Jumat, 27 Desember 2013

Lonceng sang laksamana (Feature)

Lonceng besar itu tergantung tepat di depan museum aceh. Telah lama ia berhenti berbunyi. Mitosnya dahulu ketika kerajaan aceh darussalam berjaya gemanya memberi pertanda waktu untuk shalat telah datang didalam komplek kraton. Cakra Donnya namanya. Berasal dari Teonghoa di hadiah kan oleh penguasa Dinasti Ming untuk Kerajaan Pasai.

“ Ada sumber yang mengatakan bahwa lonceng itu di serahkan kepada Kerajaan Pasei namun ada juga yang mengatakan di serahkan kepada kerajaan Lamuri belum ada sumber yang mengguatkan” ujar  Nurdin Ar , Kepala Meseum Aceh. Lamuri juga merupakan kerajaan besar di Aceh yang pada awalnya merupakan kerajaan hindu.

Lonceng yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho tersebut merupakan hadiah dari Dinasti Ming. “Cheng Ho memang memiliki tiga gudang Trans di kawasan selat malaka ini yang pertama malaka, pasai dan cirebon namun bukan berarti lonceng itu kemudian jelas bagaimana perjalannya hingga sampai ke sini masih ada penelitian lanjutan sedangkan Kerajaan Aceh Darussalam sendiri baru terbentuk akhir  tahun 1511 ” Tambah Nurdin Ar sambil tersenyum.

Museum Aceh pernah menerbitkan buku tentang Cakra Donya tahun 1980 yang ditulis oleh seorang belanda yang bernama G.I Tichelman dan di terjemahkan oleh Rusdi Sufi. Naskah asli tentang lonceng ini berbahasa belanda yang telah dimuat dalam De Indische Gids I di terbitkan di Amsterdam tahun 1939 oleh N.V Drukkerij en Uitgeverij T.H Bussy. Selain itu nama Cakra Donya juga telas disebut dalam etos kepahlawanan rakyat Aceh yaitu hikayat malem dagang.  Yang dinamakan cakra donya adalah sebuah mahkota besi berbentuk stupa yang tinggi buatan china dengan tinggi 1,25 M dan lebar 0,75. Cakra juga dapat berarti kereta.

Berdasarkan angka tahun yang tertera diatasnya lonceng ini telah di tuang dalam tahun 1409. Dalam buku yang ditulis oleh Kremeer  yang berjudul  Aceh atau Snouck Hurgronje dalam The Achehnese II dikatakan bahwa lonceng ini di buat pada tahun 1464. “ Pada penelitian baru baru ini yang dilakukan oleh orang  Jepang, lonceng ini sangat mungkin di produksi tahun 1464 dikarenakan memiliki beberapa gambar yang sama seperti yang dimiliki lonceng lonceng di daerah jepang yang di buat pada tahun itu” cerita Nurdin Ar. “ namun masih ada penelitian yang lebih lanjut untuk itu” Tambahnya lagi.

Dulu lonceng ini di gantung di dekat salah satu makam sultan dengan menggunakan rantai. Dan masih tergantung disebatang pohon Ba’ Gloendong  (Pohon Kuda Kuda ) sampai tahun 1915. “ mitosnya dulu di bunyikan jika ada kabar penting dari sultan dan waktu shalat setelah ada tanda dari bunyi itu orang orang disekeliling kraton segera berkumpul”  kisah Rusdi Sufi, kepala PDIA ( Pusat Dokumentasi dan informasi Aceh).

Mesjid yang dimaksud disini adalah mesjid baiturrahim yang berada dalam kompleks Kerajaan bukan Mesjid Baiturrahman yang berada di luar kompleks. Anak genta lonceng kini telah hilang dan sejak tahun 1915 tidak ada seorang pun yang penah mendengarkan suaranya lagi. Orang yang diketahui memukul nya untuk terakhirkali adalah Boedjang Ma Asan.“ Anak lonceng hilang di curi ketika kerajaan dalam posisi melemah dan sampai sekarang belum di ketahui dimana” kisah Rusdi Sufi.

