RIDWAN Aswad
membaca cuplikan buku tentang Aceh yang ditulis sejarawan kolonial, H.C.
Zantgraaff, “Tiba-tiba sang ulee balang mencabut rencongnya lalu menikam ke
perut Scheepens. Sejenak keadaan menjadi panik.” Ulee balang adalah sebutan
untuk kaum bangsawan Aceh.
Rencong
digunakan dalam perang Aceh, perang bangsa Aceh melawan Portugis.
“Rencong
dibuat dengan gagang berbentuk huruf ba (salah satu aksara Arab) agar tidak
licin setelah menusuk musuh,” ujar Ridwan, sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA).
“Tapi kapan
awalnya rencong mulai dibuat dan di mana, tidak ada yang tahu,” lanjutnya.
Reuncong
atau rencong adalah senjata tradisional Aceh. Meski tidak ditemukan dalam
catatan sejarah, asal-usul rencong terekam dalam legenda Aceh.
“Dulu ada
burung yang namanya geureda yang suka memangsa ternak warga. Karena ternaknya
banyak yang mati, para penduduk meminta pendapat tengku-tengku (alim ulama).
Oleh tengku mereka diminta shalat, maka jawaban dari shalat tadi adalah
masyarakat harus membuat rencong untuk mengusir burung geureuda,” tutur Ridwan.
Oleh raja yang berkuasa ketika itu, menyuruh seorang pandai besi yang juga ulama untuk menciptakan sebuah senjata ampuh yang mampu membunuh Geureuda tersebut. Oleh pandai besi yang mempunyai ilmu maqfirat besi, setelah melakukan puasa, sembahyang sunat dan berdoa baru menempa besi pilihan dengan campuran beberapa unsur logam menjadi Rencong.
Menyebut senjata Rakyat Aceh, selain meriam dan senjata api, yang paling terkenal adalah Rencong. Bahkan, salah satu gelar tanah Aceh disebut juga sebagai “Tanah Rencong”. Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong Aceh memiliki bentuk seperti huruf [ L ] atau lebih tepat seperti tulisan kaligrafi " Bismillah ". Rencong termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau atau pedang).
Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.
Menurut
sejarahnya, rencong memiliki tingkatan. Pertama, rencong yang digunakan oleh
raja atau sultan. Rencong ini biasanya terbuat dari gading (sarung) dan emas
murni (bagian belatinya). Kedua, rencong-rencong yang sarungnya biasa terbuat
dari tanduk kerbau atau kayu, sedangkan belatinya dari kuningan atau besi
putih.
Marzuki,
Acik, dan Muksin juga tidak tahu kapan pertama kali rencong dibuat dan untuk
tujuan apa. Padahal ketiga pengrajin ini mewarisi ilmu membuat rencong secara
turun-temurun.
“Sembilan
puluh persen masyarakat di desa ini membuat rencong,” ujar Marzuki. Ia adalah warga
Baet, Sibreh.
Ketika saya
memasuki desa ini, tampak jalan aspal yang telah mengelupas, dengan hamparan
sawah hijau di kanan-kirinya. Rumah penduduk terbuat dari kayu atau bata. Ada
juga yang masih gubuk. Saya melihat sebuah pamflet bertulis “Sentra Kerajinan
Rencong Aceh Pusat Baet”.
“Dulu kami
bekerja dalam gubuk beratap rumbia,” ujar Muzakir, seraya tersenyum.
Setelah
tsunami, Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh-Nias (BRR) memberi bantuan
pendirian sejumlah bangunan permanen untuk para pengrajin di daerah ini.
Ada tiga
desa yang dibantu BRR, yaitu Baet Mesjid, Baet Lampuot dan Baet Meusango. Semua
bangunan berjumlah 42. Uang bantuan yang diberikan BRR sebesar Rp 32 juta
dengan rincian untuk bangunan dan alat usaha.
Tempat
Muhammad Acik bekerja tidak jauh dari Marzuki. Bangunan tanpa pintu itu bercat
hijau muda, berada di samping rumahnya. Ia bekerja bersama lima rekannya. Ia
belajar membuat rencong dari ayahnya.
Acik lulusan
Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh, pada 1988.
Tapi ia lebih memilih membuat rencong ketimbang mencari kerja dengan
mengandalkan ijazah sarjananya.
“Sekarang
bahannya agak mahal. Kalau dulu tanduk murah, kalau sekarang yang hitam Rp 30
ribu sepasang,” tutur
Acik.
“Miseu lungke kebeu jagat lebeh mehai lom, seretoh limong ploh saboh pasang (kalau tanduk kerbau putih lebih mahal lagi, seratus lima puluh sepasang),” lanjutnya.
Mata rencong
terbuat dari besi atau kuningan. Seperti halnya keris Jawa, rencong berujung
lancip. Tanduk, kayu, gading atau emas untuk gagangnya. Sarung rencong juga dari
tanduk kerbau dan gading, atau kayu pilihan seperti batang kapula, nangka,
kemuning dan batang asam.
Marzuki
biasa membeli tanduk kerbau di rumah potong hewan atau yang didatangkan dari
Meulaboh, Aceh Barat. Kayu batang kemuning didapatnya di gunung atau di
kuburan. Kuningan dibelinya kiloan. Tapi tak semua tanduk dapat dibuat gagang
atau sarung rencong. Tanduk sapi dan kambing cepat retak. Tanduk rusa tak
masalah. Satu tanduk kerbau bisa untuk tiga rencong. Gagang atau sarung gading
gajah jarang dipesan orang. Selain mahal, susah dicari.
Marzuki dan
Acik punya pengalaman menarik di masa konflik pemerintah Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Mereka memperoleh kuningan dari selongsong peluru bekas
perang tentara Indonesia atau gerilyawan GAM.
“Waktu itu
ada selosong yang dijual per kilo,” kata Acik, terkekeh. Ia mulai membuat rencong di
usia 12 tahun.
Tak jauh
dari Acik dan Marzuki terlihat Muksin sedang menggosok-gosok siwah. Seperti
halnya rencong, siwah senjata tradisional yang sering dipakai para raja,
panglima perang, dan pejuang Aceh di masa lalu. Bagi orang Aceh, rencong sudah
jadi bagian adat dan budaya, bahkan dianggap senjata pusaka.
Sejak usia
10 tahun, Muksin sudah bekerja mengilapkan senjata-senjata tajam ini.
“Saya senang
kerja seperti ini. Walaupun penghasilannya tidak banyak, tapi saya sudah ikut
menjaga tradisi dan adat daerah saya,” ujar Muksin yang sekarang sudah berumur 22 tahun.
Muge atau
pedagang membeli rencong dari desa Baet untuk dijual di toko cinderamata. Harga
rencong ukuran kecil yang mereka beli dari pengrajin dengan harga Rp 11 ribu
akan jadi Rp 20 ribu. Rencong besar yang tadinya seharga Rp 82 ribu akan naik
jadi Rp 150 ribu di toko. Motif rencong juga menentukan harga. Rencong dari
kuningan lebih mahal dari rencong besi. Namun, omset penjualan rencong menurun
sejak lembaga-lembaga bantuan asing meninggalkan Aceh.
“Saat habis
tsunami banyak bule-bule (orang asing) yang datang kemari. Tapi kalau sekarang
sudah kurang,” ujar Muksin, sambil membetulkan letak duduknya. “Kalau mereka
yang beli, bisa dihargai sedikit mahal,” tambahnya.
Gelembung
ekonomi dan bisnis di masa awal pascatsunami dan pascakonflik kini terus
mengempis. Pengangguran di Aceh meningkat, karena program rekonstruksi dan
rehabilitasi telah selesai. Pengunjung rumah-rumah makan tidak sebanyak dulu.
Tamu-tamu hotel menyusut. Situasi ini harus segera digantikan dengan
peningkatan ekonomi yang bersandar pada potensi Aceh sendiri, seperti wisata,
budaya, dan mineral. Namun, penerapan syariah Islam yang mendatangkan berbagai
masalah baru dalam kehidupan orang Aceh justru membuat was was para pemodal
yang hendak membuka bisnis mereka.
Di Pasar
Atjeh, dua kakak beradik Ahmad dan Usman Arif juga mencari nafkah dengan
berjualan rencong. Mereka tidak menjual rencong buatan pengrajin Baet,
melainkan rencong tua.
Rencong-rencong
itu mereka beli dari warga. “Saya mendapatkanya dari Pribu, Aceh Barat sebelum
konflik (antara pemerintah Indonesia dan GAM) dulu, sebelum tahun 1989,” ujar
Usman. Selain itu, ia juga memperoleh rencong tua dari Lhong, Lamno dan Aceh
Selatan.
Pembeli
rencong kakak-beradik ini rata-rata kolektor. Harga sebilah rencong kecil antik
berkisar Rp 250 ribu sampai Rp 350 ribu. Ukiran pada rencong itu macam-macam
motif, ada yang berupa kalimat “bismillah” atau ayat dalam Alquran seperti Al
Ikhlas.
Ahmad dan
Usman menggelar dagangan mereka di emperan toko, disusun di atas meja kecil.
Dulu mereka pernah punya toko sendiri. Ketika tsunami melanda Aceh, ada orang
mengambil kesempatan ini untuk membongkar toko mereka dan membawa lari semua
barang di dalamnya. Mereka juga menjual siwah dan berbagai jenis barang antik,
selain rencong.
“Ini
dinamakan siwah, karena di gagangnya ada pahatan kepala burung siwah dan di
sarungnya ada ukiran bulunya. Siwah ini adalah nama burung yang sangat ditakuti
oleh burung lain, makanya ini sering dipakai oleh raja Aceh dulu,” kata Ahmad, sambil memegang
siwah.
Di meja
mereka ada pedang bergagang kepala rajawali, peninggalan Belanda, pedang
Istanbul yang berukir kaligrafi, pedang Cina, samurai Jepang berangka tahun
1718 dan 1024, madam berukir dan pistol kemurah dari Kerajaan Aceh, keris Jawa
dan Melayu. Benda-benda itu sebagian sudah berkarat.
Menjual
barang antik dan langka bisa terjerat pasal hukum pidana. Benda-benda itu
termasuk artefak budaya yang dilindungi negara.
“Kami semua
perlu makan. Anak saya dan istri saya juga begitu,” jawab Usman, memberi alasan atas
tindakannya.
[Khiththati] Tulisan ini telah di Publikasikan di AcehFeature.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar