Kamis, 25 Desember 2014

Menikmati Baekje Festival [Reportase]

Panen festival itu mungkin ungkapan yang cocok untuk menggambarkan banyaknya acara hiburan rakyat menjelang pergantian musim di Korea Selatan. Salah satu nya yang sayang untuk di lewatkan adalah Baekje Cultural Festival. Acara yang di gelar dari 28 Sepetember hingga 6 Oktober 2013 ini meliputi dua kota kecil di Chungcheongnam-do yaitu Gongju-si dan Buyeo-gun,  mengambil Tema The World Of Gilt Bronze Incense Burners pada perayaannya yang ke 59 pada tahun ini. Kegiatan ini merupakan salah satu yang terbesar dan merupakan festival nasional di Korea Selatan yang di gelar setiap tahunnya.

Bersama Ita, Aitana dan Leinley


Pada awal tahun masehi terdapat tiga kerajaan besar yang mendominasi daratan korea adalah Goguryeo , Baekje dan Silla. Kerajaan Baekje sendiri memberikan pengaruh yang mendalam bagi penyebaran Kebudayaan China Ke jepang dan megadaptasi Budha sebagai agama negara. Terdesak dan akhirnya mendirikan ibu kota baru di dekat sungai Geumgang Selama 63 tahun , Ungjin (saat hari Gongju) mempunyai perkembangan yang cukup pesat mempunyai istana yang megah dan juga temple-temple yang indah namun untuk alasan politik di akhir periodenya ibu kota kerajaan di pindahkan ke Buyeo.

Welcome to Beakje Festival


Jalan jalan ke Gongju dapat di tempuh kurang lebih 2 jam dari Seoul Ibu Kota Korea selatan namun saya menempuh perjalanan dari kota terdekat yaitu Nonsan hanya memakan waktu 30 menit dan turun tepat di pasar tradisional Gongju. ada banyak hal yang berkaitan dengan sejarah yang bisa anda dapatkan disini terlebih ketika Baekje Festival berlangsung  namun karena keterbatasan waktu berkunjung, saya akan membagi informasi beberapa tempat untuk di kunjungi dalam waktu singkat.

Lambang Kerajaan Beakje


Benteng Gongsanseong

Didepan Benteng

Benteng ini merupakan salah satu pertanda kejayaan kerajaan Beakje di masa lalu, di perlukan waktu kurang lebih 2 jam untuk mengelilingi seluruh area yang luasnya mencapai 2,5 kilometer dengan berjalan kaki. Benteng yang di bangun dekat dengan sungai Geumgang (salah satu sungai paling terkenal di Korea) adalah pusat kota masa lalu dan dapat menikmati pemandangan kota baru, untuk masuk kita harus membayar tiket namun dalam rangka festival anda tak perlu melakukannya. Saat berjalan jalan di dalam benteng anda akan menemukan beberapa pavilion dan sebuat temple penuh ukiran khasnya Korea. Untuk fasilitas publik jangan khawatir karena ada beberapa toilet dan tempat untuk mengisi air di tempatkan di beberapa area.


Ayo Keliling Benteng naik keatas

Persiapan Pertunjukan

Kota Gonju dari atas

Pemandangan dari Benteng

Tempat penampungan air zaman dahulu

Setelah keliling Bentang kelihatan Sungai Geumgang

Tak ingin berkeliling anda bisa menyaksikan upacara pergantian pengawal gerbang benteng, prosesnya akan di pandu oleh seorang narator dan pukulan gong, acara ini berlangsung setiap sabtu dan mingu selama 15 menit dari bulan april sampai oktober setiap jam 11 siang dan 4 sore namun untuk bulan juli dan agustus tidak di laksanakan. Selain itu anda juga bisa mencoba berpose dengan mengunakan pakaian raja, ratu dan para jenderal, baju ini sedikit berbeda dengan Hanbok (Pakaian Tradisional Korea). Tidak hanya itu kita juga bisa mencoba berbagai permainan tradisional seperti memahan, mencoba membuat beberapa kerajinan dari tanah liat dan menumbuk padi. Menurut buku petunjuk turis benteng ini digunakan oleh Raja Munjuwang yang berkuasa pada tahun 475 - 477 untuk mempertahankan wilayahnya.


Atraksi para pengawal

Lentera Harapan

Ternyata Korea Juga punya Jingkhee ini ada di pameran masa lalunya

Haus Siap keliling silahkan minum



Tomb Of King Muryeong

Tak jauh dari benteng anda akan menemukan peninggalan kejayaan lain dari kerajaan Baekje adalah Tomb Of King Muryeong atau lebih di kenal dengan Songsan ri Tomb No 7 adalah sebuah bukit pemakaman kuno dari raja dan istrinya yang memerintah Kerajaan Baekje dari tahun 501 sampai tahun 523 masehi, setelah di teliti dan di kumpulkan ada 7 makam di area ini. Makam ini tak sengaja di temukan ketika proses pembuatan saluran air pada tahun 1971, tampak dari luar seperti gundukan tanah, makam ini di buat dari batu bata berwarna hitam dan kekuningan yang memiliki beberapa motif. Penemuan makam kono ini secara utuh menjadi salah satu penemuan arkeologi di Korea sekaligus menjadi bahan penting untuk mempelajari Kerajaan Baekje dan telah di masukkan kedalam Korea Historic Site No 13 dan juga terdaftar dalam daftar sementara Situs Warisan Dunia. Dari dalam makam di temukan 2.906 benda termasuk dua pasang mahkota kerajaan yang di gunakan oleh raja dan ratu dan dua epigraf batu berisi prasasti berharga dan tanggal serta peti tempat jenazah.  Nama beserta umur raja dan ratu dan tanggal kematian dan penguburan mereka, jarang di temuka untuk makam makam kuno Korea.

Perhiasan yang temukan dalam makam Tua


Makam Tua yang berhasil di gali

Kondisi Di atas makam

enaknya wisata kalau selalu ada papan petunjuknya

Tomb of King Muryeong ini di buka setiap hari  dari jam 9 pagi sampai 6 sore dan hanya di tutup ketika libur tahun baru dan Chuseok day. Selain bisa melihat berbagai peninggalan sejarah, juga ada film serta animasi yang di buat untuk membuat pengunjung lebih memahami serta di lengkapi dengan Exhibit Story, Arena Learning berbasis information search system dan multimedia tour guide system.


Gongju Nasional Museum

Masih dalam area Tomb Of King Muryeong berjalan sekitar 600 meter kita akan menemukan bangunan di balik pepohonan yang lebat. Di dalam museum terlihat banyak anak-anak dan para guru yang sedang memandu menjelaskan sejarah kerajaan.  Di tempat ini sendiri di pamerkan berbagai peninggalan Beakje, ada  4.600 artefak dari 108 jenis yang ditempatkan di sini. museum ini dibuka pada tanggal 1 Oktober 1940, sejarah panjang memungkinkan museum untuk mengumpulkan dan menunjukkan banyak artefak penting dinasti Baekje. Termasuk yang di pamerkan adalah berbagai peningglan emas, perak, gigi ratu (ini sangat unik) dan pahatan hewan penjaga makam (untuk menjaga dari roh jahat). Museum dibuka setiap hari kecuali hari senin ( Hampir seluruh Museum di Korea tutup pada hari senin) dan anda bisa berkeliling gratis.


Liburan? anak-anak akan diajak orang tuanya bermain di museum
Peta Kuno

Bahan Bangunan kerajaan

Salah satu buku yang disimpan di museum


Hannok Village

Sekitar 600 meter berjalan kaki anda akan menemukan perumahan tradisional Korea atau Hannok. Rumah berdempetan dengan ukiran dan arsitektur tua sangat menarik, anda juga bisa bepose di beberapa titik yang disarankan. Desa mungil ini sendiri memiliki 6 Hannok dengan 37 kamar serta di lengkapi dengan area perkemahan. Tertarik mencoba masakan tradisional disini juga tersedia berbagai hidangan jika anda ingin bermalam di Gongju tempat ini bisa menjadi pilihan.


Rumah Tradisional Korea
Senja menjelma itu artinya perjalanan wisata sejarah di Gongju harus berakhir, namun jangan khawatir festival Baekje masih berlangsung, kini sungai Geumgang di sekitar benteng di penuhi cahaya di panggung utama berbagai pertunjukan sudah di persiapkan, berjalan kaki menuju panggung utama memberikan kesempatan bagi anda yang ingin menikmati jajan kaki lima dan mengicip kacang khas daerah setempat. Ingin mengetahui lebih banyak tentang wisata anda dapat singgah di bagian informasi di dekat benteng.


Senja di Hanok Village

Kayu Untuk Pembakaran

Tampak Depan


Tidak bisa mengunjungi Gongju selama Baekje festival berlangsung? Jangan khawatir anda masih bisa mengunjunginya ketika Cherry Blossom Festival setiap bulan April. Selamat Treveling. 


Sampai Jumpa

Selasa, 23 Desember 2014

Mengenang Tsunami [Feature]

PUKUL 07.45, 26 Desember 2004, gempa besar 8,9 skala Richter mengguncang Aceh.

Fahrul terbangun pagi itu, karena ia merasa bumi bergoyang. Ia langsung tiarap, lalu bergegas keluar setelah gempa mereda. Dijalan orang-orang berlalu dengan tergesa-gesa, bahkan ada sebagian yang berlari-lari. Belum hilang rasa kaget Fahrul, tiba-tiba seorang tukang becak yang lewat di depan rumahnya mengatakan air laut naik. Setelah terdengar tiga kali ledakan, tsunami pun datang.

Semula ia cuma menyangka itu air pasang biasa. Tak berapa lama ia mendengar orang-orang mengatakan bahwa air sudah masuk kota. Ia ikut lari bersama mereka. Tapi langkah Fahrul terhenti begitu mendengar dari tetangganya banyak orang yang minta tolong di sungai yang tak begitu jauh dari rumahnya. 

Rumah Fahrul terletak di Lambuk, sekitar 15 menit dari pusat kota Banda Aceh.
Tanpa pikir panjang ia bergegas kembali ke rumahnya. Walau sudah dilarang ayahnya, ia tetap bersikeras pulang. Ia menitipkan jam tangan, dompet dan berpesan ia minta dicari bila nanti tak bertemu lagi.

Sampai di rumah diambilnya tali yang biasa digunakannya untuk memanjat tebing. Dengan membawa tali lengkap dengan alat-alat lain, ia dan tiga teman yang ditemuinya di jalan melangkah ke arah jembatan Simpang Surabaya.

Di jembatan itu sudah banyak orang berkerumun. Mereka melihat ke bawah jembatan, menonton orang yang minta tolong dan timbul-tenggelam di air hitam yang penuh sampah serta mayat itu.
Fahrul meminta orang-orang membuka jalan untuknya. Ia berjalan sampai ke besi pembatas, melihat ke bawah dan tanpa sadar ia menangis.

Dengan spontan, ia langsung mengikat tali di besi jembatan dan meluncur ke bawah. Semula ia ingin menolong seorang pria, tapi ia mendengar suara yang entah dari mana datangnya agar ia membantu seorang perempuan, sudah ibu-ibu. Susah payah, ia melalui tumpukan kayu yang menghalanginya. Ia
berhasil mencapai perempuan itu. Begitu si perempuan berhasil memegang tangannya, tetap tak mudah baginya naik ke atas. Ada orang lain yang ikut bergelayutan di tangannya. Mereka kembali tercebur ke air hitam itu. Perempuan tersebut lepas darinya.

Dalam sungai ia melihat banyak mayat melayang, sampai akhirnya nalurinya mengatakan bahwa ia telah menyentuh tubuh perempuan yang tadi ditolongnya. Ketika ia berhasil membawanya ke atas jembatan, perempuan itu malah terjun lagi ke sungai. Dengan susah payah, diraihnya kembali tubuh perempuan itu dari dalam sungai. Lagi-lagi, si perempuan ingin terjun. Ia tak ingin hidup lagi. Fahrul kemudian mencari akal untuk membujuknya.

Ia lantas berkata, “Nggak bisa begitu dong bu, anak ibu di atas tadi minta saya nolong ibu.”

“Mana anak saya?” tanya ibu itu.

Fahrul menunjuk sembarang tempat di atas. Akhirnya mereka berdua kembali lagi ke atas jembatan. Sebuah ambulan lewat dan Fahrul yang mencari bantuan pengobatan segera meminta ibu tersebut masuk ke dalamnya. Sejak itu ia tak pernah lagi bertemu orang yang diselamatkannya itu.

Tepat setahun tsunami, sebuah pameran foto diselenggarakan di museum Banda Aceh. Fahrul datang, karena diajak temannya. Di depan sebuah foto, mereka berhenti. Sang teman merasa kenal dekat dengan subjek dalam foto tersebut. Fahrul juga berkomentar sama. Lama-lama ia sadar bahwa itu adalah foto dirinya dan perempuan yang ditolongnya. Mereka tergantung di tali. Pada keterangan foto
tercantum tulisan “pemuda ini dan wanita yang ditolongnya tewas setelah akhirnya jatuh kembali ke sungai”.

Malam itu juga Fahrul protes kepada panitia dan meminta mereka mengganti keterangan di bawah foto.

“Itulah wartawan, setelah ambil foto langsung pergi jadi nggak tahu,” ujar Fahrul, sambil tersenyum.
Sekarang Fahrul agak gemuk dibandingkan waktu tsunami. Namun, tulang tangannya tak bisa kembali normal. Bekas tali pun masih menghitam di pergelangan tangan kanannya. Menjelang peringatan tsunami dia selalu bermimpi kejadian di jembatan itu.

Di hari yang sama, di tempat beda, Saiful Sulaiman tengah berada di laut. Ia nelayan desa Suak Ribee, Aceh Barat, tapi asal Palembang. Tahun 1975 ia meninggalkan kampung halamannya, pindah ke Aceh.

Saiful biasa melaut malam hari dan kembali siang esok harinya dengan membawa ikan-ikan. Malam minggu itu ia berangkat bersama 20 orang dengan 10 perahu. Awalnya Saiful juga tidak merasa ada yang janggal. Laut tenang dan airnya jadi dingin. Tidak ada ikan yang didapatkannya. Ia sempat
melihat ada ombak besar menghantam darat tapi karena dari jauh, ia pikir cuma ombak pasang. Tak jua mendapat ikan akhirnya ia dan nelayan lain memutuskan untuk pulang. 


Saiful dan teman-temannya tak menemukan tepi pantai yang jadi tanda daratan. Rumah-rumah hilang digantikan wujud lautan berisi sampah. Perahu pun tak bisa berlayar karena tertahan kayu-kayu. Mereka kemudian berenang mencari daratan.
Saat tsunami itu Saiful kehilangan istri dan anaknya. Empat tahun setelah tsunami, saya menemuinya. Ia sedang membuat jala bersama istri barunya, di pinggir laut. Ada perubahan besar di Suak Ribee pascatsunami.

“Setelah tsunami di desa ini tinggal 30 kepala keluarga dari 200 kepala keluarga. Tapi sekarang sudah ramai lagi dan banyak yang saya tidak kenal,” ujarnya, seraya tersenyum.

Tapi bukan hanya itu perubahan yang terjadi. Setelah tsunami air laut jadi agak dangkal dan ikan berkurang. Selain perubahan alam, kedatangan kapal pukat harimau membuat nelayan tradisional seperti dia menjadi susah dapat ikan.

“Selain itu di sini banyak penjual buah yang mendapat bantuan perahu, bukan nelayan. Aneh kan?” kata Saiful, lagi.

EMPAT tahun setelah tsunami, Annisa masih terus memikirkan cara memperbaiki rumahnya. Rumah bantuan ini tanpa dapur dan kamar mandi yang layak pakai,  juga sudah miring sebelah. Rumah terus melesak ke dalam tanah, sehingga Annisa dan suaminya harus bertindak cepat sebelum rumah mereka hilang. 

Suami-istri ini bekerja sebagai penyadap karet. Desa Suak Nie, tempat mereka tinggal, sebagian besar daratannya sudah jadi laut. Warga yang ingin punya rumah harus membeli tanah.
“Semuanya akan ada jalan keluarnya?” tanya Annisa, kecewa.

Tsunami tak hanya melanda Aceh dan menewaskan lebih dari 150 ribu jiwa, kepulauan Nias di Sumatera Utara juga dilandanya. Di Nias, 850 jiwa jadi korban.

Saat tsunami menghantam desa Sisara Hili, Indra sedang berada di Gunung Sitoli—ibukota Nias yang letaknya beberapa kilometer dari desa tersebut. Indra relawan Palang Merah Indonesia. Pukul 12 siang dia bersama sembilan rekannya berangkat ke tempat bencana. Di hari itu 54 orang berhasil dievakuasiTim Indra dari desa yang dihuni 120 kepala keluarga itu.

MENJELANG peringatan empat tahun tsunami, saya bertemu Indra Lesmana Adi Putra Lase dan temannya, Herman. Mereka memberi pelatihan siaga menghadapi bencana kepada warga.
Sama seperti di Aceh, Nias juga melakukan pembangunan kembali pasca bencana. Tapi hambatan juga ada.
“Pembangunan di sini juga berjalan lambat. Ada kesalahan di sana-sini. Bahan bangunannya juga tidak sesuai standar,” ujar Indra.

Rasa percaya dan harapan warga Nias terhadap terhadap Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pun telah memudar.[]Khiththati

# Tulisan ini sudah di publikasikan di AcehFeature.org

Kamis, 04 Desember 2014

Kenduri Rakyat Aceh [Feature]

PANGGUNG utama Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) sudah dihias pada tanggal 8 Februari 2007 itu. Pelaminan pun sudah dipasang. Warnanya kombinasi merah dan kuning emas. Namun, pelaminan tak hanya satu. Ada tiga; yang paling besar di tengah dan dua yang kecil di kanan-kirinya. 

Pelaminan identik dengan pernikahan. Tapi tak ada pasangan kekasih yang akan menikah massal di sini. Kenduri untuk gubernur dan wakil gubernur Acehlah yang akan terjadi.
 

Di muka panggung sudah dibangun teratak untuk menampung warga. Barisan terdepan berisi sofa dan kursi empuk, sedang barisan belakang berisi kursi plastik. Tapi kursi-kursi itu belum semua tertata. Sampah pun berserak di bawahnya. Sehelai karpet merah membentang mulai dari belakang sampai ke panggung, membelah teratak jadi dua sisi.
 

Tiga televisi yang dipasang di tiga tempat telah menyala serentak. Siaran saat itu adalah Fun with English, yang ditayangkan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Namun, tak banyak yang menonton. Anak-anak asyik bermain telepon seluler. Seorang lelaki dewasa tiba-tiba menegur mereka, “ Nak, itu Rafly yang pakai baju hitam”, tapi anak-anak itu tidak peduli. Rafly adalah penyanyi terkenal Aceh. Ia membawakan lagu-lagu rakyat, menghidupkan kembali syair-syair lama Aceh yang nyaris dilupakan orang.
 

Tepat pukul 09.30, setelah acara Fun with English selesai, TVRI menayangkan siaran langsung pelantikan gubernur serta wakil gubernur dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Teratak yang tadinya sepi mendadak ramai orang.
 

Sebanyak 1.208 kursi telah disiapkan di dalam gedung DPRD dan 2.700 ditempatkan di luar gedung. Di layar televisi tampak Menteri Luar Negeri Muhammad Ma’ruf berjalan menuju tempat pelantikan, diikuti Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh.

“Nyan koen ka troek, hana meu khem sagai lago (itu dia sudah sampai, tidak ada senyum sedikitpun),” ujar seorang lelaki yang menonton. Irwandi memang tak senyum sama sekali.

Prosesi itu diawali pembacaan ayat suci Alquran oleh Teuku Alamsyah. Saat lagu Indonesia Raya berkumandang, seorang penonton di dekat saya berceloteh, “Nyan hai hana ji meulagu, meu abah hana ji buka. Peu hanjeut (itu dia tidak bernyanyi, mulut saja tidak dibuka. Apa tidak bisa)?”. Di televisi terlihat kamera sesekali menyorot Irwandi dan Nazar. Sejak konfik memanas di Aceh, sebagian warga ternyata lupa pada lirik lagu kebangsaan Indonesia itu, termasuk calon-calon pemimpin yang tengah dilantik.

Ketika pengambilan sumpah dilakukan dan serah terima jabatan ditandatangani, beberapa orang di kantor DPRD ada yang menangis. Tapi ada pula yang tidur. Ini menandakan seremoni sebentar lagi usai.

Kesibukan di PKA pun bertambah. Beberapa orang yang menonton televisi diminta pindah, karena menginjak karpet merah.

Sesaat kemudian, seorang lelaki datang. Ia berjalan dengan tongkat dan dibantu seseorang. Ketika ia hendak duduk, beberapa anggota panitia menghampirinya dan meminta lelaki tersebut duduk di sofa yang ditunjuk panitia. Rombongan lelaki itu menolak, tapi setelah mendapat penjelasan, mereka pun bersedia.

“Itu Raja Ubiet dari gunung Geurutee keturunan Poeteumeureuhom,” ujar Ulfa, teman saya. Gunung Geurutee merupakan salah satu basis pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Meuseue na Teungku Bantaqiah, pasti gop nyan nyang jak (kalau masih ada Teungku Bantaqiah, pasti beliau yang datang),” ujar anak muda di sampingnya. Bantaqiah ulama yang dihormati. Ia, putranya, dan puluhan santrinya dibunuh militer Indonesia ketika keadaan darurat militer diberlakukan di Aceh.
 

Saat pembacaan doa di kantor DPRD, panitia di PKA makin sibuk dengan kursi.
 

“Hai bek duek di sinan, nyan teumpat panglima sagoe (hai jangan duduk disitu, itu tempat untuk panglima wilayah),” ujar seorang pria berbaju hitam, berkaca mata hitam, dan di tanda pengenalnya tertulis “keamanan internal”.

Pukul 11.38, acara hiburan dimulai di panggung utama. Grup Seulawet Aneuk Nanggroe tampil. Sementara televisi menayangkan profil Irwandi dan Nazar.

Pukul 11.53, grup rapai geleng Aneuk Sanggar Seni Seulaweut Institut Agama Islam Negeri Ar-raniry muncul dan mendapat sambutan yang meriah. Saat mereka tampil, tamu dari kantor DPRD mulai berdatangan dan membuat para penonton merasa terganggu. Pasalnya, mereka itu menghalangi pemandangan penonton yang ingin menyaksikan rapai geleng. Orang-orang protes dan mengeluh panjang-pendek dalam bahasa Aceh.
 

Saya dan Ulfa duduk di samping anggota tim sukses Irwandi dan Nazar. Sesekali saya menyimak percakapan antar mereka.
 

“Hai, beuklam pat ka èh (hai, tadi malam kamu tidur di mana)?” tanya pria berbaju putih kepada temannya yang memakai baju hitam.

“Bak kanto SIRA, Peunayong (di kantor SIRA, Peunayong),” jawab yang disapa. SIRA kependekan dari Sentra Informasi Referendum Aceh. Organisasi ini turut menggerakkan hampir sejuta orang untuk menuntut referendum bagi Aceh di tahun 1999. Nazar, sang wakil gubernur, adalah orang SIRA.

“Hai ka kaloen dilee ibu Masyitah nyan (hai coba lihat ibu Masyitah itu),” kata pria baju putih.

“Pakoen (kenapa)?” balas temannya.

“Baroe jeeh wate dijok peng si miliar, yue bloe seunjata, ôh lheuhnyan geu peuplueng peng nyan u Jakarta. Ta tuntut entreuk (dulu waktu diberi uang satu milyar, disuruh beli senjata, setelah itu uangnya dibawa kabur ke Jakarta. Kita tuntut nanti),” tukas pria baju putih itu dan disambut kor tawa teman-temannya.

Mereka terus merokok, sesekali sengaja mengembuskan asap rokoknya kepada kami dan bahkan, menawari kami rokok.

Setelah penampilan Aneuk Sanggar Seni, giliran Rafly yang tampil. Ia berbaju hitam, agak kusut, dan menyandang gitar di bahu.
 

“Rafly, Rafly, Rafly!” sorak penonton.

Rafly mulai menyanyi, sambil sesekali mengajak penonton ikut menyanyi. Setelah menyanyi beberapa lagu, ia kemudian berkata dalam bahasa Aceh, “Dulu pemimpin menampakkan diri seperti ulama, padahal dia semua pencuri, sekarang pemimpin dipilih oleh rakyat dan Irwandi-Nazar sekarang menjadi pilihan hati rakyat.”
 

Pidato kecil ini disambut tepuk meriah.

“Peu? Rafly meulagu lom (apa? Rafly menyanyi lagi)?” tanya Rafly.

“Lom, lom (lagi, lagi),” jawab penonton.

“Peu panitia mantoeng na wate? Loen han èk cocok wate gop (panitia apa masih ada waktu? Saya tidak mau ambil waktu orang),” ujar Rafly.

Saat Rafly menyanyi, semua penonton menoleh ke belakang sampai beberapa kali. Perhatian mereka terbelah, antara mendengar Rafly menyanyi dan takut kehilangan momen kedatangan Irwandi-Nazar.

“Hai ka kaloen keunoe, hana troek lom (hai lihat kemari, belum sampai lagi),” ujar Rafly. Ia paham pikiran penontonnya.

Para penonton kembali melihat ke arah Rafly.

“Hana arti awaknyan meuseu hana tanyoe, beutoi (tidak ada arti mereka kalau tidak ada kita, benar),” katanya.
 

“Beutoi, beutoi (benar, benar)!” seru penonton.
 

“Teuma peu nyang kahebat that (jadi apa yang harus dibanggakan),” ujar Rafly, kemudian bernyanyi lagi.
 

Ia membawakan beberapa lagu, seperti Seulanga, Meukondroe, Adam, dan Perahu. Ada yang diiringi musik latar, ada juga yang diiringi petikan gitarnya sendiri. Menjelang shalat dzuhur, Rafly menutup penampilannya dengan tembang Si Bijeh Mata.

Saat azan berkumandang, seluruh aktifitas di panggung utama dihentikan. Saya dan Ulfa bergegas mencari kamar mandi untuk wudhu’ (mengambil air sembahyang). Tapi tidak ada satu pun kamar mandi yang bersih. Semua bau pesing. Air tak ada. Kakus atau kamar mandi umum di Aceh sama saja dengan banyak tempat lain di Indonesia, kotor dan bau! Adat dan keyakinan boleh beda, tapi sifat pengotor ternyata sama.

Akhirnya kami bertekad mencari air dan shalat di luar PKA. Saat kami kembali, seorang anggota keamanan eksternal menyapa.

“Hai cewek, kalheuh pajoh bu (hai cewek, sudah makan nasi)?” Ia berjalan di samping kami.
 

“Goh lom (belum),” jawab saya.

Pria itu langsung menelepon.
 

“Hai peu siapkan bu lhe boh, na dua cewek lon hana dipajoh bu (hai siapkan nasi tiga bungkus, ada dua cewek saya yang belum makan),” katanya di telepon.

“Ikot lon mantoeng (ikut saya saja),” ujar pria itu kepada kami. Belakangan saya tahu namanya Prity tapi sering dipanggil Jul oleh temannya. Bukan nama asli, hanya panggilan. Dia bekas gerilyawan GAM dari Bireun. Selain memberi kami nasi, ia juga memberi kami kalender bergambar Irwandi dan Nazar.

“Pa joh ju nyan, sie masak Aceh, mangat that (makan terus ya, daging masak Aceh, enak sekali),” ujarnya, seraya berlalu.

Kantong yang diberikan Bang Prity berisi sebungkus nasi dan gulai sapi, sendok plastik dan air mineral. Rasa gulai sapi memang enak. Sekitar 30 ekor sapi disembelih untuk perhelatan ini. Selagi kami makan, tari saman Gayo dipertunjukkan di panggung dan dilanjutkan rapai dabus dari Aceh Besar.
 

Hari itu banyak orang yang benar-benar ingin menyaksikan acara di panggung utama, tetapi banyak juga yang datang untuk mengambil makanan saja.
 



SEKITAR pukul 14.20, rombongan Irwandi dan Nazar sampai ke arena panggung utama PKA dan disambut tarian ranup lampuan. Saat rombongan turun dari mobil, keadaan jadi ramai dan terjadi aksi dorong-mendorong, karena beberapa orang berusaha memotret mereka. Mobil yang mereka tumpangi diparkir tepat di atas tikar yang telah disiapkan untuk para penari! Salah tempat.

Istri Irwandi mengenakan baju kurung coklat, songket merah jambu, dan sandal coklat. Sedangkan Irwandi memakai baju adat Aceh warna hitam, songket yang senada dengan istrinya serta memakai kacamata hitam dan ia tersenyum melihat orang menari.
 

Di samping istri Irwandi, ada Nazar yang berpakaian seperti Irwandi dan istrinya yang memakai baju biru, sandal biru, dan juga terus tersenyum.
 

Nazar sesekali memperhatikan telepon selulernya. Seorang penari menawarkan ranup (dalam Bahasa Indonesia disebut sirih) kepada rombongan Irwandi dan Nazar berserta istri, lalu ranup yang telah diambil diganti dengan uang seratusan ribu. Setelah tarian selesai, rombongan bergegas berjalan di atas karpet merah sambil diiringi selawat dari atas panggung dan dengan penjagaan ketat.
 

Irwandi berserta isteri berjalan di depan. Mereka kemudian duduk di sofa yang paling depan dan langsung dikelilingi wartawan.

“Ou panas!” kata seorang penari.
 

“Pasti besok udah kembung air,” ujar temannya.

Betapa tidak, mereka harus menari dengan kaki telanjang di tanah, bukan tikar, di saat matahari sedang panas-panasnya. Bahkan ada beberapa penari yang terinjak batu tajam saat menari dan ada pula yang terinjak puntung rokok yang masih menyala.
 

“Berapa duit yang dikasih tadi,” tanya saya kepada salah seorang penari.

“Lumayan, kayaknya lebih dari 500 ribu,” sahutnya.
 

Dari panggung terdengar pengumuman bahwa Malik Mahmud, perdana menteri GAM, akan segera datang.
 

Suasana hening saat sebuah mobil berhenti di ujung karpet merah. Itu mobil dinas gubernur.

Seorang pria turun dari mobil, membawa sebuah map, berkacamata hitam dan ada setangkai bunga di kantong bajunya. Ia bukan tamu yang ditunggu.
 

“Leu that gaya lagoe (banyak sekali gaya),” ujar seseorang yang berdiri di dekat karpet merah, mengomentari lagak pria itu.

Beberapa sindiran terdengar, tapi pria tersebut tak menanggapi. Setelah menyapa seorang kenalan, ia langsung menuju panggung utama.
 

Pada pukul 14.58, Malik Mahmud tiba di panggung utama. Ia turun dari mobil hitam berplat nomor BK 200 SD dan langsung disambut blitz kamera. Di kaca mobilnya terpasang stiker “Undangan VVIP”.
 

Saat Malik hendak melangkah, ada suara yang mengatakan, “preh dilee” (tunggu dulu), Malik Mahmud pun berhenti. Tidak lama kemudian, muncul Muhammad Usman Lampoeh Awe. Ia berjalan di samping Malik, bersama-sama menuju panggung. Lampoh Awe adalah pejuang GAM angkatan pertama.
 

Saat semua mata mengarah ke panggung, dari mobil Malik turun seorang pria. Penampilannya biasa saja dan berjalan sambil merokok. Ia sopir Malik. Dulu gerilyawan GAM. Namanya, Rahman.
 

“Pak Malik udah lama di sini?” tanya saya.

“Ada kurang lebih tiga bulan,” ujarnya, terus merokok.

Setelah pembacaan ayat suci Alquran selesai, acara dilanjutkan dengan pembacaan Hikayat Prang Sabi. Penonton yang semula gaduh jadi sepi ketika hikayat itu dinyanyikan.

Subhanallah Wahdahu Wabihamdihi
Khaliqul Badri Wallaili ‘Aza Waajalla
Uloen peujoe po, sidroe po syukur keu Rabbi ya ‘aini (saya memuji Allah tuhan yang satu. Syukurku untuk-Nya ya ‘aini).
Keukamoe neubrie beusuci Aceh mulia (untuk kami semoga diberikan kesucian Aceh mulia).
Tajak prang meusoh beuruntoh dum sitree Nabi (mari kita perangi musuh sampai hancur semua musuh Nabi).
Yang meu ungki keu Rabbi keu poe nyang Esa (yang mengingkari Rabbi tuhan yang Esa).

Soe han tem prang cit malang (siapa yang tidak mau berperang dia akan celaka)
ceulaka teuboh, rugoe roh (celaka tubuh, rugi roh)
syuruga tan rhoh dudo rhoh (tidak masuk syurga, kemudian masuk)
dalam neuraka …(ke dalam neraka).

Banyak penonton ikut bersenandung. Bahkan ada yang mengatakan “koen mangat that diubah” (enak saja mereka ubah). Saat konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM masih berlangsung, kata “mulia” dalam hikayat tersebut diubah jadi “merdeka”.
 

Hikayat Prang Sabi adalah karya sastra yang menggambarkan tentang mulianya orang yang berjihad. Hikayat ini berhasil membangkitkan semangat orang Aceh dalam melawan penjajah kolonial Belanda lebih dari 50 tahun. Ia ditulis sastrawan sekaligus ulama Aceh, Teungku Chiek Pantee Kulu. Pemerintah kolonial melarang hikayat ini dinyanyikan. Mereka melihat ada semangat juang yang sangat besar dalam diri rakyat Aceh ketika menyanyikan hikayat tadi.
 

Di masa konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM, Hikayat Prang Sabi juga dilarang diperdengarkan. Barang siapa yang melanggar, nyawa taruhannya.
 

Setelah Hikayat Prang Sabi, lagu Sion Bendera (Selembar Bendera) siap-siap dikumandangkan.
 

“Lagu Sion Bendera, lagu Bangsa Aceh, hadirin mohon berdiri,” ujar protokol.

Sion bendera dalam nanggroe (selembar bendera di dalam negeri).
Di ek tip uro angen peudoda (berkibar di sepanjang hari dengan tiupan angin).
Bintang buleun pusaka nanggroe (bintang bulan pusaka negeri).
Neusah keu bumoe Aceh mulia (resmilah bumi Aceh mulia).
Ija mirah meugareh binéh (kain merah bergaris tepi)
Nam krek gareh lam bendera (enam garis di dalam bendera)

Saat Sarjani bin Abdul Samad menyanyikan lagu ini, keadaan jadi sangat hening. Lagu sendu, lirih, membuat yang mendengarnya terhanyut. Ada yang sedih dan menangis. Kebanyakan orang yang hadir mengenakan pin bergambar bendera GAM.
 

Ketika mata saya menatap Pak Rahman, beliau mengisap rokoknya dalam-dalam. Matanya yang berkaca-kaca menerawang jauh.
 

Saat memalingkan pandangan ke samping, saya melihat Ulfa mengusap air matanya.
 

“Dulu banyak temanku yang ditangkap karena menyanyikan lagu ini. Dan selebaran yang ada lagunya banyak dibagi. Aku dulu juga punya,” kata Ulfa.

Lagu itu tercipta setelah pertempuran hebat antara pihak GAM dan militer Indonesia di Paya Bakong, Aceh Utara. Sion Bendera diciptakan sendiri oleh Sarjani atau lebih dikenal dengan sebutan Teungku Joel. Kulitnya putih, masih muda, dan hanya sempat menamatkan sekolah menengah pertama. Ia asal Indrapura, Aceh Utara.

Setelah Sion Bendera dinyanyikan, giliran Sofyan Dawood memberikan kata-kata sambutan, sebagai ketua tim sukses Irwandi Nazar. Hari itu ia memakai kemeja biru dan celana coklat.

“Keu tim sukses yang kaleuh beukerja tan dibayeu ngon tem theun duek (untuk tim sukses yang sudah bekerja tanpa dibayar dan mau menahan lapar),” ujar Sofyan Daud dan mendapat tepuk tangan meriah dari penonton.

“Beutoinyan (betul itu),” sahut beberapa penonton.

Pada pukul 15.30, Irwandi dan Nazar berdiri berdampingan di panggung. Waled Tanoh Mirah kemudian memakaikan kopiah meketup kepada Irwandi dan Nazar, serta memberikan naskah Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau populer disebut RUU PA versi rakyat Aceh kepada keduanya.

“Hai yak com-com mieng, kalage bak seunetron mantoeng (hai pakek cium pipi segala, macam di sinetron saja),” ujar seorang bapak dari kursi penonton.

Acara dilanjutkan dengan peusijuek (memercikkan air dengan daun-daunan) untuk gubernur dan wakil gubernur yang dilakukan bergantian oleh Malik Mahmud, Tengku Usman Lampoh Awe, Waled Tanaoh Mirah, 16 panglima sagoe dan Teungku Usaman Hanafiah serta perwakilan dari masyarakat internasional. Peusijuek semacam ritual adat untuk memohon keselamatan.

Di tengah prosesi peusijuek, saya melihat Tengku Firmansyah keluar dari kerumunan wartawan di depan panggung. Ia artis sinetron Indonesia yang cukup terkenal.
 

Ketika Tengku Firmansyah hendak beranjak pergi, banyak orang yang minta difoto bersamanya. Tentu saja, saya dan Ulfa tidak mau ketinggalan. Hari itu Tengku Firmansyah tampak ganteng dengan pakaian serba hitam. Sambil meminta tanda tangan, iseng saya bertanya soal kehadirannya.
 

“Ngapain ke sini, Mas?” tanya saya.

“Mau lihat proses demokrasi yang sudah berlangsung dengan baik di Aceh,” jawabnya, tersenyum.

“Mbak Cindy nggak diajak?” tanya saya, menyebut nama sang istri yang juga bintang sinetron dan penyanyi.

“Nggak, Cindy di rumah, (saya) ke sini sendiri,” katanya sambil melihat ke bawah, karena sudah menjatuhkan pulpen saya.

“Maaf ya, udah dulu.” Ia pergi, sambil melambaikan tangan.

Setelah Tengku Firmansyah pergi, seorang lelaki yang berada di kursi samping berkata, “Na ka kaloen urung Aceh, teuwoe keu peumimpin droe bak dikaloen artis (kalian lihat orang Aceh, lupa kepada pemimpin sendiri kalau melihat artis).” Tetapi orang-orang yang minta foto bersama tadi tidak hirau pada kata-katanya, termasuk kami.

Setelah gubernur dan wakilnya di-peusijuek, giliran bupati dan wakil bupati terpilih yang di-peusijuek.

“Nyang toeh wakil bupati geutanyoe (yang mana wakil bupati kita)?” tanya seorang pria berbaju batik.

“Yang nyan hai (yang itu),” jawab temannya, seraya menunjuk ke arah panggung.

“Oh yang nyan, itam lagoe (oh yang itu, hitam ya),” balasnya, disambut tawa beberapa orang di sekelilingnya.

Setelah gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati berfoto bersama, acara dilanjutkan dengan “haba petuah” dari Malik Mahmud.

“Keu awak droeneuh bandum na saleum dari ureung tuha geutanyoe Hasan Tiro, mudah-mudahan jeut geuwoe dalam pandum uroenyoe (untuk anda semua, ada salam dari orang tua kita Hasan Tiro, mudah-mudahan beliau bisa pulang dalam beberapa hari ini),” ujarnya dalam pidato.

Para penonton bertepuk tangan, bahkan ada seorang ibu yang berteriak, “I love you, Hasan Tiro!”

“Nyoe keuh keuleubehan bangsa geutanyoe Aceh, pa kiban hudep bak masa damai, pa kiban hudep bak masa konflik, pa kiban hudep bak masa musibah rayeuk, nyan yang peuget bangsa laen kagom keu geutanyoe (inilah kelebihan bangsa kita Aceh, bagaimana cara kita hidup pada masa damai, bagaimana cara kita hidup pada masa konflik, bagaimana cara kita hidup pada masa musibah besar, itu yang membuat bangsa lain kagum kepada kita),” lanjutnya, disambut tepuk tangan meriah penonton.
 

“Beutoi nyan, beutoi nyan ( benar itu, benar itu),” teriak beberapa orang.

“Hudep beu sare, mate beu sajan, beu sikrak kafan, saboh keureunda (hidup kita sama rata, mati bersama, satu kain kafan satu keranda),” katanya mengutip pepatah aceh, sebelum mengucapkan salam tanda pidato berakhir.

Setelah Malik Mahmud, Irwandi juga berpidato.

“Seubeutoi jih konsep nyoe lon peusiapkan keupidato bak kanto DPRD, tapi rupa jih hana agenda pidato gebernur baro, kakeuh pidato di sinoe mantoeng, memangnyoe ka raseuki awak droeneuh bandum (sebenarnya konsep ini saya persiapkan untuk pidato di kantor DPRD, tetapi karena tidak ada agenda pidato bagi gubernur baru, ya sudah saya berpidato di sini saja, memang ini rejeki anda semua),” katanya.
 

“Nyoe kupiah payah peurayeuk, atawa rayeuk keudroe euntreuk ban ka trep-trep (ini kupiah harus diperbesar, atau nanti lama-kelamaan besar sendiri),” ujar Irwandi, membuat perumpamaan terhadap pemerintahannya.
 

“Nyoe keuh hayeu jih di Aceh, hana yang taloe tapi dua-dua meunang dalam prang (inilah hebatnya di Aceh, tidak ada yang kalah tapi kedua belah pihak sama-sama menang dalam perang),” ujarnya lagi.
 

Pidato Irwandi hari itu membuat para penonton banyak tertawa dan bertepuk tangan. Di tengah pidato, songket Irwandi terlepas di bagian depan. Ia tak peduli dan terus bicara. Irwandi cukup lama berpidato, sampai-sampai ajudannya berbisik kepadanya. Tidak lama kemudian pidatonya selesai.
 

Setelah Irwandi, giliran Nazar berpidato.

“Lon cuma peugah haba bacut, bandum bahan ka jisawiet le Irwandi (saya hanya ingin berbicara sedikit, semuanya sudah disampaikan oleh Irwandi),” ujar Nazar tersenyum. Kalau pidato Irwandi banyak menyinggung kisah masa lalu, maka pidato Nazar lebih menekankan kepada program kerja.
 

Pemerataan pendidikan sepertinya menjadi agenda pokok. Nazar tampil berpidato tanpa teks.
 

Hari itu semua orang bicara dalam bahasa Aceh.
 

Setelah Nazar selesai berpidato, Waled Tanoeh Mirah memberikan sedikit petuah dan membacakan doa sebagai tanda acara berakhir. Setelah itu, bagi warga yang ingin bersalaman ataupun melihat secara dekat pemimpin baru mereka, dipersilahkan untuk naik panggung.

Namun, ada juga orang yang tidak naik panggung. Bahkan menunggu rombongan di ujung karpet merah. Seorang pengemis yang kedua kakinya tidak berfungsi itu, misalnya. Ia berjalan dengan menggeser pantatnya. Selain dia, ada beberapa pengemis yang hadir di acara ini.

Pada pukul 17.15 Teungku Usman Lampoeh Awe meninggalkan panggung. Dia masih tampak seperti saat datang, dengan kacamata hitam yang tak dilepas-lepas.
 

Pengemis tadi langsung berjalan “ngesot” dan bersalaman dengan Usman Lampoeh Awe. Setelah Usman bergegas ke mobil, selanjutnya Malik Mahmud lewat dengan penjagaan. Pengemis itu melakukan hal yang sama.
 

Setelah Malik, rombongan Irwandi dan isteri, beserta isteri Nazar, lewat dengan penjagaan ketat. Tidak seorang pun bisa bersalaman. Tetapi pengemis itu tidak putus asa. Ia langsung menghadang di depan rombongan. Rombongan pun berhenti. Para pengawal membuka jalan agar pengemis itu bisa bersalaman dengan Irwandi dan rombongannya. Setelah pengemis bergeser, rombongan melangkah ke mobil. Tidak lama kemudian, Nazar juga lewat dengan penjagaan dan lagi-lagi, pengemis itu melakukan hal serupa. Nazar terlihat berbisik kepada ajudannya, kemudian mengeluarkan uang sebelum bergegas pergi. Setelah Nazar pergi, si pengemis tampak senang. Namun, ia kesusahan memasukkan uang itu ke sakunya karena tangannya juga cacat. Seorang laki-laki datang dan membantu pengemis memasukkan uangnya ke saku.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Banyak orang mulai beranjak pulang. Acara hari itu tidak hanya banyak meninggalkan kesan, tetapi juga meninggalkan serakan sampah di arena PKA.* [Khiththati]


* Tulisan Ini Telah dipublikasikan di AcehFeature.org pada tahun 2007

Minggu, 30 November 2014

Kabhi Khushi Kabhie Gham Tentang Cinta keluarga

Setelah Dilwale (DDLJ) dan Kuch Kuch Hota Hai rasanya tidak lengkap jika tidak membahas Film kedua dari Karan Johar ini. Film drama yang di produksi tahun 2001 ini disutradarai dan naskahnya ditulis oleh Karan Johar dan di bintangi oleh sahabat baiknya seperti Kuch Kuch Hota Hai tentu saja ditambah sina sini (Hehehehehe) berbicara tentang film ini selalu mengigat Rahul sebagai suami yang idaman (hahahahahaha).



Memasang Amitabh Bachchan, Jaya Bachchan, Shahrukh Khan, Kajol, Hrithik Roshan and Kareena Kapoor sebagai bintang Utama dan penampilan Spesial dari Rani Mukherjee. mengambil gambar di India dan London serta Mesir untuk tittle song Suraj Hua yang romantis itu (hahaha) dan dirilis bertepatan dengan perayaan Diwali pada tahun 2001. selain di tayangkan di India, Inggris dan Amerika Utara, Film ini merupakan film India pertama yang tayang di bioskop German.

Mempunyai pendapatan yang tinggi untuk penjualan di luar negeri sebelum nanti bergeser pada film Karan Johar yang lain. memenangkan banyak penghargaan termasuk Film Fire pada tahun itu. Film ini di Produseri oleh sang ayah Yash Johar di bawah rumah produksi Drama Production walaupun di distribusikan oleh Yash Raj Film.



Karan Johar, Yash Chopra (Sutradara Film Dilwale Dulhania Le Jayengge) dan Shah Rukh Khan menjadi teman baik setelah Syuting DDLJ berakhir dan mereka berjanji untuk mendukung satu dan lainnya (saling bantu dalam mengerjakan Film) sama ketika Karan membantu Yash Chopra untuk Mohabbatein maka sang teman juga melakukan hal yang sama termasuk memberikan masukan untuk naskah film ini.

Pengamat memberikan cacatan yang cukup baik untuk film ini, Bollywood Hungama memberikan 4,5 dari 5 Poin dan merupakan film yang memang layak untuk ditunggu, " Emosional and Simple Story from India".  BBC Movie Review memberi film ini 9 dari 10 bintang dan memuji acting dari SRK, Kajol dan Kareena Kapoor, " (K3G is) a well made film, with some magical moments (hilarious and weepy) and possibly the world's best looking family".

