Seulangkee’
kata
satu ini sudah jarang di dengar oleh anak muda Aceh. Mungkin, banyak juga
generasi muda sekarang yangtidak mengenal dan mengetahui apa dan bagaimana
tugas seulangkee’.
Budaya dan adat Aceh sudah diatur sedemikian rupa,
sampai kepada hal yang kecilpun diatur oleh pendahulu kita, namun perlahan tapi
pasti ada yang luntur dan hilang karena perkembangan zaman dan kurangnya
pemelihara tradisi.
Dulu seorang anak laki-laki dalam masyarakat Aceh yang
sudah cukup umur dan berkeinginan menikah, tidak pernah memberitahu kepada
orang tuanya secara langsung. Tapi semua itu di perlihatkan dari perubahan
sikap yang di timbulkan oleh sang anak, sehingga dengan begitu orang tua
mempunyai andil dalam memilih jodoh anaknya dengan perantaraan Seulangkee’.
“ Seulangkee itu kalau sekarang seperti ‘Mak Comblang’
tapi dalam ruang yang lebih luas” Ujar Mahasiswi IAIN Ar- Raniry Novia Liza
sambil tersenyum. Dari penuturan tadi dapat juga disimpulkan bahwa Seulangkee’
adalah fasilitator dalam hal hendak melakukan suatu pernikahan.
Di Aceh sudah menjadi adat, dalam mencari menantu
tidak dilakukan secara terang-terangan. Tapi dengan cara tidak langsung
nantinya orang tua pihak laki-laki biasanya mengirimkan seulangkee’ untuk
menyelidiki anak perempuan yang sudah disepakati untuk dilamar.
“Seulangkee’ nantinya akan mencari tahu apakah anak
perempuan tersebut sudah ada yang melamar atau belum?” ungkap Badruzzaman, Ketua
Majelis Adat Aceh (MAA). Karena dalam Islam sudah disyaratkan bahwa tidak boleh
meminang diatas pinangan orang lain dan adat Aceh senantiasa menjalankan
apayang sudah di syariatkan dalam agama. “ Namun bukan hanyak pihak laki-laki
yang boleh mengirim orang ini, akan tetapi pihak perempuan juga boleh” Tambah
Badruzzaman lagi.
Menurut Muzakir, guru Antropologi Man Model Banda
Aceh, berhasil atau tidaknya suatu pinangan kadang kala sangat tergantung pada
peran yang dijalankan utusanini dalm
bersilat lidah dengan orang tua yang anaknya akan dilamar. “Selain sosok itu
Seulangkee’ juga menjadi pertimbangan sendiri dimata keluarga yang akan dilamar”
Kata Muzakir.
“Makanya dalam memilih utusan ini juga tidak boleh
sembarangan dilakukan, biasanya yang menjadi seulangkee’ adalah orang yang di
tuakan dalam gampong tersebut serta mengetahui atau cakap akan adat dan juga
terpercaya” Ujar Ibrahim Ismail, Imam Mesjid Tungkop, Kabupaten Aceh Besar. Sehingga
yang biasanya di percaya menjadi agen adalah
tertua gampong, Keuchik atau Tengku Imum. “Tokoh masyarakat ataupun orang yang
cukup disegani, selain itu tidak harus orang gampong tersebut dari gampong yang
lainnya juga bisa”sebut Ketua MAA, Badruzzaman.
Hal pertama yang dilakukan oleh Seulangkee, adalah “Cah
Roeut” ataupun merintis jalan untuk melakukan pelamaran dan melihat kemungkinan.
Hasil penemuan itu nantinya akan dibicarakan sangat rahasia dan tidak dilakukan
dimuka umum.
Jika ada orang tua yang ingin menikahkan anaknya, maka
akan di panggil seulangkee’ untuk menemui orang tua anak yang akan dilamar
dengan maksud rahasia. Dalam hal ini sang utusan akan kerumah anak yang akan
dilamar tanpa memberitahukan orang lain. “Biasanya ia datang sendiri dan jika
ada yang menanyakan ia hendak kemana akan dijawab seadanya seperti mencari
sesuatu yang hilang seperti ternak dan sesampai kerumah yang dituju ia kemudian
akan mengutarakan maksudnya dan inilah yang dinamakan ‘Cah Roeut’” Jelas
Ibrahim Ismail.
Apakah Seulangkee mendapat bayaran dan sampai kapan ia
akan bertugas?
“Seulangkee’
nyan hana dijok imbalan atawa hana di baye (Seulangkee’ itu tidak di
berikan imbalan atau dibayar) dulunya ada tangung jawab bersama seorang
pemimpin terhada masyarakatnya dan ini juga menjadi suatu kebanggaan, namun
terkadang keluarga yang di bantu akan meberikan imbalan secara iklas”. “ kadang dijok see kupang ( terkadang
diberikan 1 kupang) atau kalau dulu setara dengan uang 2500 rupiah”kenang
Ibrahim.
Tugas Seulangkee’ akan berakhir setelah walimahan atau
pesta pernikahan di selengarakan dan lamanya waktu tidak ditentukan. Selain itu
menurut Ibrahim seulangkee’ juga bertanggung jawab apa bila ada pembatalan
peminangan secara adat agar tidak ada yang tersakiti. Utusan inipun harus mampu
menutup aib yang terjadi karena pembatalan tersebut.
Pinangan dengan perantara adat ini merupakan proses
pelamaran yang memiliki nilai –nilai adat dan budaya. Selain itu kedua belah
pihak yang ingin mengikat hubungan sudah memiliki pihak yang bertanggung jawab
apabila terjadi suatu masalah.
“Zaman sekarang semuanya sudah berubah, adat dan
budaya dulu hilang begitu saja” ujar Badruzzaman sedikit kecewa di akhir
wawancara.
Ada sebuah ungkapan pada sebuah pepatah dalam Bahasa
Aceh “Udep Tan Adat, lagee Kapai tan
Nahkoda” (hidup tanpa adat, ibarat kapal berlayar tanpa nahkoda).
[Khiththati] tulisan ini sudah dibuat pada majalah SumberPost edisi IX tahun
2008
maunya ada fotonya.. misalnya kak thathia nya lagi datang seulangkenya gitu.. kan keren ;)
BalasHapus