Tepung Tawar atau lebih dikenal dengan istilah peusijiuek merupakan upacara adat yang
masih menjadi tradisi di Aceh. Bertahun-tahun tradisi ini dilakukan oleh nenek
moyang dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh, terutama pada hari-hari
(peristiwa) tertentu, seperti pada upacara pernikahan, khithanan, menyambut tamu-tamu
agung , serta dalam kegiatan lainnya yang sifatnya memberi semangat dan selamat
untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Ritual ini biasanya dilakukan oleh orang yang
dituakandan dihormati di daerah tersebut. Bahan Peusijiuek lazimnya menggunakan air yang telah dicampur dengan
sedikit wewangian dan tepung, padi dan beras, daun-daunan (Oen Sijuk – Naleng
Lakoo) serta buuleukat (nasi dari beras ketan).
Badruzzaman Ismail, ketua Majelis Adat Aceh (MAA)
mengatakan, Peusijiuek merupakan upacara adat yang sangat
berfungsi positif. Pada ritual ini banyak masyarakat yang berkumpul dan
sekaligus menjadi ajang silaturahmi serta menjalin keakraban antar masyarakat
itu sendiri.
Tgk. Tarmizi dahmy, dosen fakultas Ushuluddin IAIN
Ar-Raniry juga mengatakan “Peusijiuek sarat akan makna qiasan didalamnya,
seperti air yang diqiaskan kepada ketenangan dan kesejukan, padi dan beras yang
melambangkan kemakmuran.” “Dapat kita lihat pada prosesi pernikahan, Peusijiuek yang dilakukan olehorang tua
ketika memercikkan air sambil membaca doa yang bertujuan agar kedua mempelai
nantinya menjadi tenang, tentram dan bahagia dalam menjalani rumah tangga
kelak” Ujar Tarmizi.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh R. Kasman M,Si,
salah seorang tokoh masyarakat desa Lam Keunung, Tungkop. “penisbahan-penisbahan makna
dalam Peusijiuek bukanlah dilakukan secara asal-asalan
tetapi semuanya mempunyai maksud dan maknanya sendiri seperti halnya air,
dedaunnan dan buuleukat itu sendiri.”
“Peusijiuek itu
merupakan tradisi nenek moyang kita, memang kita sadari bahwa tradisi masa
lalu tidak selalu baik atau tidak selalu buruk, jadi kalau memang banyak yang
bagusnya apa salahnya jika dilestarikan” Ujar Alfisyah, Mahasiswi Fakultas Adab
jurusan ASK.
Berbeda pendapat dengan beberapa orang, Heri
Maulizar mahasiswa fakultas Syariah
punya pendapat sendiri. Menurutnya Peusijiuek itu kuno dan tradisi lama yang kalau
tidak dilestarikan juga tidak menjadi masalah, lagi pula itukan budaya hindu
dab bukan budaya islam yang sebenarnya.
Cut Ratna Dewi berdiri diantara kedua pendapat yang
berbeda menurutnya Peusijiuek itu memang kuno tapi mempunyai makna yang sangat bagus
asalkan tidal dilaksanakan secara berlebihan. “walaupun kuno sekarang ini kita
tidak dapat membuat sesuatu yang lebih baik” tambah mahasiswi fakultas Dakwah
ini.
“Perbedaan pendapat tentang Peusijiuek ini disebabkan
karena oramg tidak mengerti ataupun Cuma
mengetahuinya sedikit –sedikit saja mengenai hal ini” Ungkap Tgk. Tarmizi
Dahmy.
Mengenai sejarah Peusijiuek sendiri ada dua pendapat yang berbeda.
Menurut pendapat pertama Peusijiuek dilakukan pertama kali oleh Rasulullah
sewaktu menikahkan anaknya Fatimag Az Zahra dengan Ali Bin Abi Thalib. Nabi
Muhammad kemudian meminta Fatimah mengambil sebaskom air lalu air tersebut
dipercikan kepada kedua mempelai sambil membaca doa seperti yang tertulis dalam
kitab Zinatul Asrar.
Menurut pendapat kedua, sebenarnya Peusijiuek
itu awalnya berasal dari ritual agama Hindu sebelum Islam masuk ke
Aceh. Namun ketika Islam mulai masuk ke Aceh, para penyiar agama Islam
menjadikan Peusijiuek sebagai sarana dakwah, yaitu dengan
mengganti lafal-lafal yang ada didalamnya dengan doa-doa yang ada di dalam
Al-Quran. Hal ini dilakukan oleh para pedagang dari Gujarat, India. Kesamaan
kedua pendapat ini adalah sama-sama ada sewaktu Islam masuk ke Aceh.
Namun menurut pendapat H. Badruzzaman Ismail
“hal-hal itu tidak perlu di permasalahkan, karena sampai saat ini belum ada
seorang ulama pun yang mengatakan Peusijiuek itu haram atau tidak boleh dilakukan,
baik itu ulama salaf (tradisional) ataupun ulama modern sekarang ini.”
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tgk. Tarmizi
Dahmy, “ Jika Peusijiuek itu dikatakan tidak sesuai dengan
syariat jadi kenapa kalau para pejabat
datang tetap di Peusijiuek ataupun mereka yang berangkat berhaji, sebenarnya
yang tidak boleh itu adalah berlebihan.”
“lagi pula kalau tidak di Peusijiuek juga tidak
apa-apa, karena itukan adat jadi tidak berdosalah bagi yang melakukan atau yang
tidak melaksanakan” tutur R. Kasman M,Si. “Peusijiuek merupakan tradisi warisan nenek moyang
kita, namun tanpa dilestarikan semua tradisi tersebut akan hilang, tapi ingat
jangan berlebih-lebihan karena Islam sendiri tidak menyukai sesuatu hal yang
dilakukan secara berlebihan” Tambahnya diakhir wawancara.[] Khiththati (Tulisan ini telah dimuat di
Majalah Sumberpost Edisi III tahun 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar