Ratusan lampu berwarna warni dan cahayanya menerangi
berbagai lorong yang dulunya hanya memiliki penerangan yang biasa saja. Tidak
ada pawai dan karnaval yang akan terjadi apalagi kontes untuk memilih lorong
paling cantik namun ini semua dilakukan untuk menyambut tamu istimewa yaitu
ramadhan diseluruh penjuru Mesir. “kalau diIndonesia upaya memperindah
lingkungan biasanya dilakukan saat menyambut lebaran namun disini malah saat
menyambut puasa, mereka bahkan beramai ramai membeli baju baru” Cerita Farhan
Jihadi, Mahasiswa Aceh yang sedang melanjutkan pendidikan dinegeri piramida itu.
Mesir menyambut ramadhan, Photo by Farhan JIhadi |
Ada beberapa cerita menarik tentang berpuasa diluar negeri
yang diceritakan oleh para mahasiswa asal Indonesia terlebih Aceh yang
melewatkan Ramadhan mereka di luar negeri. Para musafir ini berpuasa sembari
menuntut ilmu. Sebagian dari mereka juga berjuang berpuasa di musim panas
dikarenakan berada di belahan bumi bagian utara
.
Sahlan Zuliansyah, Mahasiswa Aceh peraih beasiswa DAAD pemerintah Jerman ini sudah tiga tahun
melewatkan ramadhannya ditengah musim panas. “Awalnya sangat sulit beradaptasi
dengan singkatnya malam hari jadi waktu berbuka, sahur dan tarawih menjadi
sangat singkat.” Bila di Aceh kita hanya menahan lapar dan dahaga selama 13 jam
namun bagi masyarakat muslim di Jerman mereka melakukannya hingga lebih dari 19
jam ditengah musim panas. “karena singkatnya waktu sahur sangat penting buat
cermat mengatur waktu makan, saya biasanya hanya makan berat saat berbuka dan
hanya makan buah serta banyak minum air saat sahur atau sebaliknya”kisahnya
lagi. “sebenarnya singkatnya waktu tidur malamlah yang lebih berat bagi saya
ketimbang lamanya waktu berpuasa, makanya untuk menjaga tubuh tetap fit saya
juga menyempatkan diri untuk tidur siang” Tambah mahasiswa HafenCity University
Hamburg (HCU) ini.
Hal yang sama juga dirasakan muslim Tiongkok, Korea Selatan,
Amerika Serikat bahkan Semenanjung Arab yang berpuasa ditengah musim panas.
Nurul Wahyuni, mahasiswi asal Aceh yang tengah melanjutkan pendidikannya di West
Virginia University, Amerika Serikat ini memerlukan beberapa hari untuk
beradaptasi dengan lamanya waktu berpuasa. “paruh pertama ramadhan itu terasa
sekali capeknya karena juga belum terbiasa dengan iklim yang ada namun setelah
itu jadi terbiasa sendiri” tutur alumni Unsyiah ini. “biar lebih semangat dan kuat
saat sahur ya makan sayur yang banyak” tambahnya lagi.
“Berpuasa di Korea berpuasa saat ini sekitar 17 jam dan
musim panasnya tidak ada angin, kering karena kelembapannya kurang jadi banyak
memproduksi keringat dan gerah sehingga lebih mudah capek” Cerita Mutiara
Hikmah Mahendradatta. Muti begitu ia bisa dipanggil sudah melewati lima kali
ramadhan di negeri gingseng. Awalnya ia agak terkejut dengan cepatnya imsak dan
lamanya waktu berbuka. namun untuk menghindari kelelahan dan dehidrasi ia lebih
memilih melakukan banyak kegiatan didalam ruangan. “kalau nggak ada kegiatan
apa apa lebih baik berada di rumah terlebih disini tidak ada istilah ngabuburit
seperti di Indonesia” Sambungnya lagi.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Kukuh Pamuji yang baru
pertama kalinya melaksanakan ibadah ramadhan di negeri tirai bambu, China.
“Awalnya selalu kangen sama suara sirine yang ada menjelang sahur atau berbuka,
takjil yang banyak dan harus membiasakan diri juga karena ini musim panas jadi
banyak yang makan es krim di jalan-jalan.” Menurut kukuh tidak ada suasanya
yang berbeda ditempat ia menuntut ilmu sekarang dalam menyambut bulan ramadhan.
“tapi disitulah tantangannya tapi saya nggak tau kalau dengan distrik lain yang
penduduk muslimnya lebih banyak” Tambah mahasiswa yang saat ini tinggal di
Nanjing ini.
Moroko, negara di semenanjung Arab ini juga sudah beberapa
tahun masyarakatnya melaksanakan ibadah puasa kala musim panas selama 17 jam
dengan suhu mencapai 44 derajat celsius. Namun ini tidak memupuskan semangat Muharril
Ashary menjalankan rukun islam yang ketiga ini. Alumni UIN Ar-Raniry ini sedang
menuntut ilmu di Université Cadi Ayyad Marrakech. “karena kota Fez, tempat saya
tinggal dan menempuh studi termasuk wilayah yang iklimnya paling ekstrem saat musim
panas dan musim dingin, namun itu sudah terlewati dengan baik dan sekarang saya
sudah melewatkan ramadahan ke enam disini” kisahnya lagi. Lulusan Sastra Arab
ini juga memberikan beberapa tips melewati ibadah puasa kala cuaca panas. “Saya memperbanyak minum air putih di malam
hari dan juga mengonsumsi kurma, buah-buahansegar serta mengurangi kegiatan
berat di siang hari karena itu akan membuat tubuh cepat dehidrasi dan lemah.”
Shalat Tarawih, Photo By Farhan |
Mesir menyambut bulan penuh berkah ini dengan penuh suka
cita walaupun melewatinya pada musim panas dengan durasi 16 jam. Orang-orang
dinegeri seribu menara ini sangat mencintai Ramadhan saat bulan ini tiba tempat-tempat
berbuka puasa gratis tersedia cukup banyak, mereka menyebutnya jamuan Ma'idaturrahman atau hidangan kasih
sayang. Bahkan mereka berlomba-lomba menghidangkan makanan terbaik untuk
merebut jama'ah. “Jika kita jalan-jalan menjelang buka puasa, pasti banyak
tawaran untuk berbuka puasa, diajak dan bahkan karena kita mahasiswa asing
sering dirangkul atau ditarik untuk berbuka bersama mereka. Selama itu juga mahasiswa
asing tak perlu takut kelaparan, Sekali lagi jumlahnya cukup banyak sep lee pokok jih laju” Kisah Farhan
Jihadi sudah melewatkan tiga tahun ramadahan disana.
Masyarakat Mesir juga gemar bersedekah dalam bentuk lain
selain Ma'idaturrahman. Orang-orang
ini biasanya bersedekah secara langsung, menemui orang yang dianggap
membutuhkan, termasuk orang-orang mahasiswa asing yang dianggap musafir. “Tak
jarang kita mendengar dan melihat, dermawan Mesir memberikan kepada orang lain
atau mahasiswa asing secara tiba-tiba, baik dalam bentuk uang atau kantong
plastik berisi sembako (Syanthah Ramadhan), Biasanya mereka memberi atau
membaginya di mesjid, di jalan-jalan atau diantar langsung ke rumah-rumah orang
miskin atau mahasiswa asing” Sambungnya lagi.
Kala Ruri Widyasari melewati Ramadhannya di Chaiang Rai
tidak ada kendala yang berarti yang ia hadapi karena jadwal berpuasa di
Thailand memang hampir sama dengan di Indonesia. “Pengalaman puasa disini
memang tidak senikmat di Aceh tapi orang-orang Thailand sendiri sangat
menghargai muslim yang sedang menjalankan ibadah ramadhan” Kenangnya.
Saat puasa yang paling ditunggu pastinya saat berbuka karena
para mahasiswa yang tinggal jauh dari tanah air ini kadang kala menggunakan
waktu iftar untuk berkumpul dengan
warga Indonesia yang lain dan juga muslim-muslim dari berbagai negara. Teman
teman dari negara dengan minoritas muslim kebanyakan dari mereka melewatkan
waktu berbuka bersama dimesjid mesjid terdekat dengan menu yang disedekahkan
atau memasaknya sendiri. “Buka puasa bersama selalu di mesjid dengan menu
bervariasi namun buka puasa bersama komunitas muslim lain dan juga teman teman
Indonesia juga dinanti” Ungkap Nurul Wahyuni. Namun ada kalahnya mahasiswi ini
rindu dengan menu andalannya ketika di Aceh, “Pepaya kerok itu suka kepingin
karena bisa dibilang kesukaan saya.”
Hal yang sama juga dirasakan oleh Sahlan dan Kukuh yang
sering menghabiskan waktu buka puasa di mesjid. “bagi saya sebagai mahasiswa
maka waktu buka puasa bersama yang paling ditunggu”Ungkap Sahlan. “di Hamburg,
komunitas Indonesia menagadakan buaka puasa bersama secara rutin setiap akhir
pekan selama ramadhan di kantor konsulat selain itu mesjid yang ada disini juga
mengelarnya setiap hari” Tambahnya. Hal yang sama juga dirasakan Kukuh, ia juga
terkadang menghadiri acara berbuka bersama di mesjid sekitar Nanjing dan
berbuka puasa dengan muslim yang datang dari berbagai negara, “seringnya juga
memasak sendiri jadi bisa membuat beragam menu ala kampung halaman.” Ia meramu
sendiri beragam menu tersebut dari rendang, sambal hingga gado gado. “kalau
menu khas yang terkenal disekitar ada Ji Mifan yaitu semacam gule kari ayam
yang dijual oleh muslim dari kota Lanzhou” Kisah mahasiswa Nanjing University.
Kerinduan berbuka dengan menu Indonesia juga dirasakan oleh
Mutiara Hikmah, ia saban harinya jika ada waktu selalu menyempatkan membuat es
buah “tapi harus menggunakan sirup dari Indo wah itu nggak bisa ketinggalan.”
Walaupun begitu ia juga mempunyai menu Korea favorit yaitu Samgetang yaitu ayam
yang dimasak bersama gingseng. Waktu sabtu dan minggu juga digunakan oleh
komunitas muslim Indonesia untuk mengadakan buka puasa bersama di KBRI dan
saling mengunjungi teman teman yang mengadakan buka puasa dikediaman mereka.
“buka puasa di KBRI itu paling ditunggu karena selain bisa bersilaturahmi juga
bisa menikmati makanan ala negara sendiri” Ceritanya lagi.
Muharril Ashary dan Farhan Jihadi sepertinya mempunyai
pilihan menu yang lebih banyak untuk iftar mereka. Menu berbuka favorit terutama
menu kuliner khas Maroko diantaranya msemmen (mirip canai), chebakia (kue manis),
sup harira (sup tomat yang berisi potongan daging sapi dan kacang-kacangan),
beidh/oeuf (telur rebus yang ditaburi garam dan bubuk jintan) “dan tidak lupaattai
bi na’na’ yaitu tea mint khas Maroko”sebut Muharril lagi.
Di Mesir menu berbuka
puasa tidak banyak variasi seperti di Indonesia, mereka biasa berbuka dengan daging, baik ayam
maupun sapi Lalu ada kuah kuning berupa kacang atau kentang dan syurbah (kuah
sop). Untuk minumannya biasanya mereka minum sobia (yang diolah dari susu, sari
kelapa, tepung kanji, vanili dan gula serta dihidangkan kala dingin) tamar
hindi (minuman dari olahan asam jawa dan gula), arkasus, karkadih minuman dari
sari bunga rosela dan kurma susu. “Kalau kami ingin menu favorit, biasanya kami
masak sendiri menu ala Indonesia”Ungkap Farhan Jihadi. “tapi ada juga menu
favorit disini yang mirip di Aceh yaitu air tebu wah ini selalu ada menemani
berbuka dan sangat laku namun tetap buka pasa dengan perkumpulan mahasiswa Aceh
yang paling ditunggu karena menu utamanya kari kambing” sebutnya lagi.
Makanan berbuka puasa bagi muslim Thailand adalah kolak
dengan olahan tradisional namun bagi Ruri, buah buahan tetaplah menjadi menu
berbuka favorit. “tidak ada banyak sih apalagi gorengan itu jelas jarang
sehingga sering kali langsung dilanjutkan dengan makan nasi namun kalau ada
undangan buka puasa bersama lain ceritanya, lagi pula kita harus bersiap untuk
tarawih jadi juga nggak sering makan banyak”tuturnya lagi. Ruri dan
teman-temannya sering melaksanakan ibadah terawih ditempat yang disediakan oleh
pihak kampus Mae Fah Luang sehingga
lokasinya tidak begitu jauh dari asrama.
Sahlan merasakan tarawih di mesjid mesjid Jerman selalu
semarak dan ramai dan juga dapat kita temukan berbagai wajah muslim termasuk
Asia “bacaan imamnya merdu dan jamaah selalu memenuhi mesjid dari awal hingga
akhir ramadhan.” Hal yang sama juga di alami oleh Kukuh Pamuji di Mesjid
Nanjing. Namun bagi Nurul ia memilih melaksanakan ibadah sunah ini tempat tinggalnya “Tidak serame di Aceh memang karena kebanyakan
melakukan tarawih dirumah karena shalat tarawih baru dimulai jam 11 dan selesai
diatas jam 12 malam Terutama yg perempuan lebih suka dirumah masing- masing”
Ungkapnya. Mutiara Hikmah lebih sering melaksanakan terawih dengan teman teman
dikampus mereka “atau ada teman yang tempat tinggalnya yang agak luas.”
“Jujur tarawih di Mesir lebih meriah dan semarak
dibandingkan di Aceh, Mesjid-mesjid
bukan hanya penuh di awal-awal Ramadhan tapi hingga akhir, khususnya malam 27
Ramadhan” Papar Farhan Jihadi. Ketika Malam 27
Ramadhan jama'ah shalat Tarawih sangat membludak ini disebabkan karena sanggapan bahwa malam 27
merupakan malam lailautul qadar. “walaupun lembaga fatwa Mesir Dar Ifta
memutuskan bahwa shalat Tarawih 20 rakaat seperti mazhab empat, jumlah Tarawih
sendiri yang dilaksanakan tetap bervariasi seperti lazimnya di Indonesia, ada
20 rakaat, ada juga 8 rakaat. Namun, jama'ahnya selalu ramai hingga akhir
Ramadhan”ujarnya lagi.
Hassan II Casablanca menjadi pilihan favorit Muharril
melaksanakan tarawih di Moroko, mesjid ini termasuk diantara 10 masjid terbesar
di dunia namun selalu penuh terutama saat malam 27 yang dipercaya sebagai malam
lailatul qadar. “Pada malam itu berlangsung sejak ba’da Isya hingga sebelum
Subuh dan jamaahnya pun bisa mencapai 100 ribu orang sehingga sebagian para
jamaah melaksankan shalat dijalan” kenangnya. Tradisi lain yang ditunggu-tunggu
oleh masyarakat Maroko, yaitu pengajian raja yang dinamakan dengan Durus Hassaniyah
dengan mengundang ulama-ulama dari mancanegara, termasuk beberapa ulama dari Indonesia.
Mesir dan Moroko merupakan negara dengan mayoritas penduduk
muslim sehingga tidak ada kesulitan untuk menjelaskan makna berpuasa disana
namun beberapa teman-teman yang lain mendapatkan pengalaman unik saat
menjelaskan rukun islam yang ke tiga itu. “walaupun kebanyakan orang disini
sudah tau Ramadhan dari media yang ada namun mereka tetap khawatir terlebih
jika gelombang panas datang karena puasanya lama malahan terkadang ada
menawarkan air karena takut kita sakit namun kita jelaskan lagi apa itu
puasa”ungkap Mutiara Hikmah. Ruri juga menggungkapkan hal yang senada
“pertanyaan yang pertama keluar itu kok sanggup apa nanti nggak mati atau
sakit.” “lalu dijelaskan lagi bahwa ini kewajiban muslim dan juga cara kita
untuk lebih bersyukur”sambungnya lagi.
Menjelaskan makna puasa tidaklah sulit bagi Sahlan walaupun seringkali
ia harus mengatakan bahwa kewajiban ini tidak menyulitkan sama sekali dan tidak
memberatkan. “saya menjelaskan ramadhan sebagai sarana untuk menumbujkan dan
menguatkan rasa syukur, kepedulian terhadap sesama, peningkatan ibadah dan
mengasah pengendalian diri” ujarnya. Di Amerika menurut Nurul bahwa Kebanyakan
orang tahu apa itu ramadan jadi tidak begitu sulit menjelaskan “terlebih
dibudaya kristen juga ada tradisi puasa jadi itu tak begitu asing bagi mereka.”
Petugas Mesaharati di
Mesir sudah mulai menabuh drum dengan kayu sambil berkeliling. Ia berteriak
sambil menabuh drum untuk membangunkan warga
tanda sudah tibanya sahur bagi mereka yang berpuasa. Seperti warga
lainnya Farhan juga memulai harinya dibulan Ramdhan dengan suara lantang dari Mesaharati. [] Khiththati
*(Tulisan ini sudah dimuat pada Tabloid Kiprah Dinas Pendidikan Aceh Edisi Ramadhan Tahun 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar