Lonceng besar itu tergantung tepat di depan museum
aceh. Telah lama ia berhenti berbunyi. Mitosnya dahulu ketika kerajaan aceh
darussalam berjaya gemanya memberi pertanda waktu untuk shalat telah datang
didalam komplek kraton. Cakra Donnya namanya. Berasal dari Teonghoa di hadiah
kan oleh penguasa Dinasti Ming untuk Kerajaan Pasai.
“ Ada sumber yang mengatakan bahwa lonceng itu di
serahkan kepada Kerajaan Pasei namun ada juga yang mengatakan di serahkan
kepada kerajaan Lamuri belum ada sumber yang mengguatkan” ujar Nurdin Ar , Kepala Meseum Aceh. Lamuri juga
merupakan kerajaan besar di Aceh yang pada awalnya merupakan kerajaan hindu.
Lonceng yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho tersebut
merupakan hadiah dari Dinasti Ming. “Cheng Ho memang memiliki tiga gudang Trans
di kawasan selat malaka ini yang pertama malaka, pasai dan cirebon namun bukan
berarti lonceng itu kemudian jelas bagaimana perjalannya hingga sampai ke sini
masih ada penelitian lanjutan sedangkan Kerajaan Aceh Darussalam sendiri baru
terbentuk akhir tahun 1511 ” Tambah
Nurdin Ar sambil tersenyum.
Museum Aceh pernah menerbitkan buku tentang Cakra
Donya tahun 1980 yang ditulis oleh seorang belanda yang bernama G.I Tichelman
dan di terjemahkan oleh Rusdi Sufi. Naskah asli tentang lonceng ini berbahasa
belanda yang telah dimuat dalam De Indische Gids I di terbitkan di Amsterdam
tahun 1939 oleh N.V Drukkerij en Uitgeverij T.H Bussy. Selain itu nama Cakra Donya juga telas disebut dalam
etos kepahlawanan rakyat Aceh yaitu hikayat malem dagang. Yang dinamakan cakra donya adalah sebuah
mahkota besi berbentuk stupa yang tinggi buatan china dengan tinggi 1,25 M dan
lebar 0,75. Cakra juga dapat berarti kereta.
Berdasarkan angka tahun yang tertera diatasnya
lonceng ini telah di tuang dalam tahun 1409. Dalam buku yang ditulis oleh
Kremeer yang berjudul Aceh atau Snouck Hurgronje dalam The
Achehnese II dikatakan bahwa lonceng ini di buat pada tahun 1464. “ Pada
penelitian baru baru ini yang dilakukan oleh orang Jepang, lonceng ini sangat mungkin di
produksi tahun 1464 dikarenakan memiliki beberapa gambar yang sama seperti yang
dimiliki lonceng lonceng di daerah jepang yang di buat pada tahun itu” cerita
Nurdin Ar. “ namun masih ada penelitian yang lebih lanjut untuk itu” Tambahnya
lagi.
Dulu lonceng ini di gantung di dekat salah satu
makam sultan dengan menggunakan rantai. Dan masih tergantung disebatang pohon
Ba’ Gloendong (Pohon Kuda Kuda ) sampai
tahun 1915. “ mitosnya dulu di bunyikan jika ada kabar penting dari sultan dan
waktu shalat setelah ada tanda dari bunyi itu orang orang disekeliling kraton
segera berkumpul” kisah Rusdi Sufi,
kepala PDIA ( Pusat Dokumentasi dan informasi Aceh).
Mesjid yang dimaksud disini adalah mesjid
baiturrahim yang berada dalam kompleks Kerajaan bukan Mesjid Baiturrahman yang
berada di luar kompleks. Anak genta lonceng kini telah hilang dan sejak tahun
1915 tidak ada seorang pun yang penah mendengarkan suaranya lagi. Orang yang
diketahui memukul nya untuk terakhirkali adalah Boedjang Ma Asan.“ Anak lonceng hilang di curi ketika kerajaan dalam
posisi melemah dan sampai sekarang belum di ketahui dimana” kisah Rusdi Sufi.
Dalam kisah Malem Dagang Disebutkan di dalam Kapal
perang Cakra Donya ada tiga buah lonceng dan anak gentanya yang dapat di dengar
dari kejauhan selama tiga hari perjalannan.
Yang diberi nama ” Akida Toj Oemoe, Khojran Kathiran dan Toela’ mara”.
Dan masayarakat Aceh kala itu percaya lonceng cakra donya yang ada di Kuta Raja
di yakini salah satu diantaranya.
“ Dulu juga di ceritakan lonceng itu sempat di
tempat kan dalam kapal perang yang di beri nama cakra donya dan merupakan kapal
perang terhebat saat itu saat kerajaan Aceh melawan portugis di malaka pada
masa Sultan Iskandar Muda” kisah Rusdi
Sufi , ia juga dosen sejarah di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Kapal cakra donya ini di ibaratkan kapal induk
armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga portugis
menamakannya “ Espanto Del Munda” yang berarti teror dunia.
Ketika kraton telah di kuasai oleh Belanda, gubernur
sipil dan militer Aceh H.N.A Swart memindahkan lonceng karena khawatir pohon akan patah. Pemindahan
ini dilakukakn oleh para pekerja asal cina di bawah pengawasan A Fie.
“ Awal abad ke 20 lonceng hendak di turun kan ada
pekerja dari teonghoa juga ada orang aceh namaun kemudian pekerja dari aceh
tidak ikut serta di sebabkan mereka percaya bahwa lonceng itu di diami oleh mahluk gaib dan setelah di
turunkan lonceng itu diletakkan di tanah” cerita Rusdi Sufi lagi.
Tak lama kemudian hujan turun dengan deras langsung
menggenagi kuta raja. Banjir besar pun terjadi. Pada saat itu tahun 1915 saat
banjir besar melanda Kuta Raja datang lah utusan orang tua aceh yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan menghadap gubernur Swart. Mereka mengatakan perlakuan
buruk terhadap lonceng telah membuat banjir besar.
“ kemudian gubernur mengagapi nya dengan
memindahklan lonceng ketempat yang lebih layak dan menggantungnya di bawah
Rumoh Aceh yang ada di Blang Padang” kisah Rusdi sambil tersenyum.
Namun banjir besar kembali terjadi pada tahun 1916
kembali terjadi dan para penduduk masih percaya bahwa lonceng belum di tempat
kan dengan baik. Sekarang Lonceng dan Rumoh Aceh telah berada di komplek Museum
Aceh atau di dalam bekas Komplek Kraton kesultanan Aceh Darussalam.
Saat di bersihkan sebelum digantung dilokasi Rumoh
Aceh pada bagian luar lonceng di temukan ukiran hiasan hiasan dengan simbol
simbol arab dan huruf huruf china. Namun simbol simbol tersebut sebagian telah
aus dan iskripsi nya tidak dapat dibaca lagi. Dipercaya bahwa ukiran itu di
tuang dengan cairan emas.
“ lonceng itukan mulai tidak terawat saat masa
perang panjang antara belanda dengan kerajaan Aceh, dan agak aneh juga ada ukiran arab padalah
dari cina dan bisa di yakini kalau ukiran arab itu di tambahkan setelahnya”
tambah Rusdi lagi.
Huruf cina dalam lonceng berbunyi “ Sing Fat Niat
Toeng Juut Kat Yat Tjo” yang dapat di artikan sultan Sing Fat yang telah di
tuang dalam di dalam bulan 12 dari tahun ke 15. Sekarang lonceng ini menjadi salah satu koleksi
Museum Aceh. Digantung di sebuah bangunan kecil di depan Museum Aceh. “ Lonceng ini penting ada nya untuk mengetahui
bagaimana kerjama sama dulunya antar kerajaan kerajaan dunia terutama hubungan
antara aceh dengan cina” ungkap Rizki Maulida salah seorang pengunjung museum
saat melihat lonceng.
“ Bisa di lihat juga maksud pemberian hadiah ini
karena biasanya pemberian hadiah itu ada maksudnnya misalnya kenapa harus
lonceng tidak pedang, kalau di teliti lebih lanjut pasti menarik” tambahnya
lagi di akhir wawancara. [Khiththati] - Tulisan ini Telah di publikasikan di Majalah Jia Xiang
Mantap Modelnya dn Tulisanya ama kiki khaan... *_*
BalasHapus