Minggu, 29 Desember 2013

Ie Bu Beudah (Feature)

“Kalau mau ke Arun, ikut aja jalan lurus nanti belok kiri, meunasah jih na bak teungoh gampong (meunasahnya ada di tengah kampong)” ujar seorang laki-laki tua yang sedang duduk santai dengan temannya di jambo kecil dekat sawah.

Mengikuti jalan lurus dari Cot Keung hingga bertemu dengan jalan aspal yang sudah mulai mengelupas, tak lama kemudian belok kanan sampailah di desa Arun. Di Arun jalannya tak beraspal. Disisi kanan kiri lorong hanya ada jalan yang dari semen yang dicetak sedangkan ditengahnya dibiarkan kosong.  Namun Menjelang berbuka puasa jalan kecil di desa ini menjadi ramai.

“ Tum, tum, tum” bunyi beude tring dibunyikan anak-anak tak jauh dari jalan masuk desa. Beude tring adalah mainan yang sering dibuat anak anak kecil pada saat ramadhan dan hari raya. Mainan ini terbuat dari potongan batang bambo yang di lobangi sedikit diatasnya. Cara bermainnya adalah dengan meniup bambu kemudian  memasukkan api kedalam lobang diatasanya.

Tak jauh diri situ terdapat sebuah bangunan kecil yang tidak begitu terurus didekat kebun sayur.  Mempunyai tangga yang terbuat dari semen sedangkan lantai  nya terbuat dari potongan bambo yang sudah menghitam dengan dialasi beberapa tikar yang mulai melapuk diatasnya. Disana ada tiga orang laki-laki sedang istirahat sambil menunggu ie bu beudah siap dimasak. Didepanya ada tempat ber wudhu’ sederhana. Itulah meunasah desa arun. Meunasah panggung itu mempunyai tujuh jendela.

“Mulai dipeuget biasa jih poh setengeh peut, entek poh limong liwat kajeut tacok, nyak watee buka puasa manteng seu um (mulai dibuat biasanya jam setengah empat, nanti  jam lima lewat sudah bisa diambil, agar nanti waktu buka puasa masih panas)” ujar Muhammad yunus sambil memperbaiki posisi duduknya.
Ie bu beudah adalah minuman berbuka puasa yang di maksud Yunus. Di meunasah arun setiap bulan puasa selalu menyediakan ie bu beudah. Menurut yunus memasaknya sudah dilakukan turun temurun.

“Nek lon peugah watee gob nyan ubit kana ureng mangun nyan bak meunasah watee bulen puasa (kata nenek saya ketika beliau masih kecil sudah ada orang yang memasak itu  di meunasah saat bulan puasa)” kata Yunus lagi yang sekarang umur nya lebih dari 65 tahun.

Ie bu beudah adalah minuman yang terbuat dari campuran empat puluh empat macam daun. Campuran didalamnya adalah kunyit, lada, beras dan kelapa.

“Namun jika ada kemudahan atau sedekah nanti ditambah kacang tanah, kacang hijau, ubi dan ketela” kata Baihaqi.

Mula- mula daun yang telah dikumpulkan di jemur sampai rapuh lalu ditumbuk sampai halus pakai  jingkhi  oleh masyarakat desa. Jingkhi adalah alat penumbuk tradisional yang bisa digunakan untuk menumbuk padi atau beras hingga menjadi tepung.

Setelah semua daun selesai  ditumbuk diaduk lada dan kunyit yang juga telah di haluskan. Namun kunyitnya tidak dijemur. Lalu semua bahan yang telah siap di berikan kepada orang yang ditunjuk untuk memasak lalu kemudian di jemur lagi.

“Karena di buat oleh orang ramai semua nya harus kerja sama” ujar Baihaqi. Menurut baihaqi yang memasak nanti akan dibayar sesuai kesepakatan warga dengan hasil zakat. Untuk beras yang di gunakan dalam ie bu beudah akan diambil padi hasil sawah wakaf.

“Jadi semuanya dapat mamfaat dari kegiatan ini” tambah Baihaqi lagi.

Desa Arun tidak pernah berhenti memasak ie bu beudah selama ramadhan walaupun desa ini pernah menjadi daerah garis merah saat konflik dulu. “misei bulen puasa hana pre, watee konflik kamo na syit meu tagun alhamdullilah hana peu peu (kalau bulan puasa tidak pernah libur, waktu konflik kami juga da memasak alhamdullilah tidak apa-apa)” cerita Muhammad Yunus.

Sama halnya saat menumbuk daun yang menjadi tugas bersama. Begitu juga dengan mencari daunnya. Satu bulan sebelum bulan ramadhan, keuchik akan mengumumkan dimeunasah kapan hari memetik daun.
“keuchik akan bilang ketika sudah waktunya mencari daun daunnan, jadi siapa yang mau ikut berkumpul di meunasah tapi ini merupakan tugas laki-laki karena nanti perempuan yang akan  menumbuk” kata Muhammad Ali.

Menurut Muhammad Ali  biasanya selain mencari daun mereka juga akan meuramin sehingga orang yang ikut bisa mencapai dua mobil pic up seperti orang pergi gotong royong dikampung.  Meuramin adalah makan bersama.  Biasanya setiap orang membawa serta nasi bersamanya dan kalau ada kemudahan bisa potong ayam atau bebek. Yang pergi mencari daun ke bukit-bukit adalah tiga generasi yang berbeda yang pertama adalah orang tua yang sudah mengenal daun-daun yang akan digunakan kedua adalah pemuda dan ketiga adalah anak-anak yang akan diperkenalkan dengan daun yang diperlukan. Ada daun yang tidak boleh dipetik karena pahit seperti daun japa yang biasa digunakan untuk obat.

“Karena daun itu tidak semuanya dapat digunakan nanti ada yang pahit ada juga yang membuat gatal” kata Muhammad Ali. “ kami dulu juga di ajarkan oleh orang tua tentang daun mana yang boleh diambil yang mana tidak karena ini merupakan resep warisan turun temurun” tambah Baihaqi tersenyum.
Diantara daun yang digunakan adalah seurapat, seumalu batee, murong batee, tahe peuha, daun jemblang dan daun saga. Semua daun itu dijemur selama empat hari.

“Ini merupakan makanan yang paling baik untuk berbuka, dan banyak khasiatnya badan kita jadi enak dan kuat tidak cepat lelah untuk anak-anak dia bisa sehat tapi kalau didalam tubuhnya ada penyakit didalam akan timbul gatal-gatal” tutur baihaqi lagi.

“Memang kadang-kadang ada yang pahit karena salah daun atau bisa jadi kurang bumbu jadi bisa saja lain tempat lain rasa” kata Muhammad yunus. “kalau sudah begitu sepanjang ramadhan rasa nya akan begitu karena bumbunya sudah dicampur kalau yang bagus nanti kalau sudah selesai dimasak airnya akan berwarna merah” tambah Muhammad yunus lagi.

Menurut Baihaqi adanya ie bu beudah merupakan kebahagiaan  tersendiri. “ na ie bu beudah lam gampong saboh nikmat misei ka rab supot karame aneuk mit bak meunasah, teuma keun hana dipeukarue mak di dapu( ada ie bu beudah di kampong satu kenikmatan, kalau sudah sore anak kacil sudah ramai di meunasah, jadi kan tidak perlu menganggu ibunya di dapur)”ujar Baihaqi tersenyum. Selain itu mereka juga bias mengerti tradisi dan meneruskannya.

“Zaman sekarang sudah modern, anak-anak lebih banyak yang sudah tidak kenal sama budaya dan tradisi sendiri semuanya ikut televisi jadi sudah agak susah, jadi dengan ada ini paling tidak setiap habis asar anak-anak akan kemari selesai shalat asar bukannya di depan televisi” ujar  Muhammad Ali tersenyum. “lagi pula ini sedekah bersama yang juga dinikmati bersama” tambah Muhammad Ali lagi.

Sekian lama menjaga tradisi ini mumbuat warga masyarakat arun sudah terbisa dengan ie bu beudah yang menjadi menu utama berbuka selama ramadhan.

“Lon buka puasa harus na ie nyo misei hana nyan hana merasa walaupun na aso kaya (saya buka puasa harus ada air ini kalau tidak ada itu tidak terasa walaupun ada srikaya)” kata Muhammad Yunus tersenyum sambil memperlihatkan gigi nya.

Setelah masak ting dari besi yang digantung di jendela meunasah akan dipukul. “kalau dulu yang dipukul tambo (beduk) atau gom yang suaranya lebih besar” ujar Baihaqi.

Jam sudah menunjukkan pukul empat, muslim selaku orang yang ditunjuk saat musyawarah desa untuk memasak ie bu beudah sudah mulai membersihkan beulagong. wadah yang digunakan adalah wajan besi ukuran besar yang dapat menampung delapan timba air. Setelah beulagong dibersihkan muslim memasukkan kayu bakar dan menyalakannya. Lalu memasukkan air setengah beulagong.

Kemudian memasukkan semua bahan di tambah dengan beras dan masak sebanyak dua are. satu are setara dengan  enak mok atau dua liter. Dimasak sehingga beras berubah menjadi nasi kemudian ditambah lagi air hingga beulagong penuh. Setelah itu di masukkan garam. Setelah mendidih api tetap tidak dimatikan agar tidak cepat basi.

“Setiap hari saya memasak 2 are, dan memasak kadang hingga satu jam setengah tapi setelah matang apinya tetap saya biarkan agar kalau malam masih tetap panas” ujar muslim sambil terus mengaduk masakannya. Muslim baru tahun ini dipercayakan memasak ie bu beudah ramadahan kali ini sebelumnya ia hanya melihat orang lain yang mengerjakan.


Tak lama kemudian ie bu beudah siap. Baunya harum dan segar. Airnya berwarna merah. Ting, ting, ting muslim memukul besi ting menandakan masyarakat sudah boleh mengambil hasil masakannya. Kemudian anak-anak mulai berdatangan membawa timba-timba kecil ada mengantri dapur yang tidak jauh dari meunasah. Pintu dapur itu baru ditutup ketika malam sehingga siapa yang ingin mengabil boleh masuk walaupun tidak ada muslim disana. Bagaimana ingin mencoba?

[Khiththati]

Perempuan Penjaga Rumah Cut Nyak (Feature)



“Rumah ini dibangun memang khusus untuk mengatur strategi perang” kata Mariani sambil membetulkan jelbabnya. ” letaknya yang dekat dengan bukit memungkinkan mengatur perang geriliya” tambah Mariani lagi.

Mariani sudah menjaga rumah yang bercat dominan berwarna hitam ini sejak tahun 1991. awalnya ia hanya sedang melihat sang ayah kedatangan banyak tamu. ”Waktu kecil saya ini pemalu tapi senang melihat banyak orang waaupun harus sembunyi-sembunyi” kenang Mariani sambil tersenyum kecil.

Ketika ayahnya pensiun marianipun memberanikan diri menggantikan ayahnya untuk menjadi penjaga rumah Cut Nyak Dien. mariani mempelajari banyak hal tentang sejarah rumah Aceh ini dari ayah nya dan dari dokumen-dokumen lain.

Mariani adalah orang asli lampisang. rumahnya tak jauh dari rumah Cut Nyak Dien. ia hanya perlu berjalan kaki untuk mencapai tempat kerjanya.ia bekerja dibawah Balai Kajian Purbakala Aceh.

Rumah Cut nyak Dien dibangun oleh Teuku Umar pada tahun 1893. Umar kala itu mendapat bantuan dana dari belanda. ” nah teuku umar, bersiasat untuk mendukung balanda pada awalnya untuk mengambil simpati dan dipercaya oleh belanda, setelah dipercaya umar kemudian mengambil senjata dan diserahkan kepada pejuang aceh” terang Mariani.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dien tinggal di rumah lampisang hanya tiga tahun. kala itu cut nyak dien banyak mendengar kabar miring tentang dirinya karena sang suami awalnya dianggap berkhianat. namun tak lama kemudian belanda mengetahui siasat Teuku Umar, akhirnya pada tahun 1896 rumah kediaman mereka pun dibakar.

”Ketika mengetahui belanda sudah mendekat umar, istri dan pasukannya memilih menjauh dan bersembunyi di glee beraden sambil menyusun taktik berikutnya” ucap mariani lagi sambil menunjuk kearah salah satu bukit di sekitar rumah Cut Nyak Dien.

Saat  mereka pulang rumah itu sudah hangus terbakar. tiada yang tersisa kecuali sumur dan pondasi tangga.

”Jadi rumah ini dibangun kembali diatas pondasi awal” kata Mariani lagi.

Rumah Aceh ini berukuran 25x17 serta memiliki 65 tiang serta 17 jendela. karena takut air nya diracuni oleh Belanda jadi Teuku Umar membuat sumur yang tinggi yaitu 10 meter.

” Sumur itu masih sama dengan saat dibangun dulu cuma di cat sedikit diluarnya, airnya itu bisa di minum saat tsunami kami pakai air dari situ.” ujar Mariani sambil menunjuk kearah sumur tinggi bercat putih.
seperti layaknya rumah aceh, rumah ini mempunyai dua tangga satu didepan lainnya di belakang. tapi rumah ini tidak memiliki lumbung padi atau pun jingkhi (alat untuk menumbuk padi atau beras) yang lazimnya dimiliki rumah aceh.

Rumah ini memiliki empat kamar tanpa kamar samping.

”Rumah aceh tidak mempunyai kamar disamping, adat ureng aceh kama nyan juree nan jih juree, dalam rumoh nyang paleng ateuh paleng tinggi nyan juree, miseu paleng rendah nyan dapu, hana mandum ureng jeut kalen juree (adat orang aceh kamar itu juree namanya, dalam rumah yang paling atas yang paling tinggi itu juree, kalau yang paling rendah itu, jadi tidak semua orang bisa melihat jure)” jelas Mariani.

Dalam struktur Rumah Aceh ada empat pembagian tempat yang pertama adalah seuramo keu yang biasanya dipakai untuk menerima tamu, bagian yang paling tinggi untuk juree, setelah itu ada seuramo liekot atau yang bisa dipakai untuk ruang keluarga kemudian baru ada dapur.

”Dibuat seperti itu agar tidak semua orang yang datang  kerumah tau dimana letak kamar si punya rumah, lagi pula karena biasanya juree untuk perempuan jadi juga untuk melindungi. Kalau si tamu pun hendak kebelakang juga tidak boleh lewat juree tapi ada pintu lain, itulah bagai mana adat aceh menghormati perempuan” kata Mariani lagi sambil tersenyum.

Mariani terus bercerita dan saya mendengarnya.

Rumah ini kembali dibangun tahun 1981 kala itu ia masih remaja. Untuk membagun tiang di datangkanlah kayu semantok dari Aceh Barat.

”Yang diambil adalah bagian tenggah kayu dengan cara diratakan sedikit demi sedikit dengan alat yang masih menggunakan tangan, makanya kayu ini kuat malahan ada yang tidak percaya ini kayu, mereka bilang besi” kata Mariani lagi sambil mengetuk tameh (tiang) didekatnya.

Ia hafal betul bagaiman rumah ini dibuat kembali. Dari kecil ia sangat menyukai bangunan bersejarah ini. Karena rasa sayang ini pula ketika tsunami menghantam aceh akhir 2004 silam ia pun selamat di rumah ini.  

Pagi itu setelah gempa mariani bergegas kerumah peninggalan cut nyak dien ini, ia mau melihat kalau-kalau ada barang yang rusak tanpa membersihkan pecahan gelas yang berserakan karena lemari jatuh dirumahnya. Ia terus teringat rumah cut nyak.

Saat sampai disana ia bertemu dengan tetangganya. mereka bergegas naik. lemari-lemari yang ada berjatuhan. temannya mengigatkan agar mariani tidak mengangkat lemari karena siapa tau nanti datang gempa lagi. kemudian sang teman juga menganjurkan untuk menutup semua jendela karana tak mungkin ada pengunjung hari itu. tak lama setelah itu ia bersama temannya duduk ditangga sambil bercerita cerita.

”Setelah itu ada bapak tetangga yang mengatakan air laut naik, dia lari karena ketakutan jadi saya penasaran kemudian bergegas naik kerumah dan membuka jendela” kisahnya kepada saya.
tak lama kemudian ia mendengar suara pesawat terbang tapi bukan dari atas tapi dari bawah makin lama suara itu makin dekat.

” Jeh hai kalen dile umpung manok ka dime (  itu hai lihat dulu kandang ayam sudah dibawa)” kata Mariani kala itu kepada temannya.

Mariani awalnya mengira kalau rumah yang dibawa tsunami itu kandang ayam nyata itu adalah rumah.  sangat ketakuatan dia mengira bahwa hari itu mungkin kiamat. namun kemudian ia bergegas ke belakang tempat beberapa senjata tanjam di pajang. beberapa kali memukul kaca dan tak pecah juga akhirnya ia membuka paksa lemari itu.

”Saya ambil pedang untuk membuka atap, dari tahun 1991 hari itu saya pertama kali memengang pedang” kenang Mariani.

Ia memotong dan menebas atap rumah dari rumbia, agar orang-orang bisa naik keatas atap. awalnya ada pedang ditangannya kemudian satu di berikan untuk seorang temannya. pedang yang diambil oleh Mariani adalah parang jenis singgarong.

” Saya membuka atap karena mengira airnya akan lebih tinggi, banyak orang yang naik kemudian saya suruh mereka untuk azan” kata Mariani lagi.

Menurut kepercaayaan orang Aceh zaman dulu melafaskan azan saat banjir dan kebakaran akan membuat api dan air itu melunak.

”Saya terus memperhatikan bukit, kata orang tua kalau bukit itu terbang betul-betul kiamat” kisa Mariani lagi.

Selain membuka atap Mariani juga mempersiapkan papan-papan alas tempat tidur untuk pengapung bila rumah itu benar-benar tenggelam. juga membuat tali untuk menolong orang-orang yang hanyut terseret air.
 
Mariani tinggal dirumah Cut Nyak Dien selama empat bulan bersama tujuh kepala keluarga lainnya.

”Saya nggak mungkin meninggalkan rumah ini tanpa kunci, lagi pula saya selamat disini, yang lain sudah naik gunung dan nggak ada yang berani turun kala itu termasuk ayah dan adik laki-laki saya, jadi saya harus jaga” kenang Mariani lagi.

Ibu dan adik perempuan tidak selamat dalam musibah itu. selama tujuh hari kemudian bantuan sampai dan akhirnya mereka mendapatkan makanan. Mariani juga mengantarkan makanan itu ke bukit kerena disana juga tidak ada makanan.

”Setelah tujuh hari baru mendapatkan makanan, sebelumnya dapat minyak makan sedikit saja seperti mendapatkan emas” ucap Mariani lagi sambil tersenyum lebar. banyak hal yang membuat Mariani sampai sekarang masih menjaga rumah Cut Nyak Dien sampai sekarang.

”Saya dulu pernah tidak mau lagi menjaga rumah ini, tapi malamnya saya bermimpi ada seorang wanita tua yang berselendang didalam rumah tidak megijinkan ia turun sebelum semua jendela tertutup” ingat mariani.

Selagi mariani menutup jendela, wanita itu membukanya lagi hal itu terjadi sampai ia terbangun.

”Waktu saya bangun, saya berkeringat banyak sekali, saat saya ceritakan kepada ayah katanya mungkin saya belum diizinkan pindah sama Cut Nyak” kata Mariani lagi.

Maka dari itu ia akan terus berupaya menjaga rumah yang beralamat di desa Lam U, lampisang bernomor 12 itu sampai tua.

”Kalau saya pensiun nanti, maunnya kerabat saya juga yang menjaga rumah ini” harap Mariani diakhir wawancara.


[Khiththati] Tulisan ini telah di Publikasikan pada Tabloid Bungong

Rencong Pusaka (Feature)


 RIDWAN Aswad membaca cuplikan buku tentang Aceh yang ditulis sejarawan kolonial, H.C. Zantgraaff, “Tiba-tiba sang ulee balang mencabut rencongnya lalu menikam ke perut Scheepens. Sejenak keadaan menjadi panik.” Ulee balang adalah sebutan untuk kaum bangsawan Aceh.

Rencong digunakan dalam perang Aceh, perang bangsa Aceh melawan Portugis.

Rencong dibuat dengan gagang berbentuk huruf ba (salah satu aksara Arab) agar tidak licin setelah menusuk musuh,” ujar Ridwan, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA).

Tapi kapan awalnya rencong mulai dibuat dan di mana, tidak ada yang tahu,” lanjutnya.

Reuncong atau rencong adalah senjata tradisional Aceh. Meski tidak ditemukan dalam catatan sejarah, asal-usul rencong terekam dalam legenda Aceh.

Dulu ada burung yang namanya geureda yang suka memangsa ternak warga. Karena ternaknya banyak yang mati, para penduduk meminta pendapat tengku-tengku (alim ulama). Oleh tengku mereka diminta shalat, maka jawaban dari shalat tadi adalah masyarakat harus membuat rencong untuk mengusir burung geureuda,” tutur Ridwan.

Oleh raja yang berkuasa ketika itu, menyuruh seorang pandai besi yang juga ulama untuk menciptakan sebuah senjata ampuh yang mampu membunuh Geureuda tersebut. Oleh pandai besi yang mempunyai ilmu maqfirat besi, setelah melakukan puasa, sembahyang sunat dan berdoa baru menempa besi pilihan dengan campuran beberapa unsur logam menjadi Rencong.

Menyebut senjata Rakyat Aceh, selain meriam dan senjata api, yang paling terkenal adalah Rencong. Bahkan, salah satu gelar tanah Aceh disebut juga sebagai “Tanah Rencong”. Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong Aceh memiliki bentuk seperti huruf [ L ] atau lebih tepat seperti tulisan kaligrafi "
 Bismillah ". Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau atau pedang).

Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.
Menurut sejarahnya, rencong memiliki tingkatan. Pertama, rencong yang digunakan oleh raja atau sultan. Rencong ini biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas murni (bagian belatinya). Kedua, rencong-rencong yang sarungnya biasa terbuat dari tanduk kerbau atau kayu, sedangkan belatinya dari kuningan atau besi putih.
Marzuki, Acik, dan Muksin juga tidak tahu kapan pertama kali rencong dibuat dan untuk tujuan apa. Padahal ketiga pengrajin ini mewarisi ilmu membuat rencong secara turun-temurun.

Sembilan puluh persen masyarakat di desa ini membuat rencong,” ujar Marzuki. Ia adalah warga Baet, Sibreh.

Ketika saya memasuki desa ini, tampak jalan aspal yang telah mengelupas, dengan hamparan sawah hijau di kanan-kirinya. Rumah penduduk terbuat dari kayu atau bata. Ada juga yang masih gubuk. Saya melihat sebuah pamflet bertulis “Sentra Kerajinan Rencong Aceh Pusat Baet”.

Dulu kami bekerja dalam gubuk beratap rumbia,” ujar Muzakir, seraya tersenyum.

Setelah tsunami, Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh-Nias (BRR) memberi bantuan pendirian sejumlah bangunan permanen untuk para pengrajin di daerah ini.

Ada tiga desa yang dibantu BRR, yaitu Baet Mesjid, Baet Lampuot dan Baet Meusango. Semua bangunan berjumlah 42. Uang bantuan yang diberikan BRR sebesar Rp 32 juta dengan rincian untuk bangunan dan alat usaha.

Tempat Muhammad Acik bekerja tidak jauh dari Marzuki. Bangunan tanpa pintu itu bercat hijau muda, berada di samping rumahnya. Ia bekerja bersama lima rekannya. Ia belajar membuat rencong dari ayahnya.

Acik lulusan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh, pada 1988. Tapi ia lebih memilih membuat rencong ketimbang mencari kerja dengan mengandalkan ijazah sarjananya.

Sekarang bahannya agak mahal. Kalau dulu tanduk murah, kalau sekarang yang hitam Rp 30 ribu sepasang,” tutur Acik.

Miseu lungke kebeu jagat lebeh mehai lom, seretoh limong ploh saboh pasang (kalau tanduk kerbau putih lebih mahal lagi, seratus lima puluh sepasang),” lanjutnya.

Mata rencong terbuat dari besi atau kuningan. Seperti halnya keris Jawa, rencong berujung lancip. Tanduk, kayu, gading atau emas untuk gagangnya. Sarung rencong juga dari tanduk kerbau dan gading, atau kayu pilihan seperti batang kapula, nangka, kemuning dan batang asam.

Marzuki biasa membeli tanduk kerbau di rumah potong hewan atau yang didatangkan dari Meulaboh, Aceh Barat. Kayu batang kemuning didapatnya di gunung atau di kuburan. Kuningan dibelinya kiloan. Tapi tak semua tanduk dapat dibuat gagang atau sarung rencong. Tanduk sapi dan kambing cepat retak. Tanduk rusa tak masalah. Satu tanduk kerbau bisa untuk tiga rencong. Gagang atau sarung gading gajah jarang dipesan orang. Selain mahal, susah dicari.

Marzuki dan Acik punya pengalaman menarik di masa konflik pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka memperoleh kuningan dari selongsong peluru bekas perang tentara Indonesia atau gerilyawan GAM.

Waktu itu ada selosong yang dijual per kilo,” kata Acik, terkekeh. Ia mulai membuat rencong di usia 12 tahun.

Tak jauh dari Acik dan Marzuki terlihat Muksin sedang menggosok-gosok siwah. Seperti halnya rencong, siwah senjata tradisional yang sering dipakai para raja, panglima perang, dan pejuang Aceh di masa lalu. Bagi orang Aceh, rencong sudah jadi bagian adat dan budaya, bahkan dianggap senjata pusaka.

Sejak usia 10 tahun, Muksin sudah bekerja mengilapkan senjata-senjata tajam ini.

Saya senang kerja seperti ini. Walaupun penghasilannya tidak banyak, tapi saya sudah ikut menjaga tradisi dan adat daerah saya,” ujar Muksin yang sekarang sudah berumur 22 tahun.
Muge atau pedagang membeli rencong dari desa Baet untuk dijual di toko cinderamata. Harga rencong ukuran kecil yang mereka beli dari pengrajin dengan harga Rp 11 ribu akan jadi Rp 20 ribu. Rencong besar yang tadinya seharga Rp 82 ribu akan naik jadi Rp 150 ribu di toko. Motif rencong juga menentukan harga. Rencong dari kuningan lebih mahal dari rencong besi. Namun, omset penjualan rencong menurun sejak lembaga-lembaga bantuan asing meninggalkan Aceh.

“Saat habis tsunami banyak bule-bule (orang asing) yang datang kemari. Tapi kalau sekarang sudah kurang,” ujar Muksin, sambil membetulkan letak duduknya. “Kalau mereka yang beli, bisa dihargai sedikit mahal,” tambahnya.

Gelembung ekonomi dan bisnis di masa awal pascatsunami dan pascakonflik kini terus mengempis. Pengangguran di Aceh meningkat, karena program rekonstruksi dan rehabilitasi telah selesai. Pengunjung rumah-rumah makan tidak sebanyak dulu. Tamu-tamu hotel menyusut. Situasi ini harus segera digantikan dengan peningkatan ekonomi yang bersandar pada potensi Aceh sendiri, seperti wisata, budaya, dan mineral. Namun, penerapan syariah Islam yang mendatangkan berbagai masalah baru dalam kehidupan orang Aceh justru membuat was was para pemodal yang hendak membuka bisnis mereka.

Di Pasar Atjeh, dua kakak beradik Ahmad dan Usman Arif juga mencari nafkah dengan berjualan rencong. Mereka tidak menjual rencong buatan pengrajin Baet, melainkan rencong tua.

Rencong-rencong itu mereka beli dari warga. “Saya mendapatkanya dari Pribu, Aceh Barat sebelum konflik (antara pemerintah Indonesia dan GAM) dulu, sebelum tahun 1989,” ujar Usman. Selain itu, ia juga memperoleh rencong tua dari Lhong, Lamno dan Aceh Selatan.

Pembeli rencong kakak-beradik ini rata-rata kolektor. Harga sebilah rencong kecil antik berkisar Rp 250 ribu sampai Rp 350 ribu. Ukiran pada rencong itu macam-macam motif, ada yang berupa kalimat “bismillah” atau ayat dalam Alquran seperti Al Ikhlas.

Ahmad dan Usman menggelar dagangan mereka di emperan toko, disusun di atas meja kecil. Dulu mereka pernah punya toko sendiri. Ketika tsunami melanda Aceh, ada orang mengambil kesempatan ini untuk membongkar toko mereka dan membawa lari semua barang di dalamnya. Mereka juga menjual siwah dan berbagai jenis barang antik, selain rencong.

Ini dinamakan siwah, karena di gagangnya ada pahatan kepala burung siwah dan di sarungnya ada ukiran bulunya. Siwah ini adalah nama burung yang sangat ditakuti oleh burung lain, makanya ini sering dipakai oleh raja Aceh dulu,” kata Ahmad, sambil memegang siwah.

Di meja mereka ada pedang bergagang kepala rajawali, peninggalan Belanda, pedang Istanbul yang berukir kaligrafi, pedang Cina, samurai Jepang berangka tahun 1718 dan 1024, madam berukir dan pistol kemurah dari Kerajaan Aceh, keris Jawa dan Melayu. Benda-benda itu sebagian sudah berkarat.

Menjual barang antik dan langka bisa terjerat pasal hukum pidana. Benda-benda itu termasuk artefak budaya yang dilindungi negara.

Kami semua perlu makan. Anak saya dan istri saya juga begitu,” jawab Usman, memberi alasan atas tindakannya.

[Khiththati] Tulisan ini telah di Publikasikan di AcehFeature.org


Makan Sate Matang Yuk (Feature)

Saat jalan jalan berkeliling kota Banda Aceh, tidak lengkap rasanya tanpa mencicipi berbagai kuliner yang ada. Tentu makanan yang satu ini sudah tidak asing lagi yaitu Sate matang. Tidak perlu jauh jauh keluar daerah untuk merasakan kelezatan panganan satu ini. Sekarang bangak penjual yang menjajalkan sate khas ini di jalan jalan seputaran kota Banda Aceh. Hanya membutuhkan waktu 10 menit dari pusat keramaian kota. Tempat satu ini juga dekat dengan toko toko yang menjual oleh oleh khas Aceh. Saat kaki mendekat, harum manis dari sate yang dibakar sudah mengugah rasa.
“ Piyoh (singgah)” Ujar Ardi sambil tersenyum kepada pembeli.
“ Bungkoh Sate Lhe Ploh Krek (bungkus sate tiga puluh tusuk)” Sahut seorang laki-laki payuh  baya.
“ na pakei bu pak? (ada pakai nasi pak?)” Tanya Ardi lagi.
“  Hana (tidak) ”Jawab laki-laki itu lagi.
Satu paket sate matang terdiri dari nasi, kuah soto dan sate. Satu tusuk sate terdiri dan dua potongan daging dan satu potong lemak atau tiga-tiganya adalah daging. Tergantung permintaan pelanggan. Satu tusuk sate matang dihargai seribu lima ratus. Sedangkan sepiring nasinya tiga ribu rupiah.
Tuk, tuk, tuk suara botol kecap dihempas keras ke kayu. Botol dikocok kuat hingga mengeluarkan buih. ini menjadi ciri khas penyajian sate matang. Nama Matang diambil dari Matang Glumpang Dua, nama satu daerah perbatasan kabupaten Bireun dan Aceh Utara.  Rata-rata penjual sate matang adalah penduduk daerah itu.
“ Yang jualan sate matang ya pastinya orang matang” ujar Ardi sambil memotong daun bawang. Menurut Ardi selain bumbu yang membedakan sate matang dengan sate lainnya adalah kuah soto dan juga ketukan kecap.
Daging yang digunakan untuk membuat sate matang diambil dari daging kambing dan sapi yang kemudian diberi bumbu terlebih dahulu sebelum dibakar. Ardi telah berjualan di kedai sate matang Yah Son sejak tahun 2005. Ia bekerja dengan temannya Saputra. Awalnya saputra yang mengelolanya sendiri, namun kini ia sudah mempunyai delapan karyawan tetap termasuk Ardi. “Kalau bulan ramadhan pegawainya menjadi sepuluh orang, karena pelanggan biasa lebih banyak dari  biasanya” ujar Saputra memakai baju hitam.
Walaupun telah lama berjualan, tapi Saputra juga tidak mengetahui sejak kapan sate matang mulai popular. “dari saya kecil makanan ini memang sudah ada, jadi nggak, tau juga kapan mulai ada” kata laki-laki yang sudah berumur 30 tahun ini. Tidak hanya diminati oleh pencinta kuliner lokal, sate matang Yah Son juga sering kali dikunjungi wisatawan asing. “ Kalau mau makan sate matang ya kemari, selain tempatnya enak , juga nggak perlu nunggu lama” ujar Julaika Maizar salah seorang pelanggan.
Di kedai ini meja-meja dijejer menghadap jalan raya. Walaupun ada juga tempat di dalam ruangan. Namun banyak pelanggan yang memilih duduk di luar.
Sate matang Yah Son buka dari jam empat sore hingga jam satu malam. Dalam semalam mereka dapat menjual lebih kurang 2000 tusuk. Saat ditanya tentang bumbu rahasia kedainya, mereka hanya tersenyum. “Ada banyak bumbu dan rempah yang kami pakai. Lagi pula yang tau namanya cuma juru masak.  Kalau saya tidak mengerti” ujar Ardi sambil terus melayani tamu.
Menunggu sate matang untuk diracik tidaklah lama. Selain daging yang telah diberi bumbu telah ditusukkan pada batang bambu kecil yang telah dihaluskan, sebagian  sate juga sudah dibakar. Untuk kuah dan nasi juga sudah disiapkan. Setelah memesan, tinggal tunggu sebentar, hidangan segera diantar ke meja pelanggan atau segera dapat dibawa pulang.
Kuahnya berwama kuning bening, ada potongan kentang dan daging. Di atasnya ditaburi daun bawang ‘dan bawang goreng. kuah yang masih hangat dan mengeluarkan asap. Saat menyantapnya kuah ini wangi dan rasa lengkuasnya sangat kentara dan Juga ada bunga lawang kleng• (sejenis rempah). Ditambah sedikit kecap asin di atasnya.
Asap mengepul dari tungku pembakaran, mengeluarkan wangi dari sate yang dibakar. Kemudian sate diangkat diletakkan di dalam piring, serta dituangkan saus kacang tanah yang dicincang kasar di atasnya, ditambah taburan bawang goreng dan potongan jeruk nipis. Yang tidak boleh ketinggalan sedikit kecap asin. Bumbu kacang dibuat dan cabai merah kering, cabai rawit dan sedikit gula dicampur dalam potongan kacang tanah dimasak hingga wamanya berubah menjadi coklat kemerahan.
Tak lama kemudian satu paket sate matang dihidangkan ke atas meja lengkap dengan teh hangat. Tidak sabar rasanya untuk mencoba. Jadi bingung mau dimulai dari mana. Buat anda yang sedang berjalan jalan di Banda Aceh tidak ada salahnya mampir kemari. saatnya bersantap yammi, enak sekali.  Ini adalah salah satu pusat jajan makanan di kota ini. Masih banyak lagi tempat  memcicipi makanan yang tersebar di kota Banda Aceh. Hmm, tunggu apa lagi?
[Khiththati] Tulisan ini telah di Publikasikan di Majalah POTRET Online


Dalail Khairat (Feature)

Assubuhul bada minthala ‘atihi wallailu dajamiu wafaratihi. Subuhlah nyata lahirnya nabi, sempurnalah malam sempurna hari. Faqad rasula fadlan wa’ula adasubula lidalalatihi.Tinggilah rasul leubeh that manyang petunyuok jalan dalilnya nabi.Kanzur qarama maulan ni’ami hadil umami li syar’atihi. Keuhdum mulia panghule nikmat peutonyok umat syariat nabi. Azkan nasabi alal hasabi kulul arabi fi qithmatihi. Sucilah bangsa manyang derajat dum ureung arab jak sajan nabi.

SYAIR itu terdengar begitu menggema. Dilantunkan sejumlah orang, beberapa di antaranya masih kecil. Mereka duduk bersila di tikar membuat lingkaran kecil. Sebagian memakai peci dan sarung. Mereka adalah kelompok dalail khairat.

Di sejumlah daerah di Aceh, terutama di pedesaan, dalail khairat masih sering dilakukan masyarakat Aceh. Tapi di kota-kota besar, hampir sebagian masyarakat tidak tahu dengan syair ini, yang merupakan bagian dari budaya Aceh. Terutama generasi muda sekarang.

Dalail khairat merupakan budaya Arab yang sudah lama berkembang di Aceh. Tidak diketahui pasti kapan budaya ini pertama kali masuk ke Aceh. Dalail khairat ini digunakan sebagai alat untuk berzikir dan memuji sang Maha pencipta.

“Dalae nyan treb that kana. Peu thon hana tatujan, peu abad hana tateupe (dalail itu sudah ada sejak lama, tahun dan abad berapa tidak diketahui). Tapi sejak saya kecil, sudah ada, yang dibacakan di meunasah-meunasah,” jelas Ibrahim Ismail, tokoh masyarakat di Tungkop, Aceh Besar.

Walaupum kadang-kadang, dalam dalail diselipkan bacaan-bacaan like/dike, namun bukan berarti dalail ini sama dengan dike/like. Likee/dike (zikir) maulid, hanya ada ketika kenduri maulid Nabi yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, tahun Hijriyah. Isi likee maulid menceritakan sejarah kelahiran Nabi Muhammad yang dibaca dalam kasidah dan tharih.

“Dalam dalail, banyak bacaan yang dibaca dan semua itu sudah dikumpulkan dalam satu buku. Isinya mencakup asmaul husna, selawat, doa dan ada juga kasidahnya,” ungkap Ibrahim Ismail.
Dalail sering kali dilaksanakan pada malam hari. Biasanya, tiap-tiap daerah memiliki ketentuan masing-masing. Di beberapa tempat, latihan dalail  dilakukan di meunasah, mushalla, masjid dan balai-balai pengajian setiap malam jumat setelah shalat isya. Jumlah anggota tidak dibatasi, tergantung keinginan masyarakat yang mau bergabung tanpa ada batasan usia. Lama waktunya, ditentukan jumlah syair yang dilantunkan.
“Biasanya, kelompok dalail ini dipimpin seorang syeh. Setelah syeh memulai melafatkan setiap bait syair dengan irama tertentu, kemudian diikuti oleh anggota lainnya. Lama waktu yang dihabiskan setiap kali dalail, bisa mencapai tiga sampai empat jam. Bahkan bisa lebih,” kata Ibrahim.

Kelompok dalail khairat ini, sering diundang untuk meramaikan pada acara pernikahan  dan orang meninggal. Selain itu, dalail khairat juga ikut diperlombakan, seperti beberapa waktu yang lalu. Tidak hanya diikuti oleh santri dayah yang sudah biasa dengan lafat dalail, tapi juga di ikuti oleh kelompok-kelompok yang mewakili gampong-gampong.

“Dalail khairat bisa dipelajari semua orang. Asal mereka bisa membaca Al Quran, pasti bisa mengikuti syair dalail,” tutur Ibrahim Ismail.

Bacaan dalam dalail tidak hanya menggunakan bahasa Arab, tapi juga dipadukan dengan bahasa Aceh. Sebagaimana yang telah dikukuhkan dalam kitab kecil karangan Syeh Hasan Sajli. Sehingga, yang mempelajarinya menjadi mudah. Ini merupakan bentuk dari perpaduan budaya Arab dan Aceh.

“Yang dibaca dalam dalail itu, Al Fatihah, shalawat, doa minta ampun, ayat kursi, asmaul husna dan kasidah burden,” ujar Takdir Feriza, mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, yang sudah mengenal dan mempelajari dalail sejak kecil.

Menurut Takdir, waktu dia mengaji dulu, setiap santri laki-laki diwajibkan bisa melantunkan dalail. “Karena sudah terbiasa dari kecil, saya masih ingat syairnya sampai sekarang,” katanya, sambil tersenyum.
Karena kepandaian dan suara merdu yang dimilikinya dalam melantunkan syair-syair dalail, Takdir sering ditunjuk sebagai syeh. Kelompok dalail mereka juga sering dipanggil saat ada pesta perkawinan dan orang meninggal. Tapi, mereka tidak pernah meminta bayaran.

Pada orang meninggal, dilakukan pada malam kesebelas. Dimulai setelah doa samadiah, dengan peserta tidak terbatas. Lama waktunya bisa mencapai dua jam lebih. Tapi, pada saat lomba, pesertanya dibatasi sepuluh sampai duabelas orang. Waktunya pun terbatas, hanya 30 menit. Sesuai ketuntuan dewan juri dan panitia.


Saati sajaru nataqa hajaru saqhal qamarubi isyaratihi. Sujutlah kaye meututoe bate bekahlah buleun isyarat nabi. Jibrilu ata lailatal asra wa rabubul da’ahul li khadratihi.Jibrilah neu jak bak malam isra’ tuhan geuyu jak sajan nabi.

[Khiththati] Tulisan Ini sudah di publikasikan di Majalah AcehPoin

Peringatan Palsu (Feature)

UMAR Latif sibuk menjelaskan tanda-tanda kebesaran Allah di depan kelas. Umar berusia sekitar 50 tahun, berkaca mata minus, bertubuh agak gemuk, dan rambutnya bermodel belah tengah. Ia dosen mata kuliah Tafsir di Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry atau biasa disebut IAIN Ar Raniry.

Sekarang baru pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Artinya, masih tersisa waktu tiga puluh menit lagi untuk Umar berceramah. Hari itu Senin, tanggal 4 Juni 2007.

Ketika ia dan mahasiswanya tengah asyik berdiskusi, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar kelas. Letak ruang 61 ini dekat jalan kampus, sehingga keributan kecil saja di jalan itu akan terdengar lantang dan mengganggu konsentrasi orang-orang dalam ruang.

Seisi kelas langsung bangkit dari kursi, bergegas menuju pintu maupun jendela. Bahkan ada yang saking paniknya langsung keluar kelas begitu saja, tanpa mempedulikan Umar. Kelas seketika jadi gaduh.

Jalan di samping dan di muka fakultas penuh sesak dengan mahasiswa yang berlarian.

“Woi! Ada apa lari-lari?” teriak Nasir kepada seorang mahasiswi yang berlari sambil mengangkat roknya. Si mahasiswi bukannya menjawab, malah lari lebih kencang.
 

“Eh, ada apaan sih lari-lari, kebakaran ya?” tanya Ainul tak sabar kepada seorang mahasiswa yang terlihat kesusahan mengemudikan
 kereta. Orang Aceh menyebut sepeda motor itu kereta. Padahal di Pulau Jawa,kereta diartikan sebagai kereta api. 

“Lari aja,
 dek (dik), saya juga nggak tau kenapa saya lari. Pokoknya lari aja,” ujar lelaki itu, sambil berlalu.

Kelas Tafsir bubar tanpa dikomando siapa pun. Penghuninya kocar-kacir mengikuti orang banyak atau mencari
 kereta mereka di tempat parkir. Umar ikut berlari sambil membawa vespanya menjauhi kampus.

Jalan-jalan sempit di kampus yang biasanya sepi, dalam sekejap telah dilewati ratusan mahasiswa dan siswa sekolah di sekeliling kampus. Mereka rata-rata menggenggam telepon seluler, yang terus berbunyi. Suara gugup orang yang menelepon dan bunyi telepon seluler membuat suasana tambah tegang.

Jalan lingkar kampus macet, karena orang berlomba-lomba untuk segera pergi. Ada yang berlari dengan kaki telanjang, ada yang berlari sambil menggendong anaknya yang terus menangis, ada yang berlari dengan menggandeng tangan temannya.

Saya mengemudi
 kereta dengan membonceng Nana, teman sekelas saya.

“Pakoen nyoe pak (kenapa ini pak)?” tanya saya pada tukang becak yang sedang mengantri lewat di jalan itu.

“Alarm tsunami jimeusu (alarm tsunami berbunyi),” jawabnya sambil melihat ke arah isteri dan dua anaknya.

“Alarm pat toeh (alarm yang di mana)?” tanya saya lagi.

“Nyan nyang bineh mesjid Kajhu (itu yang di samping masjid Kajhu),” jawabnya.

Ia mengatakan bahwa alarm tersebut sudah berbunyi kira-kira tiga puluh menit yang lalu.
 

Di jalan ada orang berteriak-teriak, “Ie laot ka jiek, ka plueng laju (air laut sudah naik, lari terus)!”
 

Lima belas menit kemudian, kami pun sampai di lapangan Tugu Darussalam. Biasanya dari IAIN Ar Raniry ke lapangan Tugu hanya ditempuh dengan beberapa menit ber-kereta. Orang-orang yang tadi berlari, sebagian ada yang mencoba memanjat tugu. Zainuddin termasuk salah seorang dari mereka yang berhenti di tugu ini.

“Mencari teman adalah hal yang sangat penting dilakukan kalau keadaan seperti ini. Paling tidak kita bisa berbagi cerita dan tidak sendiri,” ujarnya kepada saya.

Mesjid Jami’ Darussalam pun jadi sasaran manusia untuk berkumpul. Dari masjid ini adzan mulai berkumandang.


Allah Hu Akbar, Allah Hu Akbar
Ashadualla Ilaa Hailallah, Ashadualla Ilaa Hailallah
Ashaduanna Muhammadar Rasulullah, Ashaduanna Muhammadar Rasulullah
Haiya’ala Shalat, Haiya’ala Shalat
Haiya’alal Falah, Haiya’alal Falah
Suara adzan membuat suasana kian mencekam. Adzan di luar waktu shalat menjadi pertanda musibah besar, seperti kebakaran, banjir ataupun tsunami. Hal seperti ini sering terjadi di Aceh.

Lalu-lintas kacau. Antrian sepeda motor makin panjang. Jalan dua arah berubah jadi jalan satu arah. Mobil,
labi-labi (angkutan umum berkapasitas sepuluh orang), sepeda, dan sepeda motor tidak mau saling mengalah. Masing-masing ingin cepat melaju. 

Di trotoar, anak-anak berseragam putih-merah (sekolah dasar) dan putih-biru (sekolah menengah pertama), menangis-nangis memanggil ibu mereka. Murid-murid taman kanak-kanak kocar-kacir tanpa pengawalan guru mereka di jalan raya. Mereka seperti anak ayam kehilangan induk, menangis sepanjang jalan. Para guru sibuk menyelamatkan diri masing-masing.

Sejumlah orang jatuh di jalan, tapi langsung bangkit dan berlari tanpa mempedulikan rasa sakit atau luka-luka di tubuh mereka.


ORANG-orang cenderung mencari tempat yang lebih tinggi. Sepanjang jalan dari Darussalam menuju Tungkop, tukang bensin eceran diserbu pengendara
 kereta.

“Mak, bek woe dile u Banda, na tsunami, droe neuh di kampong mantoeng (ibu jangan balik ke Banda, ada tsunami, jadi ibu di kampung saja).” Terdengar suara seseorang berbicara dengan ibunya di telepon seluler.

Bunyi klakson bersahut-sahutan, diselingi umpatan orang yang ingin kendaraannya maju lebih dulu dibanding yang lain.

Tepat di samping
 kereta saya, ada sebuah labi-labi. Lelaki yang duduk di samping sopir labi-labimengatakan bahwa ia datang dari Krueng Raya, yang berjarak sekitar 45 menit bermobil dari pusat kota Banda Aceh. Ia hendak menuju Tungkop lewat jalur Darussalam dan ini artinya, ia mengambil jalan memutar serta membutuhkan waktu yang lebih panjang.

“Watee kamoe troek u Kadju seurune nyan ji muesue. Baroe jeh awak Amerika peugah, meuseu alat jih ji meusu di yue plueng, karena 30 menit watee peuseulamat droe. Maka jih kamoe meu wet Darussalam yak jak u Blang Bintang. (Waktu kami sampai ke Kadju, alarm yang di situ bunyi. Dulu kata orang Amerika kalau alat itu berbunyi, kita harus lari, karena cuma ada waktu 30 menit untuk menyelamatkan diri. Jadi kami ke Darussalam, mau pergi ke Blang Bintang),” katanya, panjang-lebar.

Lalu-lintas padat dan semerawut di simpang Tungkop, baik dari arah Blang Bintang menuju ke Darussalam maupun ke Lambaro Angan. Tak berapa lama, mobil polisi patroli berwarna hitam meluncur ke muka sebuah warung kopi dan diparkir sembarang. Seorang polisi turun dari mobil, langsung menuju jalan raya dan mengatur lalu-lintas.

“Pak, nggak ada tsunami, bapak bisa balik ke rumah,” kata polisi itu kepada sopir truk pasir.

“Nyoe, droeneuh mangat neu peugah, miseu na tsunami euntreuk droeneuh peu na neupeureumeun kamoe ( Ya, Anda enak saja bicara seperti itu, nanti kalau ada tsunami apa anda memperhatikan kami)?” jawab sopir tersebut dengan nada emosi.

Polisi itu tak mau menambah masalah, sehingga ia segera meninggalkan sopir truk yang keras kepala tadi dan kembali mengatur lalu-lintas. Sekarang ia beralih pada pengguna jalan yang berlawanan arah. Walaupun sendirian, dengan cekatan ia berjalan dari satu kendaraan ke kendaraan lain.

Tak jauh dari sini, seorang perempuan menangis di tepi jalan. Ia hendak menuju Darussalam. Di sampingnya, seorang pemuda mencoba menenangkan.

“Udahlah bu, nggak mungkin bisa lewat,” ujar pemuda itu sambil melihat kondisi jalan yang macet.

“Tapi anak saya masih TK (taman kanak-kanak). Dia pasti takut karena rame-rame (ramai-ramai) begini. Kalau dia ketabrak gimana?” tukasnya, seraya menyeka air matanya dengan tangan.

“Kan ada guru, pasti nggak apa-apa,” hibur pemuda tadi.
 

Meskipun polisi telah mengatakan tidak terjadi tsunami, tetapi keadaan jalan masih tetap macet.

Pukul sebelas lewat empat puluh menit, saya mengarahkan kereta ke Kahju, ke tempat alarm tsunami berbunyi.
 

Lantaran jalan besar macet, maka jalan-jalan kecil jadi alternatif. Berbeda dengan keadaan di jalan raya yang hiruk-pikuk dan panik, orang-orang yang rumahnya berada di sepanjang jalan ini tenang-tenang saja. Saya bahkan bertemu dengan seorang teman yang tengah asyik menyapu halaman rumahnya. Namanya, Devi Karmila.

“Tadi udah diumumkan di mesjid kalau tidak ada tsunami, dan alarm itu berbunyi karena kesalahan teknis, jadi ngapain lari,” kata Devi, seraya terus menyapu.

Semula ia hendak berangkat ke kampus, tapi kemudian dibatalkannya.


MATAHARI semakin tinggi. Di halaman masjid itu sudah ramai orang. Sejumlah wartawan mengerumuni Nazaruddin, sekretaris desa Kajhu.

Kantor desa, masjid dan tower tsunami berada di satu pekarangan.
 

“Sirine berbunyi sendiri, kurang lebih tiga puluh menit, waktu itu saya di kantor, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) waktu dihubungi tidak ada jawaban,” ujar Nazarudddin, sambil menunjuk tower.

Raungan sirine terdengar sampai ke Darussalam. Beberapa hari sebelum itu warga juga memperoleh pesan pendek melalui telepon seluler, yang menyebutkan bahwa gempa besar dan tsunami akan terjadi. Tak urung warga jadi panik. Begitu alarm berbunyi, banyak orang berlari, jatuh, bertabrakan atau ditabrak, dan terluka.

Mobil oranye milik tim Save and Rescue atau SAR tampak memasuki halaman masjid. Setelah itu mobil wakil walikota Banda Aceh, Iliza Sa’anuddin Jamal, yang datang.

Begitu turun dari mobilnya, Iliza langsung menemui Nazaruddin. Para wartawan yang hadir di situ segera mewawancarainya.

“Saya nggak yakin ada tsunami, karena tower yang lain nggak berbunyi, makanya saya berani ke sini,” ujar Iliza, tersenyum.

“Ketika masyarakat lari, panik, terjadi insiden di dalam masyarakat dan mudah-mudahan alat tersebut nggak membuat resah dan menimbulkan insiden baru. Dan mungkin hari ini peringatan Allah agar kita tidak diam saja,” katanya kepada wartawan.

Setelah Iliza dan rombongannya berlalu, tanpa sengaja mata saya tertuju pada seorang laki-laki bertubuh agak kurus dan berkulit coklat matang. Nama lelaki ini, Kariman. Ia asal Jawa Tengah.

Kariman baru tiga bulan di Aceh, bekerja sebagai kuli bangunan. Ia dan teman-temannya berada tak jauh dari masjid Baitussalam, Kajhu, saat sirine berbunyi.

“Saya dan kawan-kawan langsung melompat dari lantai dua, karena bos saya bilang kalau mendengar sirine itu harus segera menjauhi laut,” katanya.

“Saya berjalan dan mencoba memberhentikan mobil, tak ada satu pun yang mau berhenti. Satu jam saya duduk di simpang jalan, sedangkan kawan saya sudah nggak tahu ke mana,” lanjutnya, dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa yang kental.

Setelah peringatan palsu yang berasal dari tower Kajhu, di siang harinya warga Banda Aceh kembali dikejutkan oleh raung sirine dari tower tsunami yang berada di Ulee Lheue. Warga panik. Tetapi lagi-lagi, tak ada tsunami.

Belum puas dengan dua kali aksinya, sirine tsunami di tower di Lhok Nga meraung di sore hari. Lagi-lagi, tak ada tsunami. Warga benar-benar kesal dan marah. Sejumlah orang kemudian merusak tower Lhok Nga sebagai pelampiasan rasa frustasi mereka.

Siapa yang harus bertanggung jawab dalam tiga kasus ini? Bagaimana bila suatu hari raung sirine benar-benar menandakan tsunami dan warga menganggapnya lelucon? Hal mengerikan pasti terjadi.

[Khiththati] Tulisan Ini telah di publikasikan di AcehFeature.org

Sabtu, 28 Desember 2013

Kenduri Rakyat Aceh (Feature)

PANGGUNG utama Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) sudah dihias pada tanggal 8 Februari 2007 itu. Pelaminan pun sudah dipasang. Warnanya kombinasi merah dan kuning emas. Namun, pelaminan tak hanya satu. Ada tiga; yang paling besar di tengah dan dua yang kecil di kanan-kirinya. 

Pelaminan identik dengan pernikahan. Tapi tak ada pasangan kekasih yang akan menikah massal di sini. Kenduri untuk gubernur dan wakil gubernur Acehlah yang akan terjadi.
 

Di muka panggung sudah dibangun teratak untuk menampung warga. Barisan terdepan berisi sofa dan kursi empuk, sedang barisan belakang berisi kursi plastik. Tapi kursi-kursi itu belum semua tertata. Sampah pun berserak di bawahnya. Sehelai karpet merah membentang mulai dari belakang sampai ke panggung, membelah teratak jadi dua sisi.
 

Tiga televisi yang dipasang di tiga tempat telah menyala serentak. Siaran saat itu adalah Fun with English, yang ditayangkan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Namun, tak banyak yang menonton. Anak-anak asyik bermain telepon seluler. Seorang lelaki dewasa tiba-tiba menegur mereka, “ Nak, itu Rafly yang pakai baju hitam”, tapi anak-anak itu tidak peduli. Rafly adalah penyanyi terkenal Aceh. Ia membawakan lagu-lagu rakyat, menghidupkan kembali syair-syair lama Aceh yang nyaris dilupakan orang.
 

Tepat pukul 09.30, setelah acara Fun with English selesai, TVRI menayangkan siaran langsung pelantikan gubernur serta wakil gubernur dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Teratak yang tadinya sepi mendadak ramai orang.
 

Sebanyak 1.208 kursi telah disiapkan di dalam gedung DPRD dan 2.700 ditempatkan di luar gedung. Di layar televisi tampak Menteri Luar Negeri Muhammad Ma’ruf berjalan menuju tempat pelantikan, diikuti Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh.

“Nyan koen ka troek, hana meu khem sagai lago (itu dia sudah sampai, tidak ada senyum sedikitpun),” ujar seorang lelaki yang menonton. Irwandi memang tak senyum sama sekali.

Prosesi itu diawali pembacaan ayat suci Alquran oleh Teuku Alamsyah. Saat lagu Indonesia Raya berkumandang, seorang penonton di dekat saya berceloteh, “Nyan hai hana ji meulagu, meu abah hana ji buka. Peu hanjeut (itu dia tidak bernyanyi, mulut saja tidak dibuka. Apa tidak bisa)?”. Di televisi terlihat kamera sesekali menyorot Irwandi dan Nazar. Sejak konfik memanas di Aceh, sebagian warga ternyata lupa pada lirik lagu kebangsaan Indonesia itu, termasuk calon-calon pemimpin yang tengah dilantik.

Ketika pengambilan sumpah dilakukan dan serah terima jabatan ditandatangani, beberapa orang di kantor DPRD ada yang menangis. Tapi ada pula yang tidur. Ini menandakan seremoni sebentar lagi usai.

Kesibukan di PKA pun bertambah. Beberapa orang yang menonton televisi diminta pindah, karena menginjak karpet merah.

Sesaat kemudian, seorang lelaki datang. Ia berjalan dengan tongkat dan dibantu seseorang. Ketika ia hendak duduk, beberapa anggota panitia menghampirinya dan meminta lelaki tersebut duduk di sofa yang ditunjuk panitia. Rombongan lelaki itu menolak, tapi setelah mendapat penjelasan, mereka pun bersedia.

“Itu Raja Ubiet dari gunung Geurutee keturunan Poeteumeureuhom,” ujar Ulfa, teman saya. Gunung Geurutee merupakan salah satu basis pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Meuseue na Teungku Bantaqiah, pasti gop nyan nyang jak (kalau masih ada Teungku Bantaqiah, pasti beliau yang datang),” ujar anak muda di sampingnya. Bantaqiah ulama yang dihormati. Ia, putranya, dan puluhan santrinya dibunuh militer Indonesia ketika keadaan darurat militer diberlakukan di Aceh.
 

Saat pembacaan doa di kantor DPRD, panitia di PKA makin sibuk dengan kursi.
 

“Hai bek duek di sinan, nyan teumpat panglima sagoe (hai jangan duduk disitu, itu tempat untuk panglima wilayah),” ujar seorang pria berbaju hitam, berkaca mata hitam, dan di tanda pengenalnya tertulis “keamanan internal”.

Pukul 11.38, acara hiburan dimulai di panggung utama. Grup Seulawet Aneuk Nanggroe tampil. Sementara televisi menayangkan profil Irwandi dan Nazar.

Pukul 11.53, grup rapai geleng Aneuk Sanggar Seni Seulaweut Institut Agama Islam Negeri Ar-raniry muncul dan mendapat sambutan yang meriah. Saat mereka tampil, tamu dari kantor DPRD mulai berdatangan dan membuat para penonton merasa terganggu. Pasalnya, mereka itu menghalangi pemandangan penonton yang ingin menyaksikan rapai geleng. Orang-orang protes dan mengeluh panjang-pendek dalam bahasa Aceh.
 

Saya dan Ulfa duduk di samping anggota tim sukses Irwandi dan Nazar. Sesekali saya menyimak percakapan antar mereka.
 

“Hai, beuklam pat ka èh (hai, tadi malam kamu tidur di mana)?” tanya pria berbaju putih kepada temannya yang memakai baju hitam.

“Bak kanto SIRA, Peunayong (di kantor SIRA, Peunayong),” jawab yang disapa. SIRA kependekan dari Sentra Informasi Referendum Aceh. Organisasi ini turut menggerakkan hampir sejuta orang untuk menuntut referendum bagi Aceh di tahun 1999. Nazar, sang wakil gubernur, adalah orang SIRA.

“Hai ka kaloen dilee ibu Masyitah nyan (hai coba lihat ibu Masyitah itu),” kata pria baju putih.

“Pakoen (kenapa)?” balas temannya.

“Baroe jeeh wate dijok peng si miliar, yue bloe seunjata, ôh lheuhnyan geu peuplueng peng nyan u Jakarta. Ta tuntut entreuk (dulu waktu diberi uang satu milyar, disuruh beli senjata, setelah itu uangnya dibawa kabur ke Jakarta. Kita tuntut nanti),” tukas pria baju putih itu dan disambut kor tawa teman-temannya.

Mereka terus merokok, sesekali sengaja mengembuskan asap rokoknya kepada kami dan bahkan, menawari kami rokok.

Setelah penampilan Aneuk Sanggar Seni, giliran Rafly yang tampil. Ia berbaju hitam, agak kusut, dan menyandang gitar di bahu.
 

“Rafly, Rafly, Rafly!” sorak penonton.

Rafly mulai menyanyi, sambil sesekali mengajak penonton ikut menyanyi. Setelah menyanyi beberapa lagu, ia kemudian berkata dalam bahasa Aceh, “Dulu pemimpin menampakkan diri seperti ulama, padahal dia semua pencuri, sekarang pemimpin dipilih oleh rakyat dan Irwandi-Nazar sekarang menjadi pilihan hati rakyat.”
 

Pidato kecil ini disambut tepuk meriah.

“Peu? Rafly meulagu lom (apa? Rafly menyanyi lagi)?” tanya Rafly.

“Lom, lom (lagi, lagi),” jawab penonton.

“Peu panitia mantoeng na wate? Loen han èk cocok wate gop (panitia apa masih ada waktu? Saya tidak mau ambil waktu orang),” ujar Rafly.

Saat Rafly menyanyi, semua penonton menoleh ke belakang sampai beberapa kali. Perhatian mereka terbelah, antara mendengar Rafly menyanyi dan takut kehilangan momen kedatangan Irwandi-Nazar.

“Hai ka kaloen keunoe, hana troek lom (hai lihat kemari, belum sampai lagi),” ujar Rafly. Ia paham pikiran penontonnya.

Para penonton kembali melihat ke arah Rafly.

“Hana arti awaknyan meuseu hana tanyoe, beutoi (tidak ada arti mereka kalau tidak ada kita, benar),” katanya.
 

“Beutoi, beutoi (benar, benar)!” seru penonton.
 

“Teuma peu nyang kahebat that (jadi apa yang harus dibanggakan),” ujar Rafly, kemudian bernyanyi lagi.
 

Ia membawakan beberapa lagu, seperti Seulanga, Meukondroe, Adam, dan Perahu. Ada yang diiringi musik latar, ada juga yang diiringi petikan gitarnya sendiri. Menjelang shalat dzuhur, Rafly menutup penampilannya dengan tembang Si Bijeh Mata.

Saat azan berkumandang, seluruh aktifitas di panggung utama dihentikan. Saya dan Ulfa bergegas mencari kamar mandi untuk wudhu’ (mengambil air sembahyang). Tapi tidak ada satu pun kamar mandi yang bersih. Semua bau pesing. Air tak ada. Kakus atau kamar mandi umum di Aceh sama saja dengan banyak tempat lain di Indonesia, kotor dan bau! Adat dan keyakinan boleh beda, tapi sifat pengotor ternyata sama.

Akhirnya kami bertekad mencari air dan shalat di luar PKA. Saat kami kembali, seorang anggota keamanan eksternal menyapa.

“Hai cewek, kalheuh pajoh bu (hai cewek, sudah makan nasi)?” Ia berjalan di samping kami.
 

“Goh lom (belum),” jawab saya.

Pria itu langsung menelepon.
 

“Hai peu siapkan bu lhe boh, na dua cewek lon hana dipajoh bu (hai siapkan nasi tiga bungkus, ada dua cewek saya yang belum makan),” katanya di telepon.

“Ikot lon mantoeng (ikut saya saja),” ujar pria itu kepada kami. Belakangan saya tahu namanya Prity tapi sering dipanggil Jul oleh temannya. Bukan nama asli, hanya panggilan. Dia bekas gerilyawan GAM dari Bireun. Selain memberi kami nasi, ia juga memberi kami kalender bergambar Irwandi dan Nazar.

“Pa joh ju nyan, sie masak Aceh, mangat that (makan terus ya, daging masak Aceh, enak sekali),” ujarnya, seraya berlalu.

Kantong yang diberikan Bang Prity berisi sebungkus nasi dan gulai sapi, sendok plastik dan air mineral. Rasa gulai sapi memang enak. Sekitar 30 ekor sapi disembelih untuk perhelatan ini. Selagi kami makan, tari saman Gayo dipertunjukkan di panggung dan dilanjutkan rapai dabus dari Aceh Besar.
 

Hari itu banyak orang yang benar-benar ingin menyaksikan acara di panggung utama, tetapi banyak juga yang datang untuk mengambil makanan saja.
 



SEKITAR pukul 14.20, rombongan Irwandi dan Nazar sampai ke arena panggung utama PKA dan disambut tarian ranup lampuan. Saat rombongan turun dari mobil, keadaan jadi ramai dan terjadi aksi dorong-mendorong, karena beberapa orang berusaha memotret mereka. Mobil yang mereka tumpangi diparkir tepat di atas tikar yang telah disiapkan untuk para penari! Salah tempat.

Istri Irwandi mengenakan baju kurung coklat, songket merah jambu, dan sandal coklat. Sedangkan Irwandi memakai baju adat Aceh warna hitam, songket yang senada dengan istrinya serta memakai kacamata hitam dan ia tersenyum melihat orang menari.
 

Di samping istri Irwandi, ada Nazar yang berpakaian seperti Irwandi dan istrinya yang memakai baju biru, sandal biru, dan juga terus tersenyum.
 

Nazar sesekali memperhatikan telepon selulernya. Seorang penari menawarkan ranup (dalam Bahasa Indonesia disebut sirih) kepada rombongan Irwandi dan Nazar berserta istri, lalu ranup yang telah diambil diganti dengan uang seratusan ribu. Setelah tarian selesai, rombongan bergegas berjalan di atas karpet merah sambil diiringi selawat dari atas panggung dan dengan penjagaan ketat.
 

Irwandi berserta isteri berjalan di depan. Mereka kemudian duduk di sofa yang paling depan dan langsung dikelilingi wartawan.

“Ou panas!” kata seorang penari.
 

“Pasti besok udah kembung air,” ujar temannya.

Betapa tidak, mereka harus menari dengan kaki telanjang di tanah, bukan tikar, di saat matahari sedang panas-panasnya. Bahkan ada beberapa penari yang terinjak batu tajam saat menari dan ada pula yang terinjak puntung rokok yang masih menyala.
 

“Berapa duit yang dikasih tadi,” tanya saya kepada salah seorang penari.

“Lumayan, kayaknya lebih dari 500 ribu,” sahutnya.
 

Dari panggung terdengar pengumuman bahwa Malik Mahmud, perdana menteri GAM, akan segera datang.
 

Suasana hening saat sebuah mobil berhenti di ujung karpet merah. Itu mobil dinas gubernur.

Seorang pria turun dari mobil, membawa sebuah map, berkacamata hitam dan ada setangkai bunga di kantong bajunya. Ia bukan tamu yang ditunggu.
 

“Leu that gaya lagoe (banyak sekali gaya),” ujar seseorang yang berdiri di dekat karpet merah, mengomentari lagak pria itu.

Beberapa sindiran terdengar, tapi pria tersebut tak menanggapi. Setelah menyapa seorang kenalan, ia langsung menuju panggung utama.
 

Pada pukul 14.58, Malik Mahmud tiba di panggung utama. Ia turun dari mobil hitam berplat nomor BK 200 SD dan langsung disambut blitz kamera. Di kaca mobilnya terpasang stiker “Undangan VVIP”.
 

Saat Malik hendak melangkah, ada suara yang mengatakan, “preh dilee” (tunggu dulu), Malik Mahmud pun berhenti. Tidak lama kemudian, muncul Muhammad Usman Lampoeh Awe. Ia berjalan di samping Malik, bersama-sama menuju panggung. Lampoh Awe adalah pejuang GAM angkatan pertama.
 

Saat semua mata mengarah ke panggung, dari mobil Malik turun seorang pria. Penampilannya biasa saja dan berjalan sambil merokok. Ia sopir Malik. Dulu gerilyawan GAM. Namanya, Rahman.
 

“Pak Malik udah lama di sini?” tanya saya.

“Ada kurang lebih tiga bulan,” ujarnya, terus merokok.

Setelah pembacaan ayat suci Alquran selesai, acara dilanjutkan dengan pembacaan Hikayat Prang Sabi. Penonton yang semula gaduh jadi sepi ketika hikayat itu dinyanyikan.

Subhanallah Wahdahu Wabihamdihi
Khaliqul Badri Wallaili ‘Aza Waajalla
Uloen peujoe po, sidroe po syukur keu Rabbi ya ‘aini (saya memuji Allah tuhan yang satu. Syukurku untuk-Nya ya ‘aini).
Keukamoe neubrie beusuci Aceh mulia (untuk kami semoga diberikan kesucian Aceh mulia).
Tajak prang meusoh beuruntoh dum sitree Nabi (mari kita perangi musuh sampai hancur semua musuh Nabi).
Yang meu ungki keu Rabbi keu poe nyang Esa (yang mengingkari Rabbi tuhan yang Esa).

Soe han tem prang cit malang (siapa yang tidak mau berperang dia akan celaka)
ceulaka teuboh, rugoe roh (celaka tubuh, rugi roh)
syuruga tan rhoh dudo rhoh (tidak masuk syurga, kemudian masuk)
dalam neuraka …(ke dalam neraka).

Banyak penonton ikut bersenandung. Bahkan ada yang mengatakan “koen mangat that diubah” (enak saja mereka ubah). Saat konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM masih berlangsung, kata “mulia” dalam hikayat tersebut diubah jadi “merdeka”.
 

Hikayat Prang Sabi adalah karya sastra yang menggambarkan tentang mulianya orang yang berjihad. Hikayat ini berhasil membangkitkan semangat orang Aceh dalam melawan penjajah kolonial Belanda lebih dari 50 tahun. Ia ditulis sastrawan sekaligus ulama Aceh, Teungku Chiek Pantee Kulu. Pemerintah kolonial melarang hikayat ini dinyanyikan. Mereka melihat ada semangat juang yang sangat besar dalam diri rakyat Aceh ketika menyanyikan hikayat tadi.
 

Di masa konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM, Hikayat Prang Sabi juga dilarang diperdengarkan. Barang siapa yang melanggar, nyawa taruhannya.
 

Setelah Hikayat Prang Sabi, lagu Sion Bendera (Selembar Bendera) siap-siap dikumandangkan.
 

“Lagu Sion Bendera, lagu Bangsa Aceh, hadirin mohon berdiri,” ujar protokol.

Sion bendera dalam nanggroe (selembar bendera di dalam negeri).
Di ek tip uro angen peudoda (berkibar di sepanjang hari dengan tiupan angin).
Bintang buleun pusaka nanggroe (bintang bulan pusaka negeri).
Neusah keu bumoe Aceh mulia (resmilah bumi Aceh mulia).
Ija mirah meugareh binéh (kain merah bergaris tepi)
Nam krek gareh lam bendera (enam garis di dalam bendera)

Saat Sarjani bin Abdul Samad menyanyikan lagu ini, keadaan jadi sangat hening. Lagu sendu, lirih, membuat yang mendengarnya terhanyut. Ada yang sedih dan menangis. Kebanyakan orang yang hadir mengenakan pin bergambar bendera GAM.
 

Ketika mata saya menatap Pak Rahman, beliau mengisap rokoknya dalam-dalam. Matanya yang berkaca-kaca menerawang jauh.
 

Saat memalingkan pandangan ke samping, saya melihat Ulfa mengusap air matanya.
 

“Dulu banyak temanku yang ditangkap karena menyanyikan lagu ini. Dan selebaran yang ada lagunya banyak dibagi. Aku dulu juga punya,” kata Ulfa.

Lagu itu tercipta setelah pertempuran hebat antara pihak GAM dan militer Indonesia di Paya Bakong, Aceh Utara. Sion Bendera diciptakan sendiri oleh Sarjani atau lebih dikenal dengan sebutan Teungku Joel. Kulitnya putih, masih muda, dan hanya sempat menamatkan sekolah menengah pertama. Ia asal Indrapura, Aceh Utara.

Setelah Sion Bendera dinyanyikan, giliran Sofyan Dawood memberikan kata-kata sambutan, sebagai ketua tim sukses Irwandi Nazar. Hari itu ia memakai kemeja biru dan celana coklat.

“Keu tim sukses yang kaleuh beukerja tan dibayeu ngon tem theun duek (untuk tim sukses yang sudah bekerja tanpa dibayar dan mau menahan lapar),” ujar Sofyan Daud dan mendapat tepuk tangan meriah dari penonton.

“Beutoinyan (betul itu),” sahut beberapa penonton.

Pada pukul 15.30, Irwandi dan Nazar berdiri berdampingan di panggung. Waled Tanoh Mirah kemudian memakaikan kopiah meketup kepada Irwandi dan Nazar, serta memberikan naskah Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau populer disebut RUU PA versi rakyat Aceh kepada keduanya.

“Hai yak com-com mieng, kalage bak seunetron mantoeng (hai pakek cium pipi segala, macam di sinetron saja),” ujar seorang bapak dari kursi penonton.

Acara dilanjutkan dengan peusijuek (memercikkan air dengan daun-daunan) untuk gubernur dan wakil gubernur yang dilakukan bergantian oleh Malik Mahmud, Tengku Usman Lampoh Awe, Waled Tanaoh Mirah, 16 panglima sagoe dan Teungku Usaman Hanafiah serta perwakilan dari masyarakat internasional. Peusijuek semacam ritual adat untuk memohon keselamatan.

Di tengah prosesi peusijuek, saya melihat Tengku Firmansyah keluar dari kerumunan wartawan di depan panggung. Ia artis sinetron Indonesia yang cukup terkenal.
 

Ketika Tengku Firmansyah hendak beranjak pergi, banyak orang yang minta difoto bersamanya. Tentu saja, saya dan Ulfa tidak mau ketinggalan. Hari itu Tengku Firmansyah tampak ganteng dengan pakaian serba hitam. Sambil meminta tanda tangan, iseng saya bertanya soal kehadirannya.
 

“Ngapain ke sini, Mas?” tanya saya.

“Mau lihat proses demokrasi yang sudah berlangsung dengan baik di Aceh,” jawabnya, tersenyum.

“Mbak Cindy nggak diajak?” tanya saya, menyebut nama sang istri yang juga bintang sinetron dan penyanyi.

“Nggak, Cindy di rumah, (saya) ke sini sendiri,” katanya sambil melihat ke bawah, karena sudah menjatuhkan pulpen saya.

“Maaf ya, udah dulu.” Ia pergi, sambil melambaikan tangan.

Setelah Tengku Firmansyah pergi, seorang lelaki yang berada di kursi samping berkata, “Na ka kaloen urung Aceh, teuwoe keu peumimpin droe bak dikaloen artis (kalian lihat orang Aceh, lupa kepada pemimpin sendiri kalau melihat artis).” Tetapi orang-orang yang minta foto bersama tadi tidak hirau pada kata-katanya, termasuk kami.

Setelah gubernur dan wakilnya di-peusijuek, giliran bupati dan wakil bupati terpilih yang di-peusijuek.

“Nyang toeh wakil bupati geutanyoe (yang mana wakil bupati kita)?” tanya seorang pria berbaju batik.

“Yang nyan hai (yang itu),” jawab temannya, seraya menunjuk ke arah panggung.

“Oh yang nyan, itam lagoe (oh yang itu, hitam ya),” balasnya, disambut tawa beberapa orang di sekelilingnya.

Setelah gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati berfoto bersama, acara dilanjutkan dengan “haba petuah” dari Malik Mahmud.

“Keu awak droeneuh bandum na saleum dari ureung tuha geutanyoe Hasan Tiro, mudah-mudahan jeut geuwoe dalam pandum uroenyoe (untuk anda semua, ada salam dari orang tua kita Hasan Tiro, mudah-mudahan beliau bisa pulang dalam beberapa hari ini),” ujarnya dalam pidato.

Para penonton bertepuk tangan, bahkan ada seorang ibu yang berteriak, “I love you, Hasan Tiro!”

“Nyoe keuh keuleubehan bangsa geutanyoe Aceh, pa kiban hudep bak masa damai, pa kiban hudep bak masa konflik, pa kiban hudep bak masa musibah rayeuk, nyan yang peuget bangsa laen kagom keu geutanyoe (inilah kelebihan bangsa kita Aceh, bagaimana cara kita hidup pada masa damai, bagaimana cara kita hidup pada masa konflik, bagaimana cara kita hidup pada masa musibah besar, itu yang membuat bangsa lain kagum kepada kita),” lanjutnya, disambut tepuk tangan meriah penonton.
 

“Beutoi nyan, beutoi nyan ( benar itu, benar itu),” teriak beberapa orang.

“Hudep beu sare, mate beu sajan, beu sikrak kafan, saboh keureunda (hidup kita sama rata, mati bersama, satu kain kafan satu keranda),” katanya mengutip pepatah aceh, sebelum mengucapkan salam tanda pidato berakhir.

Setelah Malik Mahmud, Irwandi juga berpidato.

“Seubeutoi jih konsep nyoe lon peusiapkan keupidato bak kanto DPRD, tapi rupa jih hana agenda pidato gebernur baro, kakeuh pidato di sinoe mantoeng, memangnyoe ka raseuki awak droeneuh bandum (sebenarnya konsep ini saya persiapkan untuk pidato di kantor DPRD, tetapi karena tidak ada agenda pidato bagi gubernur baru, ya sudah saya berpidato di sini saja, memang ini rejeki anda semua),” katanya.
 

“Nyoe kupiah payah peurayeuk, atawa rayeuk keudroe euntreuk ban ka trep-trep (ini kupiah harus diperbesar, atau nanti lama-kelamaan besar sendiri),” ujar Irwandi, membuat perumpamaan terhadap pemerintahannya.
 

“Nyoe keuh hayeu jih di Aceh, hana yang taloe tapi dua-dua meunang dalam prang (inilah hebatnya di Aceh, tidak ada yang kalah tapi kedua belah pihak sama-sama menang dalam perang),” ujarnya lagi.
 

Pidato Irwandi hari itu membuat para penonton banyak tertawa dan bertepuk tangan. Di tengah pidato, songket Irwandi terlepas di bagian depan. Ia tak peduli dan terus bicara. Irwandi cukup lama berpidato, sampai-sampai ajudannya berbisik kepadanya. Tidak lama kemudian pidatonya selesai.
 

Setelah Irwandi, giliran Nazar berpidato.

“Lon cuma peugah haba bacut, bandum bahan ka jisawiet le Irwandi (saya hanya ingin berbicara sedikit, semuanya sudah disampaikan oleh Irwandi),” ujar Nazar tersenyum. Kalau pidato Irwandi banyak menyinggung kisah masa lalu, maka pidato Nazar lebih menekankan kepada program kerja.
 

Pemerataan pendidikan sepertinya menjadi agenda pokok. Nazar tampil berpidato tanpa teks.
 

Hari itu semua orang bicara dalam bahasa Aceh.
 

Setelah Nazar selesai berpidato, Waled Tanoeh Mirah memberikan sedikit petuah dan membacakan doa sebagai tanda acara berakhir. Setelah itu, bagi warga yang ingin bersalaman ataupun melihat secara dekat pemimpin baru mereka, dipersilahkan untuk naik panggung.

Namun, ada juga orang yang tidak naik panggung. Bahkan menunggu rombongan di ujung karpet merah. Seorang pengemis yang kedua kakinya tidak berfungsi itu, misalnya. Ia berjalan dengan menggeser pantatnya. Selain dia, ada beberapa pengemis yang hadir di acara ini.

Pada pukul 17.15 Teungku Usman Lampoeh Awe meninggalkan panggung. Dia masih tampak seperti saat datang, dengan kacamata hitam yang tak dilepas-lepas.
 

Pengemis tadi langsung berjalan “ngesot” dan bersalaman dengan Usman Lampoeh Awe. Setelah Usman bergegas ke mobil, selanjutnya Malik Mahmud lewat dengan penjagaan. Pengemis itu melakukan hal yang sama.
 

Setelah Malik, rombongan Irwandi dan isteri, beserta isteri Nazar, lewat dengan penjagaan ketat. Tidak seorang pun bisa bersalaman. Tetapi pengemis itu tidak putus asa. Ia langsung menghadang di depan rombongan. Rombongan pun berhenti. Para pengawal membuka jalan agar pengemis itu bisa bersalaman dengan Irwandi dan rombongannya. Setelah pengemis bergeser, rombongan melangkah ke mobil. Tidak lama kemudian, Nazar juga lewat dengan penjagaan dan lagi-lagi, pengemis itu melakukan hal serupa. Nazar terlihat berbisik kepada ajudannya, kemudian mengeluarkan uang sebelum bergegas pergi. Setelah Nazar pergi, si pengemis tampak senang. Namun, ia kesusahan memasukkan uang itu ke sakunya karena tangannya juga cacat. Seorang laki-laki datang dan membantu pengemis memasukkan uangnya ke saku.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Banyak orang mulai beranjak pulang. Acara hari itu tidak hanya banyak meninggalkan kesan, tetapi juga meninggalkan serakan sampah di arena PKA.*


[Khiththati] Tulisan Ini telah dimuat pada Web AcehFeature.org