Pada
bulan-bulan tertentu di Aceh, banyak upacara pernikahan yang dilakukan seperti
di bulan Maulid, Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah. Bahkan dalam seminggu bisa
terselengara dua upacara penikahan dalam satu kampung.
Nikah adalah
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk membangun sebuah rumah tangga
yang resmi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar ikatan tersebut sah,
salah satunya adalah mahar. Mahar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah
pemberian wajib berupa uang atau barang, dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan ketika berlangsungnya akad nikah.
Lain lubuk
lain ikannya begitu pepatah yang dapat menggambarkan keberagaman budaya dan
adat yang ada di Aceh antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Seperti
halnya ada pesisir Aceh memiliki perbedaan dengan yang ada di daratan tinggi.
Begitu pula dalam masalah pemberian mahar dan upacara pernikahannya.
Abdurrahman,
dosen fakultas Hukum Unsyiah mengatakan “ untuk masalah mahar, kita dapat melihat
beberapa faktor perbedaan, perbedaan sistem kekerabatan sangatlah berpengaruh.”
“walaupun Aceh menganut sistem kekeluargaan bilateral, tetapi ada beberapa
kecondongan nantinya, apakah kepada ke patrilineal atau matrilineal” tambahnya
lagi.
Menurut
Syaukas Rahmatillah, Imam Mesjid Tungkop “ faktor yang membuat mahar itu
berbeda kerena beberapa hal seperti adat yang berbeda, kedudukan ataupun status
sosialnya dalam masyarakat, semakin tinggi status sosialnya semakin tinggi
dalam pengambilan maharnya.” “tetapi menurut agama yang diambil adalah yang paling
berkah” Ujarnya mengigatkan.
Berbicara
soal banyaknya mahar, itu tergantung kesanggupan keluarga pihak laki-laki. Ada
yang 1 Bungkai (16 mayam), ada yang
10 mayam dan ada yang 6 mayam. “bahkan di Aceh Selatan, daerah Sama Dua dan
Tapak Tuan ada yang hanya dua mayam”cerita Syaukas Rahmatillah lagi.
“pengambilan
ketentuan mahar, nantinya ada musyawarandidalam keluarga, bukan sembarang
diambil. Dalam adat semuanya dapat dimusyawarahkan. Sehingga tidak menjadi
masalah nantinya”tutur Badruzzaman Ismail Ketua Majelis Adat Aceh (MAA).
Di Aceh
Besar dan Pidie, setelah menikah biasanya suami akan tinggal di rumah
isterinya. Semua kebutuhan suami akan dipenuhi oleh orang tua isteri. Sedangkan
Hareuta Peunulang akan diberikan
setelah mereka memutuskan untuk hidup mandiri. “Hareuta peunulang sendiri ada
berupa tanah, sawah, rumah, toko dan apapun yang bermamfaat bagi keduanya”
Papar Ibrahim Ismail Tokoh Adat Gampong Tungkop.
Pada adat
Aceh Besar dan Pidie, kadang kala pengambilan mahar dilihat juga pada hareuta
Peunulang yang akan diberikan. “Miseu
hana peu geupulang, hana lee geucoek, miseu na biasa jih lee geucoek jeulame
jih, tetapi hareuta penulang bukan balasan dari pengambilan
maharnya”Sambungnya lagi.
Hal yang
serupa juga disampaikan oleh Abdurrahman, dosen yang berperawakan mirip aktivis
Ham Munir ini mengatakan “Mahar dan Peunulang itu dua duanya milik perempuan.
Kalau mahar itu diberikan oleh suami sewaktu akad nikah, maka peunulang itu
diberikan oleh orang tua pihak perempuan kepada anak mereka sendiri dan pemberian
ini juga berdasarkan sistem kekerabatan.”
Umumnya,
daerah yang ada peunulang itu sistem kekerabatannya adalah bilateral yang
mendekati ke matrilineal seperti daerah Aceh Besar dan Pidie. Sedangkan Gayo
yang sistem kekerabatannya bileteral congdong ke patrileneal tidak ada
peunulang.
“Hareuta
Peunulang itu milik isteri, jadi kalau suami nantinya menjual harta tersebut,
maka menurut adat sang suami harus membayarnya. Sedangkan kalau isteri yang
menjualnya tidak apa-apa, kewajiban suami disini hanya memelihara apa yang
sudah ada”terang Abdurrahman lagi.
Dalam
masalah mahar, di Aceh Besar misalnya, ada sebagian keluarga yang menentukan
sama semua untuk seluruh anggota keluarganya. Seperti halnya Abbasyiah, 80
tahun, menyamakan semua mahar putrinya dengan dirinya dulu. “Keupeu lee lee tacok, peu e’k tapuelang
entreuk, aneuk lon, syedara-syedara lom, sama mandun jeulame jih (untuk apa
kita ambil banyak banyak sekali, apa sanggup kita beri lagi nanti?, anak saya
dan saudara saya sama semua maharnya” Ungkap Abbasyiah dengan bahasa Aceh yang
kental.
Berbeda
dengan Abbasyiah, lain pula dengan Mardhiah, ibu dua anak ini mengatakan bahwa,
maharnya dulu berbeda dengan saudaranya dan juga berbeda dengan anaknya. “Kami
semua berbeda tidak ada yang sama” ujar Mardiah sambil tersenyum.
Selain itu,
mahar tadi juga harus sedikit pada saat Ranup
Kong Haba yang biasanya disebut Caram.
Biasanya, berlaku pada adat Aceh Besar dan Pidie. Menurut penelitian, hal
tersebut sama dengan yang dilakukan di daerah Gujarat India dan Pakistan.
Selain itu nanti akan ada peuneuwoe yang
diberikan oleh pihak suami kepda pihak isteri, yang biasanya kebutuhan sang
isteri seperti pakaian, sepatu, tas dan lainnya.
Di daerah
Gayo, pemberian mahar tergantung pada jenis pernikahannya, seperti pernikahan Jueleng (juel = Jual), mas kawin atau Unyuk kepada pihak perempuan adalah dua
ekor kerbau. Kerbau pertama, hanya simbol saja dari sawah yang diberikan.
Sawahnya diberikannya nanti, dengan bibit dua Nalih (40 liter), yang disebut ume subang. Sawah itu baru diterima pihak perempuan,
setelah diserahkan sejumlah uang kepada pimpinan belah (Sarak Opah).
Sedangkan
kerbau kedua diberikan untuk kepentingan upacara dan hal ini berlaku sebelum
Indonesia merdeka. Setelah kemerdekaan, Unyuk
tadi berubah menjadi teniron (Permintaan)
dan yang diberikan bukan lagi sawah tetapi kebutuhan sesuai dengan perkembangan
zaman, seperti mesin jahit, televisi, Radio dan lainnya.
Seiring
dengan perkembangan waktu orang-orang berlomba lomba untuk memperoleh teniron yang
banyak. Sehingga, dapat menaikkan derajat si gadis dan orang tuanya. Bahkan ada
yang berpendapat siapa yang membawa teniro terbanyak akan dinikahkan dengan
anaknya. Karena sistem Kekeluargaanya agak condong ke patrilineal, maka isteri
nanti akan dibawa oleh suami.
Namun yang disayangkan, banyak orang Aceh yang
tidak memahami dan mengerti hal itu. Seperti halnya Devi Karmila ketika ditanya
tentang perbedaan mahar “Mungkin karena harga emasnya yang berbeda makanya jadi
tidak sama”Ujar Devi. Sama seperti halnya Devi, kata serupa juga dikatakan oleh
Yusnidar. “Saya tidak tahu, munkin ada yang kaya dan ada yang tidak”Ungkapnya
tidak yakin. [Khiththati] – Tulisan ini suda pernah dimuat pada majalah
SumberPost edisi 4 tahun 2006.
Terimah kasih informasinya.
BalasHapusoia salam kenal
Mahar Pernikahan
Pandaan