Kata pertunangan tentunya sudah sering kita dengar. Di Aceh,
kata tersebut kata pertunangan tersebut sering disebut Kong Haba. Selain membawa tanda pertunangan, tradisi ini diiringi
dengan membawa serta sirih yang sudah disusun beberapa lapis. Seserahan itu
berupa sirih, pinang, dan telur ayam atau bebek yeng telah direbus dan diberi
warna yang kemudian disebutlah Ranup Kong
Haba.
Istilah Ranup Kong Haba sebenarnya digunakan oleh orang Aceh
yang henda membawa tanda sebelum nantinya sampai tahap pernikahan. “Dalam Islam
tidak dikenal namanya dengan pertunangan
begitu juga dengan adat Aceh, yang ada hanya ranup kong haba” terang Rusdi
Sufi, Ketua Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh (PDIA). Ranup kong haba dimaksudkan untuk memperkuat perkataan pernikahan
yang telah di utarakan oleh seulangkee.
Untuk membawa tanda kong haba, orang Aceh biasanya akan
menentukan waktu disaat bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 penanggalan
bulan qamariah. Pihak yang membawa tanda itu biasanya bukan dari orang akan
menjadi keluarga atau pihak linto baroe (Pengantin
pria), akan tetapi Keuchik (kepala
desa), Imam meunasah, Seulangkee dan beberapa orang tua kampung pihak linto
baroe. Nantinya rombongan itu akan disambut oleh Kepala Desa atau Imam meunasah
pihak Dara baroe (Pengantin
perempuan). Biasanya acara itu diadakan bersama kenduri kecil atau acara yang
dihadiri kedua belah pihak.
Pada hari itu yang dibawa adalah sirih beserta pinang yang
telah dibungkus dan telur ayam dan bebek yang telah direbus. Telur tersebut
sudah dicelupkan kedalam pewarna seperti merah, hjau ataupun kuning, lalu
dibungkus dengan kertas tipis sesuai dengan warna kulit telur tersebut.
Selain itu, tanda kong haba juga dibawa satu mayam emas,
kain sarung, kain baju dan selendang masing masing sehelai. Sekarang, barang
barang itu ditambah lagi jenisnya seperti sandal, sabun mandi dan perlengkapan
lainnya. Semuanya dibungkus dalam sebuah talam
besar. Disertakan juga didalamnya telur bebek yang sudah bewarna warni dan
rangkaian bunga seulanga. “Emas yang
dibawa itu namanya Caram, pertanda
ikatan awal“ Ungkap Ibrahim Ismail, Imam mesjid Tungkop saat ditanya tentang
ranup kong haba tersebut.
Setelah menerima barang seserahan, pihak dara baroe membalasnya denga memberika dua atau tiga talam Halua meuseukat (Kue tradisional Aceh)
dan satu talam kecil yang berisi beberapa ranup
(Sirih) pinang dan kapur. Sirih dan tanda kong haba yang diberikan oleh
pihak laki-laki akan disisihkan untuk sementara waktu.
Kemudian pihak calon Linto baroe diberi sirih oleh pihak
dara baroe yang telah tersedia didalam batee
(Cerana). Seseorang yang ‘dituakan’ dalam rombongan calon linto baroe akan
berbicara dalam bahasa Aceh tentang maksud kedatangan mereka kepada Keucik atau
Imam meunasah di kampung dara baroe. Mereka menanyakan, apakah kedatangan
mereka diterima atau tidak? Setelah pembicaraan panjang lebar akhirnya pihak
linto baroe diterima dan diajak masuk kedalam rumah.
Setelah acara penyerahan ranup kong haba selesai, calon
linto dan dara baroe harus menjaga ikatan yang telah terjalin. Walaupun mereka
ini sudah memiliki suatu ikatan, tetapi
karena belum melaksanakan akad nikah, mereka tidak bebas melakukan apa saja.
“nyan mandum dijaga lee ureung tuha gampong, kon mangat manteng jeut jak jak,
nyan tangong jaweb tanyoe mandum ( itu semuanya akan dijaga oleh orang tua
kampung, bukan semudah dan seenaknya di ajak jalan jalan, itu semua sudah
tanggung jawab kita bersama)” kata Ibrahim Ismail dengan logat Aceh yang
kental. Ia juga menambahkan, ikatan itu biasanya tidak berlangsung lama dan
segera akan dilaksanakan pernikahan.
Bila nantinya ikatan itu diputuskan oleh pihak laki-laki
atau mereka tidak ingin melanjutkan ke tahap pernikahan, maka tanda caram yang telah diberikan itu akan
hangus. Sedangkan jika pihak perempuan yang membatalkannya maka pihak perempuan
harus mengganti caram tersebut dua
kali lipat. “penyelesaiannya biasanya akan diserahkan kepada pemuka adat atau
diserahkan kepada kepala desa jangan
sampai ada yang main-main dengan kesepakatan yang sudah ada” tutur Ibrahim
Ismail sambil tersenyum.
Denda atau hukuman yang dijatuhkan kesannya memang tidak
adil. Pihak perempuan terkesan lebih berat dendanya apabila ia memutuskan
hubungan tersebut yaitu harus membayar dua kali lipa dari apa yang telah di
berikan oleh pihak laki-laki.
Abdurrahman, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala,
menangapi hal itu dengan penjelasan gamblang. Ia menegaskan itu sudah sangat
adil. “Logikanya apa yang diberikan oleh pihak laki-laki akan hangus atau
menjadi hak milik pihak perempuan jika dia yang membatalkan melanjutkan ke
pernikahan” Ungkap dosen hukum Adat ini. “Tetapi apabila yang membatalkannya
pihak dara baroe berarti dia harus mengembalikan punya pihak laki-laki dan
membayar punyanya sendiri itulah kenapa menjadi dua kali lipat, cukup adil
bukan?” Lanjut Abdurrahman kembali bertanya.
Di lain kesempatan, Badruzzaman Ismail saat ditanya
tanggapannya tentang denda dan hukuman ini mengatakan, apa apa yang telah
diatur dalam adat sebenarnya sudah cukup adil, tetapi kita yang tidak mengerti,
jadi terkesan ada pihak yang dirugikan.
“ Adat dibuat dengan banyak pertimbangan, jadi harusnya kita
mengetahui kenapa suatu aturan itu dibuat. Kalau belum mengerti tentang adat,
jangan terlalu cepat menarik kesimpulan sendiri,” Tegas Badruzzaman Ismail yang
juga merupakan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). [Khiththati] – Tulisan ini sudah
pernah dimuat pada majalah SumberPost edisi 10 tahun 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar