Rabu, 18 Maret 2015

Utusan itu dipanggil Seulangkee [Feature]

Seulangkee’ kata satu ini sudah jarang di dengar oleh anak muda Aceh. Mungkin, banyak juga generasi muda sekarang yangtidak mengenal dan mengetahui apa dan bagaimana tugas seulangkee’.

Budaya dan adat Aceh sudah diatur sedemikian rupa, sampai kepada hal yang kecilpun diatur oleh pendahulu kita, namun perlahan tapi pasti ada yang luntur dan hilang karena perkembangan zaman dan kurangnya pemelihara tradisi.

Dulu seorang anak laki-laki dalam masyarakat Aceh yang sudah cukup umur dan berkeinginan menikah, tidak pernah memberitahu kepada orang tuanya secara langsung. Tapi semua itu di perlihatkan dari perubahan sikap yang di timbulkan oleh sang anak, sehingga dengan begitu orang tua mempunyai andil dalam memilih jodoh anaknya dengan perantaraan Seulangkee’.

“ Seulangkee itu kalau sekarang seperti ‘Mak Comblang’ tapi dalam ruang yang lebih luas” Ujar Mahasiswi IAIN Ar- Raniry Novia Liza sambil tersenyum. Dari penuturan tadi dapat juga disimpulkan bahwa Seulangkee’ adalah fasilitator dalam hal hendak melakukan suatu pernikahan.

Di Aceh sudah menjadi adat, dalam mencari menantu tidak dilakukan secara terang-terangan. Tapi dengan cara tidak langsung nantinya orang tua pihak laki-laki biasanya mengirimkan seulangkee’ untuk menyelidiki anak perempuan yang sudah disepakati untuk dilamar.

“Seulangkee’ nantinya akan mencari tahu apakah anak perempuan tersebut sudah ada yang melamar atau belum?” ungkap Badruzzaman, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). Karena dalam Islam sudah disyaratkan bahwa tidak boleh meminang diatas pinangan orang lain dan adat Aceh senantiasa menjalankan apayang sudah di syariatkan dalam agama. “ Namun bukan hanyak pihak laki-laki yang boleh mengirim orang ini, akan tetapi pihak perempuan juga boleh” Tambah Badruzzaman lagi.

Menurut Muzakir, guru Antropologi Man Model Banda Aceh, berhasil atau tidaknya suatu pinangan kadang kala sangat tergantung pada peran yang dijalankan utusanini dalm bersilat lidah dengan orang tua yang anaknya akan dilamar. “Selain sosok itu Seulangkee’ juga menjadi pertimbangan sendiri dimata keluarga yang akan dilamar” Kata Muzakir.

“Makanya dalam memilih utusan ini juga tidak boleh sembarangan dilakukan, biasanya yang menjadi seulangkee’ adalah orang yang di tuakan dalam gampong tersebut serta mengetahui atau cakap akan adat dan juga terpercaya” Ujar Ibrahim Ismail, Imam Mesjid Tungkop, Kabupaten Aceh Besar. Sehingga yang biasanya di percaya menjadi agen adalah tertua gampong, Keuchik atau Tengku Imum. “Tokoh masyarakat ataupun orang yang cukup disegani, selain itu tidak harus orang gampong tersebut dari gampong yang lainnya juga bisa”sebut Ketua MAA, Badruzzaman.

Hal pertama yang dilakukan oleh Seulangkee, adalah “Cah Roeut” ataupun merintis jalan untuk melakukan pelamaran dan melihat kemungkinan. Hasil penemuan itu nantinya akan dibicarakan sangat rahasia dan tidak dilakukan dimuka umum.

Jika ada orang tua yang ingin menikahkan anaknya, maka akan di panggil seulangkee’ untuk menemui orang tua anak yang akan dilamar dengan maksud rahasia. Dalam hal ini sang utusan akan kerumah anak yang akan dilamar tanpa memberitahukan orang lain. “Biasanya ia datang sendiri dan jika ada yang menanyakan ia hendak kemana akan dijawab seadanya seperti mencari sesuatu yang hilang seperti ternak dan sesampai kerumah yang dituju ia kemudian akan mengutarakan maksudnya dan inilah yang dinamakan ‘Cah Roeut’” Jelas Ibrahim Ismail.

Apakah Seulangkee mendapat bayaran dan sampai kapan ia akan bertugas?

Seulangkee’ nyan hana dijok imbalan atawa hana di baye (Seulangkee’ itu tidak di berikan imbalan atau dibayar) dulunya ada tangung jawab bersama seorang pemimpin terhada masyarakatnya dan ini juga menjadi suatu kebanggaan, namun terkadang keluarga yang di bantu akan meberikan imbalan secara iklas”. “ kadang dijok see kupang ( terkadang diberikan 1 kupang) atau kalau dulu setara dengan uang 2500 rupiah”kenang Ibrahim.

Tugas Seulangkee’ akan berakhir setelah walimahan atau pesta pernikahan di selengarakan dan lamanya waktu tidak ditentukan. Selain itu menurut Ibrahim seulangkee’ juga bertanggung jawab apa bila ada pembatalan peminangan secara adat agar tidak ada yang tersakiti. Utusan inipun harus mampu menutup aib yang terjadi karena pembatalan tersebut.
Pinangan dengan perantara adat ini merupakan proses pelamaran yang memiliki nilai –nilai adat dan budaya. Selain itu kedua belah pihak yang ingin mengikat hubungan sudah memiliki pihak yang bertanggung jawab apabila terjadi suatu masalah.

“Zaman sekarang semuanya sudah berubah, adat dan budaya dulu hilang begitu saja” ujar Badruzzaman sedikit kecewa di akhir wawancara.

Ada sebuah ungkapan pada sebuah pepatah dalam Bahasa Aceh “Udep Tan Adat, lagee Kapai tan Nahkoda” (hidup tanpa adat, ibarat kapal berlayar tanpa nahkoda). [Khiththati] tulisan ini sudah dibuat pada majalah SumberPost edisi IX tahun 2008


1 komentar:

  1. maunya ada fotonya.. misalnya kak thathia nya lagi datang seulangkenya gitu.. kan keren ;)

    BalasHapus