Judul film ini menurut Karan terinspirasi dari film lama Yash Raj yang berjudul Kabhi Kabhie. Film yang mengambil tema semua tentang rasa cinta terhadap keluarga mu ini menguras banyak emosi terlebih hubungan Rahul dan Ibunya. (Ayo angkat tangan yang pernah Nangis nonton Film ini? - Saya Juga Hkhkhk).



Ayo kita mulai Ceritanya : 



Shah Rukh Khan Sebagai Rahul Raichand



Kajol Sebagai Anjali Sharma



Amitabh Bachan Sebagai Yash Raichand



Jaya Bachchan Sebagai Nandhini Raichand



Hrithik Roshan Sebagai Rohan Raichand



Kareena Kapoor Sebagai Pooja



Penampilan Spesial Rani Mukherjee sebagai Naina Kapoor




Jumat, 28 November 2014

Buaya-Buaya Woyla [Feature]

Pascatsunami buaya-buaya mengganas di sungai Woyla. Korbannya penduduk desa sekitar. Pawang buaya dari Australia pun didatangkan.

KAMIS, 14 Februari 2008, Juariah ditemani menantu perempuan tampak sibuk membuat kue loyang dan spet, kue kering khas Aceh. Beberapa hari lagi akan ada kenduri di rumahnya, untuk mendoakan suaminya yang telah meninggal dengan mengundang penduduk desa. Rusmi Rahmad, suami Juariah, meninggal tiga puluh hari yang lalu karena digigit buaya. Dalam adat Aceh kalau ada orang meninggal, keluarga akan membuat acara doa bersama di rumah maupun di meunasah. Kenduri ini dilakukan di hari pertama, kedua, ketiga, kelima, ketujuh, kesembilan, kesepuluh, keempatpuluh empat dan keseratus orang tersebut meninggal dunia. Pihak keluarga akan memberikan minum atau kue-kue kepada orang yang berdoa.

Di hari naas itu, seperti biasa Juariah dan Rusmi pergi ke sungai pada pukul delapan pagi. Setelah mengambil air, Juariah kembali ke rumah mereka sendirian sedangkan Rusmi tetap di sungai. Belum lagi sampai ke rumah, Juariah mendengar suaminya berteriak. Dengan tergopoh-gopoh Juariah berlari ke arah sungai, tapi Rusmi sudah tak kelihatan lagi. Ia tidak tahu suaminya berada di mana. Rumah Juariah berada sekitar seratus meter dari sungai, di desa Ranto Panyang, Woyla.

Sepuluh tahun lebih sudah ia dan keluarganya tinggal di rumah itu. Setiap kali membutuhkan air, Juariah dan Rusmi akan mengambilnya di sungai di samping rumah mereka. Rumah pasangan ini terletak paling ujung, dekat jalan setapak menuju kebun karet, sawah dan kebun ubi. Rumah tersebut semi permanen, bercat putih dan di pintu masuknya ada gambar bendera merah putih dan tulisan NKRI. Halaman rumah lumayan luas.

Akhirnya dari orang yang berada di sekitar sungai Juariah mengetahui bahwa suaminya hilang diseret buaya ke dalam sungai. Rusmi sendiri baru dilepaskan oleh buaya setelah tiga jam berada dalam air. Tak terbayang oleh Juariah kalau suaminya harus pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

“Sudah sepuluh tahun kami tinggal di sini dan baru tiga tahun terakhir saya melihat buaya ada di dalam sungai. Terkadang mereka juga berjemur dipinggir sungai,” katanya kepada saya, dengan suara agak serak.

Tak jauh dari situ terdapat pangkalan rakit yang menghubungkan antara desa Ranto Panyang dengan desa Pasimali. Buaya membawa Rusmi melewati rakit penyeberangan ini, sehingga para pengayuh rakit ikut mengejar buaya. Namun, buaya bengal tersebut baru melepas Rusmi setelah seorang pawang buaya menjanjikan akan mengganti Rusmi dengan seekor kambing.

Pelheh ureng nyan entrek kamoe ganto degon kameng (lepaskan orang itu nanti akan kami ganti dengan kambing),” ujar Juariah, mengulangi apa yang dikatakan pawang kepada buaya yang menggigit suaminya.

Buaya menuruti permintaan pawang, lalu membawa Rusmi ke pinggir sungai yang agak sepi. Setelah itu Rusmi dibawa pulang dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Seekor kambing pun diikat di tempat yang sama. Keesokan harinya kambing itu hilang. Rusmi menderita luka di kakinya karena gigitan buaya.

Sejak suaminya meninggal, Juariah tak berani lagi dekat-dekat sungai. Menurut Juariah, buaya yang berenang mendekati kita tak akan menimbulkan riak di air sehingga kita tidak tahu kapan ia datang. Untuk kebutuhan air rumah tangga, Juariah sekarang memasang pompa mesin untuk menarik air dari dalam sungai.

Buya nyan baro na, watee kaleh tsunami, barojeh meutem takalen han (buaya itu baru ada setelah tsunami, dulu lihat pun saya tidak pernah),“ kata Juariah, seraya sesekali melihat foto keluarga yang tergantung di dinding. Dalam foto itu nampak Rusmi tersenyum bersama kedua anak laki-laki mereka. Dulu mereka tinggal di Suak Semaseh sebelum pindah ke Woyla.

Pawang buaya dari Autralia juga pernah datang ke rumahnya. Juariah masih ingat dengan baik wajah ketiga pawang itu.

Awak nyak di penget bube aleh nyan di pasang bak krueng, wate di balek singoh ka di tamong buya kenan, di lua bube nasyit lhee boh buya laen (mereka membuat perangkap lalu memasang di sungai, ketika mereka kembali keesokan harinya sudah ada satu buaya dalam perangkap, di luar perangkap ada juga tiga buaya lain),” kisah Juariah, sambil membetulkan letak kaca matanya.

Pawang itu memasang perangkap sekitar 500 meter dari rumah Juariah. Umpannya, seekor babi. Juariah sangat terkesan dengan aksi mereka, terlebih aksi pawang yang perempuan.

Payahai inong tapi hana di takot, tanyo manteng yee bak takalen ( padahal perempuan tapi dia tidak takut, kita melihat saja takut),” kenang Juariah. “Buya yang kap linto lon ka di tembak (buaya yang gigit suami saya sudah ditembak),“ lanjutnya.

Suratkabar Serambi Indonesia pernah memuat berita tentang kedatangan pawang dari Australia untuk menjinakkan buaya di krueng atau sungai Woyla, Meulaboh, Aceh Barat.

Pawang buaya itu dari kebun binatang Brisbane, Queensland. Mereka adalah Rian Coulter, Kate Coulter dan Toby Milliyard. Seorang lagi yang menyertai mereka berasal Taman Safari, Jakarta, bernama Rofandi.

Tim penjinak buaya ini datang ke Aceh atas undangan Perhimpunan Kebun Binatang Indonesia (PKBI), Taman Safari Indonesia (TSI), Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), dan Flora and Fauna International (FFI), dan difasilitasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKASD). Tim ini kemudian mendirikan pos di Kuala Bhee, sekitar satu jam setengah perjalanan dari Meulaboh. Pada tanggal 23 Januari 2008 pawang buaya dari Australia memasang kandang jebakan di aliran sungai Woyla di desa Le Sayang, sekitar dua kilometer dari Kuala Bhee. Esok harinya seekor buaya sepanjang lima meter masuk perangkap. Sekarang buaya itu ada di Jantho, Aceh Besar.

Sebelum itu, pada 19 Januari 2008, seekor buaya berhasil ditembak aparat Kepolisian Sektor Woyla Barat. Buaya itu berhasil dilumpuhkan setelah sepuluh kali ditembak dengan senjata laras panjang. Buaya malang itu sedang asyik berjemur di desa Pasi Jeut.

Rusmi Rahmad meninggal dalam usia 59 tahun. Tapi Rusmi bukanlah korban pertama yang digigit buaya di sepanjang sungai Woyla. Ada seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang pernah diserang buaya di sungai itu juga. Anak laki-laki itu diserang saat ia dan ibunya sedang naik sampan di sungai. Sang ibu selamat dan anaknya meninggal dunia setelah jatuh ke dalam sungai. Selain itu, ada anak perempuan yang digigit buaya saat sedang mandi.


PADA tanggal 15 Februari 2008, saya menuju Peuleukung. Dari Ranto Panyang ke Peuleukung, harus melewati Pasimali dan desa Pasi Jeut. Ranto Panyang dan Pasimali dibatasi oleh sebatang sungai. Tak ada jembatan yang menghubungkan kedua desa ini. Hanya dua rakit yang siap mengantar penumpang dari pukul tujuh pagi hingga pukul enam sore. Rakit ini terdiri dari dua sampan yang disambung dengan papan.

“Dari dulu di sini memang tidak ada jembatan, dibuat dari tahun 2006 tapi belum siap sampai sekarang,” ujar Muhammad Juni, salah seorang warga desa Pasimali, saat menunggu rakit.

Jembatan yang dimaksud masih berbentuk rangka dengan tiang-tiang dari batang kelapa yang terpancang di sungai itu. Di kanan kiri sungai, di dekat tempat rakit mangkal, banyak pekerja membangun jembatan.

Pembicaraan tentang buaya sangat tabu dilakukan ketika rakit sudah berjalan.

“Dulu pernah ada buaya yang ikut diam-diam di belakang rakit, karena terpikir kayu jadi nggak ada yang takut,” kisah Juni, lagi. “Maka jih bek pegah-pegah entek ijak bak tanyo(makanya jangan bilang-bilang nanti datang ke kita),“ sambungnya.

Lebar sungai ini sekitar 120 meter, dengan kedalaman lima meter di saat musim kemarau.

Jarak pangkalan rakit ke Peuleukung sekitar dua kilometer. Kebun coklat dan kelapa sawit tampak di tepi jalan. Mata pencarian penduduk di sini tak ada yang tetap. Ketika harga buah pinang mahal, mereka akan berkebun pinang. Begitu juga bila karet, nilam, coklat dan sawit mahal, mereka akan beralih mengurus ladang mereka yang ditumbuhi pohon-pohon itu.

Rumah Nida Handayani sangat mudah ditemukan di Peuleukung. Tinggal tanyakan kepada warga, maka mereka akan memberitahu. Usia Nida 17 tahun. Ia juga salah satukorban buaya.

Hari itu Kamis, 5 juli 2007, sekitar pukul 10 pagi, Nida minta izin kepada ayahnya untuk mencuci di sungai. Nida pergi bersama temannya, Darni, ke sungai yang tak jauh dari rumah mereka dengan membawa baju-baju kotor yang akan dicuci. Setelah selesai mencuci, Darni keluar dari dalam sungai dan pergi ke tepi. Sementara Nida buang hajat besar. Tiba-tiba Nida terjatuh. Darni menyangka temannya terpeleset dan masuk ke sungai.

“Dia cuma bilang ‘Mak’. Dan suaranya sangat kecil,” kisah Darni. Darni baru terperanjat ketakutan ketika ia melihat Nida terkulai lemas dalam gigitan buaya.

Dulu Darni sangat suka diajak ke sungai, tapi sekarang ia tak mau dekat-dekat lagi dengan sungai. Saat ini Darni berusia 14 tahun dan belajar di sebuah sekolah menengah pertama di Pasimali.

Bukan hanya Darni, tapi banyak warga yang tak yang berani lagi ke sungai. Dulu di Peuleukung banyak rumah tidak memiliki sumur, tapi setelah kejadian Nida, hampir semua rumah dilengkapi sumur. Padahal warga harus menggali sekitar delapan cincin atau sekitar empat meter ke dalam tanah baru bisa menemukan air. Sumur itu pun akan kering kalau musim kemarau.

Sebenarnya di rumah Nida ada sumur yang baru saja dibuat, tapi ia lebih suka mencuci dan mandi di sungai. Rumahnya kecil dan terlihat berantakan. Di atap banyak sarang laba-laba. Rumah itu pun tanpa plafon. Sebuah lemari bahkan diletakkan di halaman rumah, karena tak cukup ruang untuk menampungnya di dalam. Setengah bagian rumah roboh waktu gempa besar pada 26 Desember 2004, sedang bagian lain retak-retak.

Yakub duduk di salah satu kursi sambil menghisap rokok dalam-dalam. Ia memakai kopiah, berkemeja dan berkain sarung. Ia memandang ke dinding-dinding rumahnya. Di sana terpampang kalender bupati Aceh Barat, Ramli, dan wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla serta sebuah lukisan rumah. Dulu Yakub jadi salah satu anggota tim sukses Ramli.

Matanya berkaca-kaca. “Di situ dulu ada foto Nida, tapi sekarang sudah saya simpan. Kalau ada foto itu, saya selalu teringat dia,” ujar Yakub, sambil terus menghisap rokoknya. Nida adalah anak perempuan Yakub satu-satunya.

Buaya tak mau melepaskan Nida begitu saja. Perempuan muda ini dibawa buaya berenang hilir-mudik di sungai. Polisi akhirnya mencoba menembak buaya itu, tapi gagal. Orang-orang ramai berkumpul menonton kejadian tersebut, bahkan ada yang merekam dan memotret. Sampai sore hari, upaya untuk melepaskan Nida dari mulut buaya terus dilakukan. Buaya itu kemudian menghilang dengan membawa Nida.

“Isteri saya ada bernazar di pinggir sungai. Dia bilang, buaya bawa pulang anak saya, bawa ke sini sama saya. Kalau sudah meninggal, juga tidak apa-apa. Ada jasadnya saja sudah cukup,” kisah Yakub, dalam bahasa Aceh.

Malam tiba. Tapi Nida belum juga ditemukan. Pembacaan surat Yassin digelar di pinggir sungai. Bupati Ramli juga hadir.

Keesokan harinya, pukul tujuh pagi, seorang pengangkut pasir di desa Pasi Ara, sekitar tujuh kilometer dari Peuleukung, menemukan tubuh perempuan dengan rambut terurai terbaring di dekat perahu pasirnya dalam keadaan tak bernyawa.


BUAYA adalah hewan perenang yang sangat kuat dan pandai menghanyut kan diri di sungai tanpa tubuhnya kelihatan, kecuali mata dan lubang hidung. Ia tinggal di dalam lubuk atau tanah yang menjorok ke dalam sungai. Di sepanjang sungai Woyla terdapat banyak lubuk, sehingga mudah bagi buaya untuk berkembang biak.

Buaya biasanya makan ikan. Di Indonesia dikenal dua jenis buaya, yaitu buaya muara dan buaya air tawar. Buaya muara bertubuh lebih besar.

Ukuran tubuh buaya dewasa biasanya berkisar antara dua sampai tujuh meter, tergantung spesies dan jenis kelaminnya. Biasanya yang betina lebih pendek. Bobotnya bisa mencapai 400 sampai 500 kilogram. Usia buaya cukup lama. Bahkan ada yang usianya mencapai lebih dari 100 tahun, bila hidup di habitatnya.

Penduduk desa sekitar sungai Woyla agak bingung dengan kedatangan dan keganasan buaya yang cukup gencar pascatsunami ini.

“Dulu ada buaya tapi di Cot Kumbang, terkurung dalam rawa-rawa dan tak bisa ke mana-mana, tapi setelah tsunami kampung itu hilang, dan buayanya terdampar di sungai Woyla,” kisah Iskandar. Nama daerah rawa itu, Laut Nie.

Yakub juga mengatakan bahwa menurut pawang Australia masih sekitar 70 ekor buaya yang mendiami sungai Woyla dari muara sampai ke Teunom, Aceh Jaya, baik yang berukuran besar maupun kecil.*** [Khiththati]


* Tulisan ini sudah pernah dimuat oleh Acehfeature.org tahun 2008