Minggu, 29 Desember 2013

Ie Bu Beudah (Feature)

“Kalau mau ke Arun, ikut aja jalan lurus nanti belok kiri, meunasah jih na bak teungoh gampong (meunasahnya ada di tengah kampong)” ujar seorang laki-laki tua yang sedang duduk santai dengan temannya di jambo kecil dekat sawah.

Mengikuti jalan lurus dari Cot Keung hingga bertemu dengan jalan aspal yang sudah mulai mengelupas, tak lama kemudian belok kanan sampailah di desa Arun. Di Arun jalannya tak beraspal. Disisi kanan kiri lorong hanya ada jalan yang dari semen yang dicetak sedangkan ditengahnya dibiarkan kosong.  Namun Menjelang berbuka puasa jalan kecil di desa ini menjadi ramai.

“ Tum, tum, tum” bunyi beude tring dibunyikan anak-anak tak jauh dari jalan masuk desa. Beude tring adalah mainan yang sering dibuat anak anak kecil pada saat ramadhan dan hari raya. Mainan ini terbuat dari potongan batang bambo yang di lobangi sedikit diatasnya. Cara bermainnya adalah dengan meniup bambu kemudian  memasukkan api kedalam lobang diatasanya.

Tak jauh diri situ terdapat sebuah bangunan kecil yang tidak begitu terurus didekat kebun sayur.  Mempunyai tangga yang terbuat dari semen sedangkan lantai  nya terbuat dari potongan bambo yang sudah menghitam dengan dialasi beberapa tikar yang mulai melapuk diatasnya. Disana ada tiga orang laki-laki sedang istirahat sambil menunggu ie bu beudah siap dimasak. Didepanya ada tempat ber wudhu’ sederhana. Itulah meunasah desa arun. Meunasah panggung itu mempunyai tujuh jendela.

“Mulai dipeuget biasa jih poh setengeh peut, entek poh limong liwat kajeut tacok, nyak watee buka puasa manteng seu um (mulai dibuat biasanya jam setengah empat, nanti  jam lima lewat sudah bisa diambil, agar nanti waktu buka puasa masih panas)” ujar Muhammad yunus sambil memperbaiki posisi duduknya.
Ie bu beudah adalah minuman berbuka puasa yang di maksud Yunus. Di meunasah arun setiap bulan puasa selalu menyediakan ie bu beudah. Menurut yunus memasaknya sudah dilakukan turun temurun.

“Nek lon peugah watee gob nyan ubit kana ureng mangun nyan bak meunasah watee bulen puasa (kata nenek saya ketika beliau masih kecil sudah ada orang yang memasak itu  di meunasah saat bulan puasa)” kata Yunus lagi yang sekarang umur nya lebih dari 65 tahun.

Ie bu beudah adalah minuman yang terbuat dari campuran empat puluh empat macam daun. Campuran didalamnya adalah kunyit, lada, beras dan kelapa.

“Namun jika ada kemudahan atau sedekah nanti ditambah kacang tanah, kacang hijau, ubi dan ketela” kata Baihaqi.

Mula- mula daun yang telah dikumpulkan di jemur sampai rapuh lalu ditumbuk sampai halus pakai  jingkhi  oleh masyarakat desa. Jingkhi adalah alat penumbuk tradisional yang bisa digunakan untuk menumbuk padi atau beras hingga menjadi tepung.

Setelah semua daun selesai  ditumbuk diaduk lada dan kunyit yang juga telah di haluskan. Namun kunyitnya tidak dijemur. Lalu semua bahan yang telah siap di berikan kepada orang yang ditunjuk untuk memasak lalu kemudian di jemur lagi.

“Karena di buat oleh orang ramai semua nya harus kerja sama” ujar Baihaqi. Menurut baihaqi yang memasak nanti akan dibayar sesuai kesepakatan warga dengan hasil zakat. Untuk beras yang di gunakan dalam ie bu beudah akan diambil padi hasil sawah wakaf.

“Jadi semuanya dapat mamfaat dari kegiatan ini” tambah Baihaqi lagi.

Desa Arun tidak pernah berhenti memasak ie bu beudah selama ramadhan walaupun desa ini pernah menjadi daerah garis merah saat konflik dulu. “misei bulen puasa hana pre, watee konflik kamo na syit meu tagun alhamdullilah hana peu peu (kalau bulan puasa tidak pernah libur, waktu konflik kami juga da memasak alhamdullilah tidak apa-apa)” cerita Muhammad Yunus.

Sama halnya saat menumbuk daun yang menjadi tugas bersama. Begitu juga dengan mencari daunnya. Satu bulan sebelum bulan ramadhan, keuchik akan mengumumkan dimeunasah kapan hari memetik daun.
“keuchik akan bilang ketika sudah waktunya mencari daun daunnan, jadi siapa yang mau ikut berkumpul di meunasah tapi ini merupakan tugas laki-laki karena nanti perempuan yang akan  menumbuk” kata Muhammad Ali.

Menurut Muhammad Ali  biasanya selain mencari daun mereka juga akan meuramin sehingga orang yang ikut bisa mencapai dua mobil pic up seperti orang pergi gotong royong dikampung.  Meuramin adalah makan bersama.  Biasanya setiap orang membawa serta nasi bersamanya dan kalau ada kemudahan bisa potong ayam atau bebek. Yang pergi mencari daun ke bukit-bukit adalah tiga generasi yang berbeda yang pertama adalah orang tua yang sudah mengenal daun-daun yang akan digunakan kedua adalah pemuda dan ketiga adalah anak-anak yang akan diperkenalkan dengan daun yang diperlukan. Ada daun yang tidak boleh dipetik karena pahit seperti daun japa yang biasa digunakan untuk obat.

“Karena daun itu tidak semuanya dapat digunakan nanti ada yang pahit ada juga yang membuat gatal” kata Muhammad Ali. “ kami dulu juga di ajarkan oleh orang tua tentang daun mana yang boleh diambil yang mana tidak karena ini merupakan resep warisan turun temurun” tambah Baihaqi tersenyum.
Diantara daun yang digunakan adalah seurapat, seumalu batee, murong batee, tahe peuha, daun jemblang dan daun saga. Semua daun itu dijemur selama empat hari.

“Ini merupakan makanan yang paling baik untuk berbuka, dan banyak khasiatnya badan kita jadi enak dan kuat tidak cepat lelah untuk anak-anak dia bisa sehat tapi kalau didalam tubuhnya ada penyakit didalam akan timbul gatal-gatal” tutur baihaqi lagi.

“Memang kadang-kadang ada yang pahit karena salah daun atau bisa jadi kurang bumbu jadi bisa saja lain tempat lain rasa” kata Muhammad yunus. “kalau sudah begitu sepanjang ramadhan rasa nya akan begitu karena bumbunya sudah dicampur kalau yang bagus nanti kalau sudah selesai dimasak airnya akan berwarna merah” tambah Muhammad yunus lagi.

Menurut Baihaqi adanya ie bu beudah merupakan kebahagiaan  tersendiri. “ na ie bu beudah lam gampong saboh nikmat misei ka rab supot karame aneuk mit bak meunasah, teuma keun hana dipeukarue mak di dapu( ada ie bu beudah di kampong satu kenikmatan, kalau sudah sore anak kacil sudah ramai di meunasah, jadi kan tidak perlu menganggu ibunya di dapur)”ujar Baihaqi tersenyum. Selain itu mereka juga bias mengerti tradisi dan meneruskannya.

“Zaman sekarang sudah modern, anak-anak lebih banyak yang sudah tidak kenal sama budaya dan tradisi sendiri semuanya ikut televisi jadi sudah agak susah, jadi dengan ada ini paling tidak setiap habis asar anak-anak akan kemari selesai shalat asar bukannya di depan televisi” ujar  Muhammad Ali tersenyum. “lagi pula ini sedekah bersama yang juga dinikmati bersama” tambah Muhammad Ali lagi.

Sekian lama menjaga tradisi ini mumbuat warga masyarakat arun sudah terbisa dengan ie bu beudah yang menjadi menu utama berbuka selama ramadhan.

“Lon buka puasa harus na ie nyo misei hana nyan hana merasa walaupun na aso kaya (saya buka puasa harus ada air ini kalau tidak ada itu tidak terasa walaupun ada srikaya)” kata Muhammad Yunus tersenyum sambil memperlihatkan gigi nya.

Setelah masak ting dari besi yang digantung di jendela meunasah akan dipukul. “kalau dulu yang dipukul tambo (beduk) atau gom yang suaranya lebih besar” ujar Baihaqi.

Jam sudah menunjukkan pukul empat, muslim selaku orang yang ditunjuk saat musyawarah desa untuk memasak ie bu beudah sudah mulai membersihkan beulagong. wadah yang digunakan adalah wajan besi ukuran besar yang dapat menampung delapan timba air. Setelah beulagong dibersihkan muslim memasukkan kayu bakar dan menyalakannya. Lalu memasukkan air setengah beulagong.

Kemudian memasukkan semua bahan di tambah dengan beras dan masak sebanyak dua are. satu are setara dengan  enak mok atau dua liter. Dimasak sehingga beras berubah menjadi nasi kemudian ditambah lagi air hingga beulagong penuh. Setelah itu di masukkan garam. Setelah mendidih api tetap tidak dimatikan agar tidak cepat basi.

“Setiap hari saya memasak 2 are, dan memasak kadang hingga satu jam setengah tapi setelah matang apinya tetap saya biarkan agar kalau malam masih tetap panas” ujar muslim sambil terus mengaduk masakannya. Muslim baru tahun ini dipercayakan memasak ie bu beudah ramadahan kali ini sebelumnya ia hanya melihat orang lain yang mengerjakan.


Tak lama kemudian ie bu beudah siap. Baunya harum dan segar. Airnya berwarna merah. Ting, ting, ting muslim memukul besi ting menandakan masyarakat sudah boleh mengambil hasil masakannya. Kemudian anak-anak mulai berdatangan membawa timba-timba kecil ada mengantri dapur yang tidak jauh dari meunasah. Pintu dapur itu baru ditutup ketika malam sehingga siapa yang ingin mengabil boleh masuk walaupun tidak ada muslim disana. Bagaimana ingin mencoba?

[Khiththati]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar