Jumat, 12 Februari 2016

Mewarisi Wastra Pusaka Aceh

Berasal dari keluarga penenun turun-temurun, Dahlia cemas songket Aceh akan punah. Regenerasi penenun tidak berjalan lagi. Almarhumah ibundanya, Nya’ Mu, dulu memperoleh penghargaan dari pemerintah Indonesia untuk dedikasinya dalam melestarikan wastra berharga ini.
Ilalang tumbuh tinggi di halaman rumah panggung bergaya tradisional Aceh yang berada di Jalan Teungku Glee Ineum Lorong Abu Lampisang No. 16 itu. Pintu pagarnya tidak dikunci. Dalam rumah terlihat beberapa bagian yang terbuat dari kayu telah lapuk. Rumoh teupeuen (rumah tenun) yang didanai pembuatannya oleh Dinas Perindustrian Aceh ini terasa sunyi.
Sejak Nya’ Mu, panggilan akrab untuk sang pemilik rumah yang bernama Maryamu, meninggal dunia pada Februari 2009 lalu, pemandangan tadi jadi lumrah. Dahlia, anak perempuan  Nya’ Mu satu satunya, kini meneruskan usaha ibunya yang dinamai Songket Aceh Gema Beusare. Mereka pernah memiliki gerai di Kampung Mulia, Banda Aceh, tapi hancur akibat bencana tsunami pada 26 Desember 2004 dan sampai sekarang tidak dibangun lagi. Di kampung Siem, di kabupaten Aceh Besar, semua orang mengenal keluarga Dahlia sebagai pembuat songket turun temurun. Jarak Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh, ke kampung Siem sekitar 40 menit bermobil.
Rumah Dahlia berdekatan dengan rumah tenun sang ibu. Namun, dia hanya menenun di hari Sabtu dan Minggu saja di situ. Di hari-hari lain, dia harus menjaga cucu, memasak dan membenahi rumah.
Orang-orang Aceh kini jarang mengenakan songket, kecuali untuk upacara adat. Kebutuhan keluarga Dahlia tidak dapat lagi bertumpu dari usaha ini. Di Aceh Besar, songket hanya menjadi aseo talam (barang hantaran) dari keluarga laki-laki kepada perempuan di hari pernikahan. Ija seunalen (pakaian ganti) dianggap sebagai ulee ija atau kain yang nilainya paling tinggi dibanding barang hantaran lain, bahkan dianggap sebagai penghargaan terhadap perempuan itu sendiri.
Nya’ Mu, ibunda Dahlia, menerima berbagai penghargaan berkat upayanya melestarikan songket Aceh. Salah satu potret di dinding rumah memperlihatkan Nya’ Mu sedang menerima penghargaan  Upakarti di Istana Negara, Jakarta, pada 28 Desember 1991, yang diserahkan presiden Soeharto.
 “Banyak yang saya tidak sempat belajar dari Ibu. Dia bisa menciptakan motif pada kain dan sekarang kami menenun dari apa yang pernah dibuat oleh Ibu dulu,” kata Dahlia, yang biasa disapa “Kak Dah” seraya mengeluarkan koleksi songket dari lemari kaca.
Dahlia kemudian membentangkan sehelai songket tua. “ini buku kain songket. Orang zaman dulu  tidak bisa menggambar. Mereka membuat buku motif dengan menenun,” tuturnya. Kain itu berusia sekitar 200 tahun, berukuran 50 x 50 cm, berisi 25 motif kuno. Meskipun sudah lapuk dan berlubang di sana sini, ada yang ingin membelinya dengan harga puluhan juta.  Dahlia mewarisi kain tersebut dari ibunya, sedangkan sang ibu mewarisi kain yang sama dari neneknya, Naimah, yang juga menerima pusaka keluarga ini dari mendiang orangtuanya. Salah satu motif di kain itu adalah motif pada selendang hitam yang dipakai pahlawan Aceh, Cut Nyak Dien, yang juga orang Aceh Besar. Berdasar catatan sejarah, songket tertua Aceh ditemukan di Pidie antara abad ke-10 dan abad ke-11.
Songket Aceh tidak memiliki motif mahluk hidup seperti manusia dan hewan, melainkan tumbuhan atau awan yang menjadi inspirasi. Interpretasi dari masa lalu terhadap ajaran Islam telah membuat peniruan bentuk manusia dan hewan dilarang.
Nya’ Mu sendiri mencipta lebih dari 50 motif songket. Motif-motif ini dulu pernah diterbitkan oleh Dinas Perindustrian Aceh dalam bentuk buku pada tahun 1992. Tapi sekarang para pembeli tidak terlalu memperhatikan motif. “Mereka lebih memilih warna,” ujar Dahlia. Songket tradisional Aceh terdiri dari empat pilihan warna, yaitu hitam, merah, kuning dan hijau. Sekarang songket dengan warna baru, seperti merah muda, ungu dan campuran beragam warna menjadi pesanan pembeli.
Harga seperangkat songket dan selendang, berkisar dari Rp 400 ribu sampai Rp 1 juta. Bahan bakunya mahal. Prosesnya juga membutuhkan waktu 15 hari.  Sutra dan benang emas untuk membuat songket berasal dari Bandung, yang dibeli Dahlia di Medan.
Ketika ibunya masih hidup, mereka mempunyai peternakan ulat sutra sendiri dan memproduksi warna-warna untuk songket dari bahan-bahan alam. “Semua pekerja datang dari  Pulau Jawa. Waktu konflik (antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) memanas, mereka terpaksa pulang kampung, sehingga puluhan ulat itu mati karena tidak ada yang mengurus,” kenang Dahlia.
Nasib songket Aceh pun terancam punah. Tidak ada regenerasi penenun. Dahlia cemas, “Dulu Ibu sangat yakin bahwa setelah perdamaian (di Aceh) akan banyak yang akan datang untuk belajar membuat songket, tapi ternyata tidak ada murid ibu yang kembali. Mereka beralih profesi menjadi tukang bordir, karena itu lebih cepat menghasilkan uang,” Selain itu, tidak seorang pun anaknya bersedia meneruskan usaha penenunan ini, meskipun mereka bisa menenun. Membuat songket tidak hanya membutuhkan ketelitian, tapi juga tidak mampu mendatangkan uang secara rutin.
Songket-songket dari kampung Siem tidak pernah lagi ikut serta dalam pameran di mana pun. Kendalanya, kekurangan biaya. Hanya satu alat yang tengah digunakan di rumah tenun tersebut dan memperlihatkan kain songket merah jambu yang hampir selesai ditenun pada sore ini, 23 Februari 2015.  Banyak alat tenun telah diselimuti sarang laba laba di sini. (KHITHTHATI) - Tulisan Ini Sudah dimuat pada Majalah Dewi Edisi (lupa) pertengahan tahun 2015