keduanya” Papar Ibrahim Ismail Tokoh Adat Gampong Tungkop.

Pada adat Aceh Besar dan Pidie, kadang kala pengambilan mahar dilihat juga pada hareuta Peunulang yang akan diberikan. “Miseu hana peu geupulang, hana lee geucoek, miseu na biasa jih lee geucoek jeulame jih, tetapi hareuta penulang bukan balasan dari pengambilan maharnya”Sambungnya lagi.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Abdurrahman, dosen yang berperawakan mirip aktivis Ham Munir ini mengatakan “Mahar dan Peunulang itu dua duanya milik perempuan. Kalau mahar itu diberikan oleh suami sewaktu akad nikah, maka peunulang itu diberikan oleh orang tua pihak perempuan kepada anak mereka sendiri dan pemberian ini juga berdasarkan sistem kekerabatan.”
Umumnya, daerah yang ada peunulang itu sistem kekerabatannya adalah bilateral yang mendekati ke matrilineal seperti daerah Aceh Besar dan Pidie. Sedangkan Gayo yang sistem kekerabatannya bileteral congdong ke patrileneal tidak ada peunulang.

“Hareuta Peunulang itu milik isteri, jadi kalau suami nantinya menjual harta tersebut, maka menurut adat sang suami harus membayarnya. Sedangkan kalau isteri yang menjualnya tidak apa-apa, kewajiban suami disini hanya memelihara apa yang sudah ada”terang Abdurrahman lagi.

Dalam masalah mahar, di Aceh Besar misalnya, ada sebagian keluarga yang menentukan sama semua untuk seluruh anggota keluarganya. Seperti halnya Abbasyiah, 80 tahun, menyamakan semua mahar putrinya dengan dirinya dulu. “Keupeu lee lee tacok, peu e’k tapuelang entreuk, aneuk lon, syedara-syedara lom, sama mandun jeulame jih (untuk apa kita ambil banyak banyak sekali, apa sanggup kita beri lagi nanti?, anak saya dan saudara saya sama semua maharnya” Ungkap Abbasyiah dengan bahasa Aceh yang kental.

Berbeda dengan Abbasyiah, lain pula dengan Mardhiah, ibu dua anak ini mengatakan bahwa, maharnya dulu berbeda dengan saudaranya dan juga berbeda dengan anaknya. “Kami semua berbeda tidak ada yang sama” ujar Mardiah sambil tersenyum.

Selain itu, mahar tadi juga harus sedikit pada saat Ranup Kong Haba yang biasanya disebut Caram. Biasanya, berlaku pada adat Aceh Besar dan Pidie. Menurut penelitian, hal tersebut sama dengan yang dilakukan di daerah Gujarat India dan Pakistan. Selain itu nanti akan ada peuneuwoe yang diberikan oleh pihak suami kepda pihak isteri, yang biasanya kebutuhan sang isteri seperti pakaian, sepatu, tas dan lainnya.

Di daerah Gayo, pemberian mahar tergantung pada jenis pernikahannya, seperti pernikahan Jueleng (juel = Jual), mas kawin atau Unyuk kepada pihak perempuan adalah dua ekor kerbau. Kerbau pertama, hanya simbol saja dari sawah yang diberikan. Sawahnya diberikannya nanti, dengan bibit dua Nalih (40 liter), yang disebut ume subang.  Sawah itu baru diterima pihak perempuan, setelah diserahkan sejumlah uang kepada pimpinan belah (Sarak Opah).

Sedangkan kerbau kedua diberikan untuk kepentingan upacara dan hal ini berlaku sebelum Indonesia merdeka. Setelah kemerdekaan, Unyuk tadi berubah menjadi teniron (Permintaan) dan yang diberikan bukan lagi sawah tetapi kebutuhan sesuai dengan perkembangan zaman, seperti mesin jahit, televisi, Radio dan lainnya.

Seiring dengan perkembangan waktu orang-orang berlomba lomba untuk memperoleh teniron yang banyak. Sehingga, dapat menaikkan derajat si gadis dan orang tuanya. Bahkan ada yang berpendapat siapa yang membawa teniro terbanyak akan dinikahkan dengan anaknya. Karena sistem Kekeluargaanya agak condong ke patrilineal, maka isteri nanti akan dibawa oleh suami.


 Namun yang disayangkan, banyak orang Aceh yang tidak memahami dan mengerti hal itu. Seperti halnya Devi Karmila ketika ditanya tentang perbedaan mahar “Mungkin karena harga emasnya yang berbeda makanya jadi tidak sama”Ujar Devi. Sama seperti halnya Devi, kata serupa juga dikatakan oleh Yusnidar. “Saya tidak tahu, munkin ada yang kaya dan ada yang tidak”Ungkapnya tidak yakin. [Khiththati] – Tulisan ini suda pernah dimuat pada majalah SumberPost edisi 4 tahun 2006.

1 komentar: