Sabtu, 21 Maret 2015

Ranup Kong Haba [Feature]

Kata pertunangan tentunya sudah sering kita dengar. Di Aceh, kata tersebut kata pertunangan tersebut sering disebut Kong Haba. Selain membawa tanda pertunangan, tradisi ini diiringi dengan membawa serta sirih yang sudah disusun beberapa lapis. Seserahan itu berupa sirih, pinang, dan telur ayam atau bebek yeng telah direbus dan diberi warna yang kemudian disebutlah Ranup Kong Haba.

Istilah Ranup Kong Haba sebenarnya digunakan oleh orang Aceh yang henda membawa tanda sebelum nantinya sampai tahap pernikahan. “Dalam Islam tidak dikenal namanya dengan pertunangan  begitu juga dengan adat Aceh, yang ada hanya ranup kong haba” terang Rusdi Sufi, Ketua Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh (PDIA). Ranup kong haba dimaksudkan untuk memperkuat perkataan pernikahan yang telah di utarakan oleh seulangkee.

Untuk membawa tanda kong haba, orang Aceh biasanya akan menentukan waktu disaat bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 penanggalan bulan qamariah. Pihak yang membawa tanda itu biasanya bukan dari orang akan menjadi keluarga atau pihak linto baroe (Pengantin pria), akan tetapi  Keuchik (kepala desa), Imam meunasah, Seulangkee dan beberapa orang tua kampung pihak linto baroe. Nantinya rombongan itu akan disambut oleh Kepala Desa atau Imam meunasah pihak Dara baroe (Pengantin perempuan). Biasanya acara itu diadakan bersama kenduri kecil atau acara yang dihadiri kedua belah pihak.

Pada hari itu yang dibawa adalah sirih beserta pinang yang telah dibungkus dan telur ayam dan bebek yang telah direbus. Telur tersebut sudah dicelupkan kedalam pewarna seperti merah, hjau ataupun kuning, lalu dibungkus dengan kertas tipis sesuai dengan warna kulit telur tersebut. 
Selain itu, tanda kong haba juga dibawa satu mayam emas, kain sarung, kain baju dan selendang masing masing sehelai. Sekarang, barang barang itu ditambah lagi jenisnya seperti sandal, sabun mandi dan perlengkapan lainnya. Semuanya dibungkus dalam sebuah talam besar. Disertakan juga didalamnya telur bebek yang sudah bewarna warni dan rangkaian bunga seulanga.  “Emas yang dibawa itu namanya Caram, pertanda ikatan awal“ Ungkap Ibrahim Ismail, Imam mesjid Tungkop saat ditanya tentang ranup kong haba tersebut.

Setelah menerima barang seserahan, pihak dara baroe membalasnya denga  memberika dua atau tiga talam Halua meuseukat (Kue tradisional Aceh) dan satu talam kecil yang berisi beberapa ranup (Sirih) pinang dan kapur. Sirih dan tanda kong haba yang diberikan oleh pihak laki-laki akan disisihkan untuk sementara waktu.

Kemudian pihak calon Linto baroe diberi sirih oleh pihak dara baroe yang telah tersedia didalam batee (Cerana). Seseorang yang ‘dituakan’ dalam rombongan calon linto baroe akan berbicara dalam bahasa Aceh tentang maksud kedatangan mereka kepada Keucik atau Imam meunasah di kampung dara baroe. Mereka menanyakan, apakah kedatangan mereka diterima atau tidak? Setelah pembicaraan panjang lebar akhirnya pihak linto baroe diterima dan diajak masuk kedalam rumah.
Setelah acara penyerahan ranup kong haba selesai, calon linto dan dara baroe harus menjaga ikatan yang telah terjalin. Walaupun mereka ini sudah memiliki suatu ikatan,  tetapi karena belum melaksanakan akad nikah, mereka tidak bebas melakukan apa saja. “nyan mandum dijaga lee ureung tuha gampong, kon mangat manteng jeut jak jak, nyan tangong jaweb tanyoe mandum ( itu semuanya akan dijaga oleh orang tua kampung, bukan semudah dan seenaknya di ajak jalan jalan, itu semua sudah tanggung jawab kita bersama)” kata Ibrahim Ismail dengan logat Aceh yang kental. Ia juga menambahkan, ikatan itu biasanya tidak berlangsung lama dan segera akan dilaksanakan pernikahan.

Bila nantinya ikatan itu diputuskan oleh pihak laki-laki atau mereka tidak ingin melanjutkan ke tahap pernikahan, maka tanda caram yang telah diberikan itu akan hangus. Sedangkan jika pihak perempuan yang membatalkannya maka pihak perempuan harus mengganti caram tersebut dua kali lipat. “penyelesaiannya biasanya akan diserahkan kepada pemuka adat atau diserahkan kepada  kepala desa jangan sampai ada yang main-main dengan kesepakatan yang sudah ada” tutur Ibrahim Ismail sambil tersenyum.

Denda atau hukuman yang dijatuhkan kesannya memang tidak adil. Pihak perempuan terkesan lebih berat dendanya apabila ia memutuskan hubungan tersebut yaitu harus membayar dua kali lipa dari apa yang telah di berikan oleh pihak laki-laki.

Abdurrahman, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, menangapi hal itu dengan penjelasan gamblang. Ia menegaskan itu sudah sangat adil. “Logikanya apa yang diberikan oleh pihak laki-laki akan hangus atau menjadi hak milik pihak perempuan jika dia yang membatalkan melanjutkan ke pernikahan” Ungkap dosen hukum Adat ini. “Tetapi apabila yang membatalkannya pihak dara baroe berarti dia harus mengembalikan punya pihak laki-laki dan membayar punyanya sendiri itulah kenapa menjadi dua kali lipat, cukup adil bukan?” Lanjut Abdurrahman kembali bertanya.

Di lain kesempatan, Badruzzaman Ismail saat ditanya tanggapannya tentang denda dan hukuman ini mengatakan, apa apa yang telah diatur dalam adat sebenarnya sudah cukup adil, tetapi kita yang tidak mengerti, jadi terkesan ada pihak yang dirugikan.


“ Adat dibuat dengan banyak pertimbangan, jadi harusnya kita mengetahui kenapa suatu aturan itu dibuat. Kalau belum mengerti tentang adat, jangan terlalu cepat menarik kesimpulan sendiri,” Tegas Badruzzaman Ismail yang juga merupakan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). [Khiththati] – Tulisan ini sudah pernah dimuat pada majalah SumberPost edisi 10 tahun 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar