Pemulung
di Banda Aceh pascatsunami terdiri dari generasi korban konflik dan pejuang
Aceh ketika melawan penjajah kolonial Belanda. Mereka hidup dari sampah.
RAZALI duduk sambil menikmati kopinya pada
20 Agustus 2007 itu. Matahari mulai bergerak naik, tapi ia masih terlihat
santai. Hampir satu setengah tahun ia menjalani rutinitas pagi seperti ini.
Dulu ia sarapan bersama bau busuk dan lalat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA),
kata lain untuk tempat pembuangan sampah kota.
Lokasi TPA itu berada di Kampung Jawa, Banda Aceh. Dekat laut. Sehingga kapal-kapal ikan nelayan terlihat dari situ.
Tempat ini dirapikan buldozer, tetapi tetap saja berantakan. Di sekitar tumpukan sampah, sampah lain berceceran dan banyak yang jatuh ke selokan. Tiga tahun lamanya Razali jadi pengunjung tetapnya, tiap hari.
Sebenarnya Razali bukan penduduk asli Kampung Jawa. Ia lari dari Sigli, kota kabupaten yang berjarak sekitar dua jam dari Banda Aceh, ke Jakarta. Ia membawa serta anak dan istrinya. Saat itu konflik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tengah memanas di Aceh. Karena konflik juga ia hanya bisa menamatkan sekolah menengah atas.
Razali sekarang tinggal sendiri di desa Manyang, Lueng Bata. Keputusannya untuk kembali ke Aceh membuat ia harus meninggalkan istri dan anaknya di Jakarta.
“Di Jakarta kalau sungguh-sungguh, kita bisa kaya. Tapi seenak-enaknya tinggal di Jakarta, lebih enak Banda Aceh,” ujarnya. Apalagi mengingat kenangan buruknya di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Dua kali ia masuk penjara gara-gara jadi joki mobil.
Enam bulan setelah tsunami, Razali bekerja sebagai pemulung. Bangun pagi ia langsung berangkat ke TPA Kampung Jawa. Penghasilannya mencapai Rp 200 ribu per hari. Saat malam menjelang, toko-toko yang ditinggal pemiliknya karena tsunami menjadi penginapannya.
“Apa saja yang sudah dibuang bisa jadi uang, asal bisa diolah dengan baik,” tuturnya dengan asap rokok yang mengepul dari mulutnya.
Penampilan Razali sudah jauh berbeda dari dulu. Sekarang ia bertopi pet hitam, mengenakan jam tangan, celana jins, kemeja, dan sepatu bot. Ia lebih mirip mandor ketimbang pemulung.
Dan sekarang ia bukan lagi pemulung. Ia jadi pembeli barang-barang dari para pemulung. Satu hari ia bisa menghasilkan Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta untuk barang bekas yang dijualnya ke toke (penadah).
Di samping Razali ada Usman Daud, yang baru delapan bulan jadi pemulung. Pemuda 17 tahun ini terpaksa putus sekolah karena sebab yang sama dengan Razali. Konflik pemerintah Indonesia dan GAM membuat orang tua Usman kehilangan mata pencaharian dan tak sanggup lagi membiayai sekolah anak mereka.
“Hana peung (tidak ada uang),” ujar Usman, tersenyum sambil memperlihatkan gigi-giginya yang kuning dan tersusun rapi. Usman asli Krueng Geukuh, Aceh Utara.
Tubuhnya kurus, kulit hitam mengkilat, rambutnya keriting karena jarang disisir.
“Paling nggak, udah ada uang untuk jajan,” kata Usman, seraya menatap barang bekas yang telah dipilah-pilahnya.
Di tempat lain, pada 28 Januari 2008, ketika matahari berada tepat di atas kepala, seorang pria bertubuh kerempeng sedang mengayuh becaknya. Di sadel belakang tampak seorang perempuan bertubuh agak gemuk memeluk pinggangnya. Di becak itu tampak dua karung goni. Setiap hari mereka melewati kampus Darussalam dengan mata yang awas mengintai setiap jalan yang dilewati. Kalau apa yang dicari ditemukan, sang laki-laki menghentikan becaknya.
Delapan puluh tahun sudah usia laki-laki itu, tapi pembawaannya tak kalah dengan anak muda. Ia memakai sweater biru tanpa lengan, celana jins pudar, sepatu bot. Topi pet berlambang sebuah lembaga bantuan bertengger di kepalanya.
Namanya Zid Din, tapi ia lebih dikenal dengan nama Agam. Sedangkan perempuan yang bersamanya adalah Syamsiah yang baru dinikahinya empat bulan lalu.
“Udep sidroe hana mangat leubeh-leubeh tanyoe ka tuha (hidup sendiri tidak enak lebih-lebih kita sudah tua),” ujar Agam, seraya tersenyum. Isteri pertamanya meninggal karena tsunami.
Agam tinggal di desa Rukoh. Tak peduli terik matahari, kakek ini terus mengorek-ngorek sampah. Sebelum tsunami ia bekerja di ladang.
“Asai bek tacok atra gob, tamita keudroe deungoen ikhlas ngoen haleu (asal tidak ambil punya orang, jadi kita cari sendiri dengan ikhlas dan halal),” kata Agam tanpa memalingkan mukanya dari tumpukan sampah.
Daerah jelajah Agam dan Syamsiah di sekitar Darussalam. Mereka memungut kaleng, kardus bahkan kertas yang tak lagi terpakai. Barang-barang itu dibawa pulang ke rumah. Ada penadah yang akan mengambil barang itu sebulan dua kali. Pasangan ini biasa mengumpulkan 200 kilogram sampai 500 kilogram barang bekas tiap bulan. Penghasilan mereka paling tinggi Rp 500 ribu per bulan, tak sebanding dengan kerja keras yang mereka lakukan. Tapi Agam tetap bersyukur karena hidup dengan uang hasil keringat sendiri.
Dulu ia pernah mendapatkan bantuan sebagai korban tsunami. Tapi bantuan itu hanya diberikan sekali saja, seperti bahan kebutuhan pokok. Ia tak pernah berharap lagi untuk mendapatkannya. Ia lebih senang berusaha sendiri. Dua anaknya masing-masing tinggal di Meulaboh dan Lhokseumawe.
“Aneuk lon cuma diwo wate puasa mantoeng (anak saya cuma pulang waktu bulan puasa saja),” tutur Agam, sambil mendekati becaknya.
“Saya lahir tahun 1928, waktu seumur kalian saya sudah bekerja,” lanjutnya.
Tahun itu merupakan tahun lahir Sumpah Pemuda, ketika pemuda-pemuda dari berbagai organisasi dan daerah berkumpul di Jakarta dan berikrar setia terhadap negeri yang mereka sebut “Indonesia”. Namun, Agam tidak tahu apa-apa tentang Sumpah Pemuda.
Menurut Agam, kehidupan di zaman penjajahan Belanda lebih enak daripada sekarang.
“Waktu Belanda, pajak nggak banyak seperti sekarang, Cuma sekali saja diambil pajaknya,” kenangnya.
Sesekali Agam melihat jam tangannya.
“Hai bagah bacut, ka seupotnyoe (hai cepat sedikit, sudah sore ini),” katanya kepada sang istri.
Syamsiah berjalan berkeliling-keliling sambil memungut kaleng bekas dan meminta botol bekas sirup di kantin mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar- Raniry.
“Lihatlah dia, dia memang bodoh tapi dia rajin sekali,” ujar Agam, sambil terus memperhatikan istrinya.
Menurut Agam, Syamsiah bahkan tak tahu nilai nominal uang. Seringkali Syamsiah berbelanja tanpa meminta uang kembali. Agam tampaknya sangat terburu-buru mengajak istrinya bergegas ke tempat lain. Jam tangannya memang menunjukkan pukul empat. Tapi Agam tidak sadar jam tangannya mati. Sekarang baru pukul dua siang!
Lain Zid Din lain pula dengan Ibrahim. Seringkali lelaki ini melintas dengan sepedanya di depan kampus Universitas Syiah Kuala. Sesekali ia berhenti dan mengambil sesuatu dari dalam selokan.
Sore itu, 5 Februari 2008, saya kembali melihat Ibrahim. Rambutnya telah memutih begitu juga jenggotnya. Kulit keriput. Kaos hitam dan jaket biru yang dipakainya tampak usang. Di balik sarung merah bermotif kotak-kotak itu ia mengenakan celana coklat selutut. Sepatunya kotor dan robek-robek. Pergelangan kakinya yang luka dihinggapi lalat.
Ibrahim berusia 90 tahun. Kini ia hidup sendirian setelah tiga anaknya berumah tangga. Istrinya meninggal waktu tsunami.
“Hari itu dia ke Pasar Aceh, lon hana jak, jih jak peubloe gule tiep beungoeh bak peukan (saya tidak pergi, dia pergi jualan sayur setiap pagi di pasar),” ujar Ibrahim dengan mata yang menerawang. Suaranya agak parau.
Tiap pukul enam pagi ia berangkat dari rumahnya di Lambaro Angan menuju Ulee Kareng. Jarak Ulee Kareng ke Lambaro Angan agak jauh, terlebih jika ditempuh dengan naik sepeda. Dari Ulee Kareng ia akan menuju Krueng Cut untuk menjual barang pungutannya hari itu.
“Kadang-kadang meuteume dua ploh ribee si uroe (kadang-kadang dapat dua puluh ribu sehari),” kata Ibrahim, tersenyum getir. Tapi ia kemudian melanjut, “Lon syiet sidroe keupeu lelẻ that (saya cuma sendiri untuk apa banyak-banyak sekali).” Sebelum tsunami, ia bekerja di kebun.
Sepedanya seringkali rusak dan patah. Ibrahim menyambung bagian yang patah itu dengan potongan besi dan kayu serta beberapa utas tali. Kalau di tengah jalan sepedanya rusak, ia akan turun memperbaikinya. Biasanya ia baru sampai di rumah pukul tujuh malam.
“Leubeh get tamita keu droe dari pada ta lakee bak gob (lebih baik mencari sendiri dari pada meminta kepada orang lain),” ujar Ibrahim tersenyum dan memperlihatkan gigi yang menguning tapi masih lengkap.
Ketika remaja, Ibrahim ikut berperang melawan tentara kolonial Belanda. Ia bersama teman-teman sekampungnya dibawa ke Medan oleh panglima sagoemereka. Sagoe adalah wilayah setingkat kecamatan.
“Kamoe meunang, Belanda ji plueng (kami menang, Belanda-nya lari),” tutur Ibrahim, bersemangat. Itu menjadi cerita yang sangat dibanggakannya.
Hari beranjak sore, tapi Ibrahim masih duduk di bawah sebatang pohon rimbun. Ia masih harus pergi ke Krueng Cut.*** [Khiththati] - Tulisan ini sudah dimuat pada Acehfeature pada mei 2008.
Lokasi TPA itu berada di Kampung Jawa, Banda Aceh. Dekat laut. Sehingga kapal-kapal ikan nelayan terlihat dari situ.
Tempat ini dirapikan buldozer, tetapi tetap saja berantakan. Di sekitar tumpukan sampah, sampah lain berceceran dan banyak yang jatuh ke selokan. Tiga tahun lamanya Razali jadi pengunjung tetapnya, tiap hari.
Sebenarnya Razali bukan penduduk asli Kampung Jawa. Ia lari dari Sigli, kota kabupaten yang berjarak sekitar dua jam dari Banda Aceh, ke Jakarta. Ia membawa serta anak dan istrinya. Saat itu konflik antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tengah memanas di Aceh. Karena konflik juga ia hanya bisa menamatkan sekolah menengah atas.
Razali sekarang tinggal sendiri di desa Manyang, Lueng Bata. Keputusannya untuk kembali ke Aceh membuat ia harus meninggalkan istri dan anaknya di Jakarta.
“Di Jakarta kalau sungguh-sungguh, kita bisa kaya. Tapi seenak-enaknya tinggal di Jakarta, lebih enak Banda Aceh,” ujarnya. Apalagi mengingat kenangan buruknya di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia itu. Dua kali ia masuk penjara gara-gara jadi joki mobil.
Enam bulan setelah tsunami, Razali bekerja sebagai pemulung. Bangun pagi ia langsung berangkat ke TPA Kampung Jawa. Penghasilannya mencapai Rp 200 ribu per hari. Saat malam menjelang, toko-toko yang ditinggal pemiliknya karena tsunami menjadi penginapannya.
“Apa saja yang sudah dibuang bisa jadi uang, asal bisa diolah dengan baik,” tuturnya dengan asap rokok yang mengepul dari mulutnya.
Penampilan Razali sudah jauh berbeda dari dulu. Sekarang ia bertopi pet hitam, mengenakan jam tangan, celana jins, kemeja, dan sepatu bot. Ia lebih mirip mandor ketimbang pemulung.
Dan sekarang ia bukan lagi pemulung. Ia jadi pembeli barang-barang dari para pemulung. Satu hari ia bisa menghasilkan Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta untuk barang bekas yang dijualnya ke toke (penadah).
Di samping Razali ada Usman Daud, yang baru delapan bulan jadi pemulung. Pemuda 17 tahun ini terpaksa putus sekolah karena sebab yang sama dengan Razali. Konflik pemerintah Indonesia dan GAM membuat orang tua Usman kehilangan mata pencaharian dan tak sanggup lagi membiayai sekolah anak mereka.
“Hana peung (tidak ada uang),” ujar Usman, tersenyum sambil memperlihatkan gigi-giginya yang kuning dan tersusun rapi. Usman asli Krueng Geukuh, Aceh Utara.
Tubuhnya kurus, kulit hitam mengkilat, rambutnya keriting karena jarang disisir.
“Paling nggak, udah ada uang untuk jajan,” kata Usman, seraya menatap barang bekas yang telah dipilah-pilahnya.
Di tempat lain, pada 28 Januari 2008, ketika matahari berada tepat di atas kepala, seorang pria bertubuh kerempeng sedang mengayuh becaknya. Di sadel belakang tampak seorang perempuan bertubuh agak gemuk memeluk pinggangnya. Di becak itu tampak dua karung goni. Setiap hari mereka melewati kampus Darussalam dengan mata yang awas mengintai setiap jalan yang dilewati. Kalau apa yang dicari ditemukan, sang laki-laki menghentikan becaknya.
Delapan puluh tahun sudah usia laki-laki itu, tapi pembawaannya tak kalah dengan anak muda. Ia memakai sweater biru tanpa lengan, celana jins pudar, sepatu bot. Topi pet berlambang sebuah lembaga bantuan bertengger di kepalanya.
Namanya Zid Din, tapi ia lebih dikenal dengan nama Agam. Sedangkan perempuan yang bersamanya adalah Syamsiah yang baru dinikahinya empat bulan lalu.
“Udep sidroe hana mangat leubeh-leubeh tanyoe ka tuha (hidup sendiri tidak enak lebih-lebih kita sudah tua),” ujar Agam, seraya tersenyum. Isteri pertamanya meninggal karena tsunami.
Agam tinggal di desa Rukoh. Tak peduli terik matahari, kakek ini terus mengorek-ngorek sampah. Sebelum tsunami ia bekerja di ladang.
“Asai bek tacok atra gob, tamita keudroe deungoen ikhlas ngoen haleu (asal tidak ambil punya orang, jadi kita cari sendiri dengan ikhlas dan halal),” kata Agam tanpa memalingkan mukanya dari tumpukan sampah.
Daerah jelajah Agam dan Syamsiah di sekitar Darussalam. Mereka memungut kaleng, kardus bahkan kertas yang tak lagi terpakai. Barang-barang itu dibawa pulang ke rumah. Ada penadah yang akan mengambil barang itu sebulan dua kali. Pasangan ini biasa mengumpulkan 200 kilogram sampai 500 kilogram barang bekas tiap bulan. Penghasilan mereka paling tinggi Rp 500 ribu per bulan, tak sebanding dengan kerja keras yang mereka lakukan. Tapi Agam tetap bersyukur karena hidup dengan uang hasil keringat sendiri.
Dulu ia pernah mendapatkan bantuan sebagai korban tsunami. Tapi bantuan itu hanya diberikan sekali saja, seperti bahan kebutuhan pokok. Ia tak pernah berharap lagi untuk mendapatkannya. Ia lebih senang berusaha sendiri. Dua anaknya masing-masing tinggal di Meulaboh dan Lhokseumawe.
“Aneuk lon cuma diwo wate puasa mantoeng (anak saya cuma pulang waktu bulan puasa saja),” tutur Agam, sambil mendekati becaknya.
“Saya lahir tahun 1928, waktu seumur kalian saya sudah bekerja,” lanjutnya.
Tahun itu merupakan tahun lahir Sumpah Pemuda, ketika pemuda-pemuda dari berbagai organisasi dan daerah berkumpul di Jakarta dan berikrar setia terhadap negeri yang mereka sebut “Indonesia”. Namun, Agam tidak tahu apa-apa tentang Sumpah Pemuda.
Menurut Agam, kehidupan di zaman penjajahan Belanda lebih enak daripada sekarang.
“Waktu Belanda, pajak nggak banyak seperti sekarang, Cuma sekali saja diambil pajaknya,” kenangnya.
Sesekali Agam melihat jam tangannya.
“Hai bagah bacut, ka seupotnyoe (hai cepat sedikit, sudah sore ini),” katanya kepada sang istri.
Syamsiah berjalan berkeliling-keliling sambil memungut kaleng bekas dan meminta botol bekas sirup di kantin mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar- Raniry.
“Lihatlah dia, dia memang bodoh tapi dia rajin sekali,” ujar Agam, sambil terus memperhatikan istrinya.
Menurut Agam, Syamsiah bahkan tak tahu nilai nominal uang. Seringkali Syamsiah berbelanja tanpa meminta uang kembali. Agam tampaknya sangat terburu-buru mengajak istrinya bergegas ke tempat lain. Jam tangannya memang menunjukkan pukul empat. Tapi Agam tidak sadar jam tangannya mati. Sekarang baru pukul dua siang!
Lain Zid Din lain pula dengan Ibrahim. Seringkali lelaki ini melintas dengan sepedanya di depan kampus Universitas Syiah Kuala. Sesekali ia berhenti dan mengambil sesuatu dari dalam selokan.
Sore itu, 5 Februari 2008, saya kembali melihat Ibrahim. Rambutnya telah memutih begitu juga jenggotnya. Kulit keriput. Kaos hitam dan jaket biru yang dipakainya tampak usang. Di balik sarung merah bermotif kotak-kotak itu ia mengenakan celana coklat selutut. Sepatunya kotor dan robek-robek. Pergelangan kakinya yang luka dihinggapi lalat.
Ibrahim berusia 90 tahun. Kini ia hidup sendirian setelah tiga anaknya berumah tangga. Istrinya meninggal waktu tsunami.
“Hari itu dia ke Pasar Aceh, lon hana jak, jih jak peubloe gule tiep beungoeh bak peukan (saya tidak pergi, dia pergi jualan sayur setiap pagi di pasar),” ujar Ibrahim dengan mata yang menerawang. Suaranya agak parau.
Tiap pukul enam pagi ia berangkat dari rumahnya di Lambaro Angan menuju Ulee Kareng. Jarak Ulee Kareng ke Lambaro Angan agak jauh, terlebih jika ditempuh dengan naik sepeda. Dari Ulee Kareng ia akan menuju Krueng Cut untuk menjual barang pungutannya hari itu.
“Kadang-kadang meuteume dua ploh ribee si uroe (kadang-kadang dapat dua puluh ribu sehari),” kata Ibrahim, tersenyum getir. Tapi ia kemudian melanjut, “Lon syiet sidroe keupeu lelẻ that (saya cuma sendiri untuk apa banyak-banyak sekali).” Sebelum tsunami, ia bekerja di kebun.
Sepedanya seringkali rusak dan patah. Ibrahim menyambung bagian yang patah itu dengan potongan besi dan kayu serta beberapa utas tali. Kalau di tengah jalan sepedanya rusak, ia akan turun memperbaikinya. Biasanya ia baru sampai di rumah pukul tujuh malam.
“Leubeh get tamita keu droe dari pada ta lakee bak gob (lebih baik mencari sendiri dari pada meminta kepada orang lain),” ujar Ibrahim tersenyum dan memperlihatkan gigi yang menguning tapi masih lengkap.
Ketika remaja, Ibrahim ikut berperang melawan tentara kolonial Belanda. Ia bersama teman-teman sekampungnya dibawa ke Medan oleh panglima sagoemereka. Sagoe adalah wilayah setingkat kecamatan.
“Kamoe meunang, Belanda ji plueng (kami menang, Belanda-nya lari),” tutur Ibrahim, bersemangat. Itu menjadi cerita yang sangat dibanggakannya.
Hari beranjak sore, tapi Ibrahim masih duduk di bawah sebatang pohon rimbun. Ia masih harus pergi ke Krueng Cut.*** [Khiththati] - Tulisan ini sudah dimuat pada Acehfeature pada mei 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar