Senin, 23 Maret 2015

Nikah + Mahar = Hareuta Peunulang? [Feature]

Pada bulan-bulan tertentu di Aceh, banyak upacara pernikahan yang dilakukan seperti di bulan Maulid, Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah. Bahkan dalam seminggu bisa terselengara dua upacara penikahan dalam satu kampung.

Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk membangun sebuah rumah tangga yang resmi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar ikatan tersebut sah, salah satunya adalah mahar. Mahar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pemberian wajib berupa uang atau barang, dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika berlangsungnya akad nikah.

Lain lubuk lain ikannya begitu pepatah yang dapat menggambarkan keberagaman budaya dan adat yang ada di Aceh antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Seperti halnya ada pesisir Aceh memiliki perbedaan dengan yang ada di daratan tinggi. Begitu pula dalam masalah pemberian mahar dan upacara pernikahannya.

Abdurrahman, dosen fakultas Hukum Unsyiah mengatakan “ untuk masalah mahar, kita dapat melihat beberapa faktor perbedaan, perbedaan sistem kekerabatan sangatlah berpengaruh.” “walaupun Aceh menganut sistem kekeluargaan bilateral, tetapi ada beberapa kecondongan nantinya, apakah kepada ke patrilineal atau matrilineal” tambahnya lagi.

Menurut Syaukas Rahmatillah, Imam Mesjid Tungkop “ faktor yang membuat mahar itu berbeda kerena beberapa hal seperti adat yang berbeda, kedudukan ataupun status sosialnya dalam masyarakat, semakin tinggi status sosialnya semakin tinggi dalam pengambilan maharnya.” “tetapi menurut agama yang diambil adalah yang paling berkah” Ujarnya mengigatkan.

Berbicara soal banyaknya mahar, itu tergantung kesanggupan keluarga pihak laki-laki. Ada yang 1 Bungkai (16 mayam), ada yang 10 mayam dan ada yang 6 mayam. “bahkan di Aceh Selatan, daerah Sama Dua dan Tapak Tuan ada yang hanya dua mayam”cerita Syaukas Rahmatillah lagi.
“pengambilan ketentuan mahar, nantinya ada musyawarandidalam keluarga, bukan sembarang diambil. Dalam adat semuanya dapat dimusyawarahkan. Sehingga tidak menjadi masalah nantinya”tutur Badruzzaman Ismail Ketua Majelis Adat Aceh (MAA).

Di Aceh Besar dan Pidie, setelah menikah biasanya suami akan tinggal di rumah isterinya. Semua kebutuhan suami akan dipenuhi oleh orang tua isteri. Sedangkan Hareuta Peunulang akan diberikan setelah mereka memutuskan untuk hidup mandiri. “Hareuta peunulang sendiri ada berupa tanah, sawah, rumah, toko dan apapun yang bermamfaat bagi keduanya” Papar Ibrahim Ismail Tokoh Adat Gampong Tungkop.

Pada adat Aceh Besar dan Pidie, kadang kala pengambilan mahar dilihat juga pada hareuta Peunulang yang akan diberikan. “Miseu hana peu geupulang, hana lee geucoek, miseu na biasa jih lee geucoek jeulame jih, tetapi hareuta penulang bukan balasan dari pengambilan maharnya”Sambungnya lagi.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Abdurrahman, dosen yang berperawakan mirip aktivis Ham Munir ini mengatakan “Mahar dan Peunulang itu dua duanya milik perempuan. Kalau mahar itu diberikan oleh suami sewaktu akad nikah, maka peunulang itu diberikan oleh orang tua pihak perempuan kepada anak mereka sendiri dan pemberian ini juga berdasarkan sistem kekerabatan.”
Umumnya, daerah yang ada peunulang itu sistem kekerabatannya adalah bilateral yang mendekati ke matrilineal seperti daerah Aceh Besar dan Pidie. Sedangkan Gayo yang sistem kekerabatannya bileteral congdong ke patrileneal tidak ada peunulang.

“Hareuta Peunulang itu milik isteri, jadi kalau suami nantinya menjual harta tersebut, maka menurut adat sang suami harus membayarnya. Sedangkan kalau isteri yang menjualnya tidak apa-apa, kewajiban suami disini hanya memelihara apa yang sudah ada”terang Abdurrahman lagi.

Dalam masalah mahar, di Aceh Besar misalnya, ada sebagian keluarga yang menentukan sama semua untuk seluruh anggota keluarganya. Seperti halnya Abbasyiah, 80 tahun, menyamakan semua mahar putrinya dengan dirinya dulu. “Keupeu lee lee tacok, peu e’k tapuelang entreuk, aneuk lon, syedara-syedara lom, sama mandun jeulame jih (untuk apa kita ambil banyak banyak sekali, apa sanggup kita beri lagi nanti?, anak saya dan saudara saya sama semua maharnya” Ungkap Abbasyiah dengan bahasa Aceh yang kental.

Berbeda dengan Abbasyiah, lain pula dengan Mardhiah, ibu dua anak ini mengatakan bahwa, maharnya dulu berbeda dengan saudaranya dan juga berbeda dengan anaknya. “Kami semua berbeda tidak ada yang sama” ujar Mardiah sambil tersenyum.

Selain itu, mahar tadi juga harus sedikit pada saat Ranup Kong Haba yang biasanya disebut Caram. Biasanya, berlaku pada adat Aceh Besar dan Pidie. Menurut penelitian, hal tersebut sama dengan yang dilakukan di daerah Gujarat India dan Pakistan. Selain itu nanti akan ada peuneuwoe yang diberikan oleh pihak suami kepda pihak isteri, yang biasanya kebutuhan sang isteri seperti pakaian, sepatu, tas dan lainnya.

Di daerah Gayo, pemberian mahar tergantung pada jenis pernikahannya, seperti pernikahan Jueleng (juel = Jual), mas kawin atau Unyuk kepada pihak perempuan adalah dua ekor kerbau. Kerbau pertama, hanya simbol saja dari sawah yang diberikan. Sawahnya diberikannya nanti, dengan bibit dua Nalih (40 liter), yang disebut ume subang.  Sawah itu baru diterima pihak perempuan, setelah diserahkan sejumlah uang kepada pimpinan belah (Sarak Opah).

Sedangkan kerbau kedua diberikan untuk kepentingan upacara dan hal ini berlaku sebelum Indonesia merdeka. Setelah kemerdekaan, Unyuk tadi berubah menjadi teniron (Permintaan) dan yang diberikan bukan lagi sawah tetapi kebutuhan sesuai dengan perkembangan zaman, seperti mesin jahit, televisi, Radio dan lainnya.

Seiring dengan perkembangan waktu orang-orang berlomba lomba untuk memperoleh teniron yang banyak. Sehingga, dapat menaikkan derajat si gadis dan orang tuanya. Bahkan ada yang berpendapat siapa yang membawa teniro terbanyak akan dinikahkan dengan anaknya. Karena sistem Kekeluargaanya agak condong ke patrilineal, maka isteri nanti akan dibawa oleh suami.


 Namun yang disayangkan, banyak orang Aceh yang tidak memahami dan mengerti hal itu. Seperti halnya Devi Karmila ketika ditanya tentang perbedaan mahar “Mungkin karena harga emasnya yang berbeda makanya jadi tidak sama”Ujar Devi. Sama seperti halnya Devi, kata serupa juga dikatakan oleh Yusnidar. “Saya tidak tahu, munkin ada yang kaya dan ada yang tidak”Ungkapnya tidak yakin. [Khiththati] – Tulisan ini suda pernah dimuat pada majalah SumberPost edisi 4 tahun 2006.

Sabtu, 21 Maret 2015

Para Pemulung [Feature]

Pemulung di Banda Aceh pascatsunami terdiri dari generasi korban konflik dan pejuang Aceh ketika melawan penjajah kolonial Belanda. Mereka hidup dari sampah.

RAZALI duduk sambil menikmati kopinya pada 20 Agustus 2007 itu. Matahari mulai bergerak naik, tapi ia masih terlihat santai. Hampir satu setengah tahun ia menjalani rutinitas pagi seperti ini. Dulu ia sarapan bersama bau busuk dan lalat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), kata lain untuk tempat pembuangan sampah kota.

Lokasi TPA itu berada di Kampung Jawa, Banda Aceh. Dekat laut. Sehingga kapal-kapal ikan nelayan terlihat dari situ.

Tempat ini dirapikan buldozer, tetapi tetap saja berantakan. Di sekitar tumpukan sampah, sampah lain berceceran dan banyak yang jatuh ke selokan. Tiga tahun lamanya Razali jadi pengunjung tetapnya, tiap hari.

Sebenarnya Razali bukan penduduk asli Kampung Jawa. Ia lari dari Sigli, kota kabupaten yang berjarak sekitar dua jam dari Banda Aceh, ke Jakarta. Ia membawa serta anak dan istrinya. Saat itu konflik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tengah memanas di Aceh. Karena konflik juga ia hanya bisa menamatkan sekolah menengah atas.

Razali sekarang tinggal sendiri di desa Manyang, Lueng Bata. Keputusannya untuk kembali ke Aceh membuat ia harus meninggalkan istri dan anaknya di Jakarta.

“Di Jakarta kalau sungguh-sungguh, kita bisa kaya. Tapi seenak-enaknya tinggal di Jakarta, lebih enak Banda Aceh,” ujarnya. Apalagi mengingat kenangan buruknya di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Dua kali ia masuk penjara gara-gara jadi joki mobil.

Enam bulan setelah tsunami, Razali bekerja sebagai pemulung. Bangun pagi ia langsung berangkat ke TPA Kampung Jawa. Penghasilannya mencapai Rp 200 ribu per hari. Saat malam menjelang, toko-toko yang ditinggal pemiliknya karena tsunami menjadi penginapannya.

“Apa saja yang sudah dibuang bisa jadi uang, asal bisa diolah dengan baik,” tuturnya dengan asap rokok yang mengepul dari mulutnya.

Penampilan Razali sudah jauh berbeda dari dulu. Sekarang ia bertopi pet hitam, mengenakan jam tangan, celana jins, kemeja, dan sepatu bot. Ia lebih mirip mandor ketimbang pemulung.

Dan sekarang ia bukan lagi pemulung. Ia jadi pembeli barang-barang dari para pemulung. Satu hari ia bisa menghasilkan Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta untuk barang bekas yang dijualnya ke toke (penadah).

Di samping Razali ada Usman Daud, yang baru delapan bulan jadi pemulung. Pemuda 17 tahun ini terpaksa putus sekolah karena sebab yang sama dengan Razali. Konflik pemerintah Indonesia dan GAM membuat orang tua Usman kehilangan mata pencaharian dan tak sanggup lagi membiayai sekolah anak mereka.

Hana peung (tidak ada uang),” ujar Usman, tersenyum sambil memperlihatkan gigi-giginya yang kuning dan tersusun rapi. Usman asli Krueng Geukuh, Aceh Utara.

Tubuhnya kurus, kulit hitam mengkilat, rambutnya keriting karena jarang disisir.

“Paling nggak, udah ada uang untuk jajan,” kata Usman, seraya menatap barang bekas yang telah dipilah-pilahnya.

Di tempat lain, pada 28 Januari 2008, ketika matahari berada tepat di atas kepala, seorang pria bertubuh kerempeng sedang mengayuh becaknya. Di sadel belakang tampak seorang perempuan bertubuh agak gemuk memeluk pinggangnya. Di becak itu tampak dua karung goni. Setiap hari mereka melewati kampus Darussalam dengan mata yang awas mengintai setiap jalan yang dilewati. Kalau apa yang dicari ditemukan, sang laki-laki menghentikan becaknya.

Delapan puluh tahun sudah usia laki-laki itu, tapi pembawaannya tak kalah dengan anak muda. Ia memakai sweater biru tanpa lengan, celana jins pudar, sepatu bot. Topi pet berlambang sebuah lembaga bantuan bertengger di kepalanya.

Namanya Zid Din, tapi ia lebih dikenal dengan nama Agam. Sedangkan perempuan yang bersamanya adalah Syamsiah yang baru dinikahinya empat bulan lalu.

Udep sidroe hana mangat leubeh-leubeh tanyoe ka tuha (hidup sendiri tidak enak lebih-lebih kita sudah tua),” ujar Agam, seraya tersenyum. Isteri pertamanya meninggal karena tsunami.

Agam tinggal di desa Rukoh. Tak peduli terik matahari, kakek ini terus mengorek-ngorek sampah. Sebelum tsunami ia bekerja di ladang.

Asai bek tacok atra gob, tamita keudroe deungoen ikhlas ngoen haleu (asal tidak ambil punya orang, jadi kita cari sendiri dengan ikhlas dan halal),” kata Agam tanpa memalingkan mukanya dari tumpukan sampah.

Daerah jelajah Agam dan Syamsiah di sekitar Darussalam. Mereka memungut kaleng, kardus bahkan kertas yang tak lagi terpakai. Barang-barang itu dibawa pulang ke rumah. Ada penadah yang akan mengambil barang itu sebulan dua kali. Pasangan ini biasa mengumpulkan 200 kilogram sampai 500 kilogram barang bekas tiap bulan. Penghasilan mereka paling tinggi Rp 500 ribu per bulan, tak sebanding dengan kerja keras yang mereka lakukan. Tapi Agam tetap bersyukur karena hidup dengan uang hasil keringat sendiri.

Dulu ia pernah mendapatkan bantuan sebagai korban tsunami. Tapi bantuan itu hanya diberikan sekali saja, seperti bahan kebutuhan pokok. Ia tak pernah berharap lagi untuk mendapatkannya. Ia lebih senang berusaha sendiri. Dua anaknya masing-masing tinggal di Meulaboh dan Lhokseumawe.

Aneuk lon cuma diwo wate puasa mantoeng (anak saya cuma pulang waktu bulan puasa saja),” tutur Agam, sambil mendekati becaknya.

“Saya lahir tahun 1928, waktu seumur kalian saya sudah bekerja,” lanjutnya.

Tahun itu merupakan tahun lahir Sumpah Pemuda, ketika pemuda-pemuda dari berbagai organisasi dan daerah berkumpul di Jakarta dan berikrar setia terhadap negeri yang mereka sebut “Indonesia”. Namun, Agam tidak tahu apa-apa tentang Sumpah Pemuda.

Menurut Agam, kehidupan di zaman penjajahan Belanda lebih enak daripada sekarang.

“Waktu Belanda, pajak nggak banyak seperti sekarang, Cuma sekali saja diambil pajaknya,” kenangnya.

Sesekali Agam melihat jam tangannya.

Hai bagah bacut, ka seupotnyoe (hai cepat sedikit, sudah sore ini),” katanya kepada sang istri.

Syamsiah berjalan berkeliling-keliling sambil memungut kaleng bekas dan meminta botol bekas sirup di kantin mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar- Raniry.

“Lihatlah dia, dia memang bodoh tapi dia rajin sekali,” ujar Agam, sambil terus memperhatikan istrinya.

Menurut Agam, Syamsiah bahkan tak tahu nilai nominal uang. Seringkali Syamsiah berbelanja tanpa meminta uang kembali. Agam tampaknya sangat terburu-buru mengajak istrinya bergegas ke tempat lain. Jam tangannya memang menunjukkan pukul empat. Tapi Agam tidak sadar jam tangannya mati. Sekarang baru pukul dua siang!

Lain Zid Din lain pula dengan Ibrahim. Seringkali lelaki ini melintas dengan sepedanya di depan kampus Universitas Syiah Kuala. Sesekali ia berhenti dan mengambil sesuatu dari dalam selokan.

Sore itu, 5 Februari 2008, saya kembali melihat Ibrahim. Rambutnya telah memutih begitu juga jenggotnya. Kulit keriput. Kaos hitam dan jaket biru yang dipakainya tampak usang. Di balik sarung merah bermotif kotak-kotak itu ia mengenakan celana coklat selutut. Sepatunya kotor dan robek-robek. Pergelangan kakinya yang luka dihinggapi lalat.

Ibrahim berusia 90 tahun. Kini ia hidup sendirian setelah tiga anaknya berumah tangga. Istrinya meninggal waktu tsunami.

“Hari itu dia ke Pasar Aceh, lon hana jak, jih jak peubloe gule tiep beungoeh bak peukan (saya tidak pergi, dia pergi jualan sayur setiap pagi di pasar),” ujar Ibrahim dengan mata yang menerawang. Suaranya agak parau.

Tiap pukul enam pagi ia berangkat dari rumahnya di Lambaro Angan menuju Ulee Kareng. Jarak Ulee Kareng ke Lambaro Angan agak jauh, terlebih jika ditempuh dengan naik sepeda. Dari Ulee Kareng ia akan menuju Krueng Cut untuk menjual barang pungutannya hari itu.

“Kadang-kadang meuteume dua ploh ribee si uroe (kadang-kadang dapat dua puluh ribu sehari),” kata Ibrahim, tersenyum getir. Tapi ia kemudian melanjut, “Lon syiet sidroe keupeu lelẻ that (saya cuma sendiri untuk apa banyak-banyak sekali).” Sebelum tsunami, ia bekerja di kebun.

Sepedanya seringkali rusak dan patah. Ibrahim menyambung bagian yang patah itu dengan potongan besi dan kayu serta beberapa utas tali. Kalau di tengah jalan sepedanya rusak, ia akan turun memperbaikinya. Biasanya ia baru sampai di rumah pukul tujuh malam.

Leubeh get tamita keu droe dari pada ta lakee bak gob (lebih baik mencari sendiri dari pada meminta kepada orang lain),” ujar Ibrahim tersenyum dan memperlihatkan gigi yang menguning tapi masih lengkap.

Ketika remaja, Ibrahim ikut berperang melawan tentara kolonial Belanda. Ia bersama teman-teman sekampungnya dibawa ke Medan oleh panglima sagoemereka. Sagoe adalah wilayah setingkat kecamatan.

Kamoe meunang, Belanda ji plueng (kami menang, Belanda-nya lari),” tutur Ibrahim, bersemangat. Itu menjadi cerita yang sangat dibanggakannya.

Hari beranjak sore, tapi Ibrahim masih duduk di bawah sebatang pohon rimbun. Ia masih harus pergi ke Krueng Cut.*** [Khiththati] - Tulisan ini sudah dimuat pada Acehfeature pada mei 2008.




Ranup Kong Haba [Feature]

Kata pertunangan tentunya sudah sering kita dengar. Di Aceh, kata tersebut kata pertunangan tersebut sering disebut Kong Haba. Selain membawa tanda pertunangan, tradisi ini diiringi dengan membawa serta sirih yang sudah disusun beberapa lapis. Seserahan itu berupa sirih, pinang, dan telur ayam atau bebek yeng telah direbus dan diberi warna yang kemudian disebutlah Ranup Kong Haba.

Istilah Ranup Kong Haba sebenarnya digunakan oleh orang Aceh yang henda membawa tanda sebelum nantinya sampai tahap pernikahan. “Dalam Islam tidak dikenal namanya dengan pertunangan  begitu juga dengan adat Aceh, yang ada hanya ranup kong haba” terang Rusdi Sufi, Ketua Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh (PDIA). Ranup kong haba dimaksudkan untuk memperkuat perkataan pernikahan yang telah di utarakan oleh seulangkee.

Untuk membawa tanda kong haba, orang Aceh biasanya akan menentukan waktu disaat bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 penanggalan bulan qamariah. Pihak yang membawa tanda itu biasanya bukan dari orang akan menjadi keluarga atau pihak linto baroe (Pengantin pria), akan tetapi  Keuchik (kepala desa), Imam meunasah, Seulangkee dan beberapa orang tua kampung pihak linto baroe. Nantinya rombongan itu akan disambut oleh Kepala Desa atau Imam meunasah pihak Dara baroe (Pengantin perempuan). Biasanya acara itu diadakan bersama kenduri kecil atau acara yang dihadiri kedua belah pihak.

Pada hari itu yang dibawa adalah sirih beserta pinang yang telah dibungkus dan telur ayam dan bebek yang telah direbus. Telur tersebut sudah dicelupkan kedalam pewarna seperti merah, hjau ataupun kuning, lalu dibungkus dengan kertas tipis sesuai dengan warna kulit telur tersebut. 
Selain itu, tanda kong haba juga dibawa satu mayam emas, kain sarung, kain baju dan selendang masing masing sehelai. Sekarang, barang barang itu ditambah lagi jenisnya seperti sandal, sabun mandi dan perlengkapan lainnya. Semuanya dibungkus dalam sebuah talam besar. Disertakan juga didalamnya telur bebek yang sudah bewarna warni dan rangkaian bunga seulanga.  “Emas yang dibawa itu namanya Caram, pertanda ikatan awal“ Ungkap Ibrahim Ismail, Imam mesjid Tungkop saat ditanya tentang ranup kong haba tersebut.

Setelah menerima barang seserahan, pihak dara baroe membalasnya denga  memberika dua atau tiga talam Halua meuseukat (Kue tradisional Aceh) dan satu talam kecil yang berisi beberapa ranup (Sirih) pinang dan kapur. Sirih dan tanda kong haba yang diberikan oleh pihak laki-laki akan disisihkan untuk sementara waktu.

Kemudian pihak calon Linto baroe diberi sirih oleh pihak dara baroe yang telah tersedia didalam batee (Cerana). Seseorang yang ‘dituakan’ dalam rombongan calon linto baroe akan berbicara dalam bahasa Aceh tentang maksud kedatangan mereka kepada Keucik atau Imam meunasah di kampung dara baroe. Mereka menanyakan, apakah kedatangan mereka diterima atau tidak? Setelah pembicaraan panjang lebar akhirnya pihak linto baroe diterima dan diajak masuk kedalam rumah.
Setelah acara penyerahan ranup kong haba selesai, calon linto dan dara baroe harus menjaga ikatan yang telah terjalin. Walaupun mereka ini sudah memiliki suatu ikatan,  tetapi karena belum melaksanakan akad nikah, mereka tidak bebas melakukan apa saja. “nyan mandum dijaga lee ureung tuha gampong, kon mangat manteng jeut jak jak, nyan tangong jaweb tanyoe mandum ( itu semuanya akan dijaga oleh orang tua kampung, bukan semudah dan seenaknya di ajak jalan jalan, itu semua sudah tanggung jawab kita bersama)” kata Ibrahim Ismail dengan logat Aceh yang kental. Ia juga menambahkan, ikatan itu biasanya tidak berlangsung lama dan segera akan dilaksanakan pernikahan.

Bila nantinya ikatan itu diputuskan oleh pihak laki-laki atau mereka tidak ingin melanjutkan ke tahap pernikahan, maka tanda caram yang telah diberikan itu akan hangus. Sedangkan jika pihak perempuan yang membatalkannya maka pihak perempuan harus mengganti caram tersebut dua kali lipat. “penyelesaiannya biasanya akan diserahkan kepada pemuka adat atau diserahkan kepada  kepala desa jangan sampai ada yang main-main dengan kesepakatan yang sudah ada” tutur Ibrahim Ismail sambil tersenyum.

Denda atau hukuman yang dijatuhkan kesannya memang tidak adil. Pihak perempuan terkesan lebih berat dendanya apabila ia memutuskan hubungan tersebut yaitu harus membayar dua kali lipa dari apa yang telah di berikan oleh pihak laki-laki.

Abdurrahman, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, menangapi hal itu dengan penjelasan gamblang. Ia menegaskan itu sudah sangat adil. “Logikanya apa yang diberikan oleh pihak laki-laki akan hangus atau menjadi hak milik pihak perempuan jika dia yang membatalkan melanjutkan ke pernikahan” Ungkap dosen hukum Adat ini. “Tetapi apabila yang membatalkannya pihak dara baroe berarti dia harus mengembalikan punya pihak laki-laki dan membayar punyanya sendiri itulah kenapa menjadi dua kali lipat, cukup adil bukan?” Lanjut Abdurrahman kembali bertanya.

Di lain kesempatan, Badruzzaman Ismail saat ditanya tanggapannya tentang denda dan hukuman ini mengatakan, apa apa yang telah diatur dalam adat sebenarnya sudah cukup adil, tetapi kita yang tidak mengerti, jadi terkesan ada pihak yang dirugikan.


“ Adat dibuat dengan banyak pertimbangan, jadi harusnya kita mengetahui kenapa suatu aturan itu dibuat. Kalau belum mengerti tentang adat, jangan terlalu cepat menarik kesimpulan sendiri,” Tegas Badruzzaman Ismail yang juga merupakan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). [Khiththati] – Tulisan ini sudah pernah dimuat pada majalah SumberPost edisi 10 tahun 2008.

Rabu, 18 Maret 2015

Utusan itu dipanggil Seulangkee [Feature]

Seulangkee’ kata satu ini sudah jarang di dengar oleh anak muda Aceh. Mungkin, banyak juga generasi muda sekarang yangtidak mengenal dan mengetahui apa dan bagaimana tugas seulangkee’.

Budaya dan adat Aceh sudah diatur sedemikian rupa, sampai kepada hal yang kecilpun diatur oleh pendahulu kita, namun perlahan tapi pasti ada yang luntur dan hilang karena perkembangan zaman dan kurangnya pemelihara tradisi.

Dulu seorang anak laki-laki dalam masyarakat Aceh yang sudah cukup umur dan berkeinginan menikah, tidak pernah memberitahu kepada orang tuanya secara langsung. Tapi semua itu di perlihatkan dari perubahan sikap yang di timbulkan oleh sang anak, sehingga dengan begitu orang tua mempunyai andil dalam memilih jodoh anaknya dengan perantaraan Seulangkee’.

“ Seulangkee itu kalau sekarang seperti ‘Mak Comblang’ tapi dalam ruang yang lebih luas” Ujar Mahasiswi IAIN Ar- Raniry Novia Liza sambil tersenyum. Dari penuturan tadi dapat juga disimpulkan bahwa Seulangkee’ adalah fasilitator dalam hal hendak melakukan suatu pernikahan.

Di Aceh sudah menjadi adat, dalam mencari menantu tidak dilakukan secara terang-terangan. Tapi dengan cara tidak langsung nantinya orang tua pihak laki-laki biasanya mengirimkan seulangkee’ untuk menyelidiki anak perempuan yang sudah disepakati untuk dilamar.

“Seulangkee’ nantinya akan mencari tahu apakah anak perempuan tersebut sudah ada yang melamar atau belum?” ungkap Badruzzaman, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). Karena dalam Islam sudah disyaratkan bahwa tidak boleh meminang diatas pinangan orang lain dan adat Aceh senantiasa menjalankan apayang sudah di syariatkan dalam agama. “ Namun bukan hanyak pihak laki-laki yang boleh mengirim orang ini, akan tetapi pihak perempuan juga boleh” Tambah Badruzzaman lagi.

Menurut Muzakir, guru Antropologi Man Model Banda Aceh, berhasil atau tidaknya suatu pinangan kadang kala sangat tergantung pada peran yang dijalankan utusanini dalm bersilat lidah dengan orang tua yang anaknya akan dilamar. “Selain sosok itu Seulangkee’ juga menjadi pertimbangan sendiri dimata keluarga yang akan dilamar” Kata Muzakir.

“Makanya dalam memilih utusan ini juga tidak boleh sembarangan dilakukan, biasanya yang menjadi seulangkee’ adalah orang yang di tuakan dalam gampong tersebut serta mengetahui atau cakap akan adat dan juga terpercaya” Ujar Ibrahim Ismail, Imam Mesjid Tungkop, Kabupaten Aceh Besar. Sehingga yang biasanya di percaya menjadi agen adalah tertua gampong, Keuchik atau Tengku Imum. “Tokoh masyarakat ataupun orang yang cukup disegani, selain itu tidak harus orang gampong tersebut dari gampong yang lainnya juga bisa”sebut Ketua MAA, Badruzzaman.

Hal pertama yang dilakukan oleh Seulangkee, adalah “Cah Roeut” ataupun merintis jalan untuk melakukan pelamaran dan melihat kemungkinan. Hasil penemuan itu nantinya akan dibicarakan sangat rahasia dan tidak dilakukan dimuka umum.

Jika ada orang tua yang ingin menikahkan anaknya, maka akan di panggil seulangkee’ untuk menemui orang tua anak yang akan dilamar dengan maksud rahasia. Dalam hal ini sang utusan akan kerumah anak yang akan dilamar tanpa memberitahukan orang lain. “Biasanya ia datang sendiri dan jika ada yang menanyakan ia hendak kemana akan dijawab seadanya seperti mencari sesuatu yang hilang seperti ternak dan sesampai kerumah yang dituju ia kemudian akan mengutarakan maksudnya dan inilah yang dinamakan ‘Cah Roeut’” Jelas Ibrahim Ismail.

Apakah Seulangkee mendapat bayaran dan sampai kapan ia akan bertugas?

Seulangkee’ nyan hana dijok imbalan atawa hana di baye (Seulangkee’ itu tidak di berikan imbalan atau dibayar) dulunya ada tangung jawab bersama seorang pemimpin terhada masyarakatnya dan ini juga menjadi suatu kebanggaan, namun terkadang keluarga yang di bantu akan meberikan imbalan secara iklas”. “ kadang dijok see kupang ( terkadang diberikan 1 kupang) atau kalau dulu setara dengan uang 2500 rupiah”kenang Ibrahim.

Tugas Seulangkee’ akan berakhir setelah walimahan atau pesta pernikahan di selengarakan dan lamanya waktu tidak ditentukan. Selain itu menurut Ibrahim seulangkee’ juga bertanggung jawab apa bila ada pembatalan peminangan secara adat agar tidak ada yang tersakiti. Utusan inipun harus mampu menutup aib yang terjadi karena pembatalan tersebut.
Pinangan dengan perantara adat ini merupakan proses pelamaran yang memiliki nilai –nilai adat dan budaya. Selain itu kedua belah pihak yang ingin mengikat hubungan sudah memiliki pihak yang bertanggung jawab apabila terjadi suatu masalah.

“Zaman sekarang semuanya sudah berubah, adat dan budaya dulu hilang begitu saja” ujar Badruzzaman sedikit kecewa di akhir wawancara.

Ada sebuah ungkapan pada sebuah pepatah dalam Bahasa Aceh “Udep Tan Adat, lagee Kapai tan Nahkoda” (hidup tanpa adat, ibarat kapal berlayar tanpa nahkoda). [Khiththati] tulisan ini sudah dibuat pada majalah SumberPost edisi IX tahun 2008


Rabu, 04 Maret 2015

Likee Mauled [Feature]

Allahuli Allahuli Nikma Wali Nikma Wali Maula Ya Maula Ya Mulaulai, Sallu Ala Alan Nabi Muhammadin Sallu Allai”

Lantunan zikir ini dilantukan oleh sekelompok laki-laki di meunasah gampong, mereka memakai baju putih dengan kopiah hitam Seragam. dengan lantunan syair dan gerak tubuh beragam ,kalangan masyarakat aceh mengenal budaya ini dengan nama meulikee dan ketika di gelar di bulan maulid dikenal dengan Likee Mauled.

Mereka menggerakan badan kesamping depan dan kebelakang mereka duduk namun sesekali mereka berdiri. Likee Maulid merupakan lantun salawat kepada nabi muhammad SAW yang kemudian di iringi dengan kisah kelahiran beliau sebagai penghulu alam. lantunan zikir ini di lantunkan dengan berbagai syair rima dan irama yang indah.

Lirik Likee Ini Biasanya memuat tiga hal pertama sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW, Kedua Puji-pujian Kepada Rasulullah dan ketiga adalah salawat yang di lantunkan dengan syair syair yang indah. Sehingga tak jarang dulu Likee Ini di perlombakan.

Budaya meulike sudah masuk sejak ratusan tahun yang lalu di aceh, Ketua Majelis Adat Aceh Badaruszaman menyakini budaya Meulikee masuk ke Aceh di bawa oleh kaum muslim berkebangsaan Turki. Kerajaan Turki Dan Aceh memang sudah mempunyai hubungan diplomatik yang cukup lama.

“Wate lon ubiet nyan kana like, nyan sebagai hiburan, baroe jeh sabe na di tip tip meunasah wate malam Jumat (dulu ketika saya masih kecil Tradisi Meulike sudah ada dan itu sebagai hiburan tersendiri saat itu, dulunya selalu ada disetiap meunasah setiap malam Jumat” Kisah Badruzzaman mengenang masa kecilnya.

“Wate di baca Dalai di baca syit likee nya, kon like lage meu syae’ syit hayeu (Ketika Membaca Dalail di bacakan juga Likee itu, Lagi pula Likee Itu di baca dalam bentuk syair dan cukup menyenangkan untuk dikenang ” Tambahnya lagi sambil tersenyum.

Badruzzaman juga terkenang masa kecil ketika  ia sudah dibiasakan oleh orang tuanya untuk ke meunasah guna melihat, mendengar baik likee maupun dalail Kairat. Likee ini pun di bacakan di selah selah syair dalail khairat saat beberapa orang mulai beristirahat sebentar.

“Hiburan anak zaman sekarang sudah banyak bukan seperti kami dulu” Tuturnya.

Likee maulid biasanya diselenggarakan di meunasah Gampong pada hari keunduri maulid di tempat tersebut. Mereka datang berkelompok dan membaca syair bersama yang di pimpin oleh seorang Syeh atau syahi.

“Sigohlom kenduri supot jih aleh leho na likee bak meunasah yang bisa jih di undang dari gampong laen (sebelum kenduri sorenya setelah shalat zhuhur ada likee di meunasah yang bisanya di undang grup like dari kampong lain)” ungkap Ibrahim Ismail tokoh masyarakat gampong Tungkob.

“Sebenarnya likee maulid hanya ada ketika empat bulan perayaan maulid itu di aceh, karena yang membuat likee maulid berbeda dengan likee pada umumnya adalah dengan sejarah kelahiran Nabi Muhammad yang kemudian di syairkan” Jelasnya lagi.

Sekarang banyak tradisi telah tergerus moderenisasi, orang - orang mudah lupa dengan tradisi indatu salah satunya likee  ini.

Seperti halnya Dahriani, ia mengatakan kegiatan Meulikee Mauled ini sudah lama tidak lagi melihatnya, namun jika sesekali mendengarnya Dahrani merasa kembali terbawa ke masa kecilnya yang sering melihat meulikee pada setiap acara di kampung.

“Masih ada lagi yang sudah jarang saya lihat yaitu, Meurukon dan juga Dalai Khairat, saya senang kalau maulid kadang kadang ada gampong yang ada like Maulidnya” Ujur Dahriani.

“Anak jaman sekarang mana tahu lagi tentang tradisi ini mereka taunya konser – konser music modern, teman saya satu kampus saja waktu saya tanya, dia tau tapi nggak mengerti apa yang di lantunkan, kadang mereka lupa atau tidak mau tahu seperti juga saya mungkin” Gumannya sambil berlalu. [Khiththati] - Tulisan ini sudah pernah dimuat di Majalah Notah Edisi 3 Tahun 2013