Dalam kisah Malem Dagang Disebutkan di dalam Kapal perang Cakra Donya ada tiga buah lonceng dan anak gentanya yang dapat di dengar dari kejauhan selama tiga hari perjalannan.  Yang diberi nama ” Akida Toj Oemoe, Khojran Kathiran dan Toela’ mara”. Dan masayarakat Aceh kala itu percaya lonceng cakra donya yang ada di Kuta Raja di yakini salah satu diantaranya.

“ Dulu juga di ceritakan lonceng itu sempat di tempat kan dalam kapal perang yang di beri nama cakra donya dan merupakan kapal perang terhebat saat itu saat kerajaan Aceh melawan portugis di malaka pada masa Sultan Iskandar Muda”  kisah Rusdi Sufi , ia juga dosen sejarah di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Kapal cakra donya ini di ibaratkan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga portugis menamakannya “ Espanto Del Munda” yang berarti teror dunia.
Ketika kraton telah di kuasai oleh Belanda, gubernur sipil dan militer Aceh H.N.A Swart memindahkan lonceng  karena khawatir pohon akan patah. Pemindahan ini dilakukakn oleh para pekerja asal cina di bawah pengawasan A Fie.

“ Awal abad ke 20 lonceng hendak di turun kan ada pekerja dari teonghoa juga ada orang aceh namaun kemudian pekerja dari aceh tidak ikut serta di sebabkan mereka percaya bahwa lonceng itu di  diami oleh mahluk gaib dan setelah di turunkan lonceng itu diletakkan di tanah” cerita Rusdi Sufi lagi.

Tak lama kemudian hujan turun dengan deras langsung menggenagi kuta raja. Banjir besar pun terjadi. Pada saat itu tahun 1915 saat banjir besar melanda Kuta Raja datang lah utusan orang tua aceh yang terdiri dari laki-laki dan perempuan menghadap gubernur Swart. Mereka mengatakan  perlakuan  buruk terhadap lonceng telah membuat banjir besar.

“ kemudian gubernur mengagapi nya dengan memindahklan lonceng ketempat yang lebih layak dan menggantungnya di bawah Rumoh Aceh yang ada di Blang Padang” kisah Rusdi sambil tersenyum.
Namun banjir besar kembali terjadi pada tahun 1916 kembali terjadi dan para penduduk masih percaya bahwa lonceng belum di tempat kan dengan baik. Sekarang Lonceng dan Rumoh Aceh telah berada di komplek Museum Aceh atau di dalam bekas Komplek Kraton kesultanan Aceh Darussalam.

Saat di bersihkan sebelum digantung dilokasi Rumoh Aceh pada bagian luar lonceng di temukan ukiran hiasan hiasan dengan simbol simbol arab dan huruf huruf china. Namun simbol simbol tersebut sebagian telah aus dan iskripsi nya tidak dapat dibaca lagi. Dipercaya bahwa ukiran itu di tuang dengan cairan emas.
“ lonceng itukan mulai tidak terawat saat masa perang panjang antara belanda dengan kerajaan Aceh,  dan agak aneh juga ada ukiran arab padalah dari cina dan bisa di yakini kalau ukiran arab itu di tambahkan setelahnya” tambah Rusdi lagi.

Huruf cina dalam lonceng berbunyi “ Sing Fat Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo” yang dapat di artikan sultan Sing Fat yang telah di tuang dalam di dalam bulan 12 dari tahun ke 15. Sekarang lonceng ini menjadi salah satu koleksi Museum Aceh. Digantung di sebuah bangunan kecil di depan Museum Aceh. “ Lonceng ini penting ada nya untuk mengetahui bagaimana kerjama sama dulunya antar kerajaan kerajaan dunia terutama hubungan antara aceh dengan cina” ungkap Rizki Maulida salah seorang pengunjung museum saat melihat lonceng.


“ Bisa di lihat juga maksud pemberian hadiah ini karena biasanya pemberian hadiah itu ada maksudnnya misalnya kenapa harus lonceng tidak pedang, kalau di teliti lebih lanjut pasti menarik” tambahnya lagi di akhir wawancara. [Khiththati] - Tulisan ini Telah di publikasikan di Majalah Jia Xiang




1 komentar: