Minggu, 30 November 2014

Kabhi Khushi Kabhie Gham Tentang Cinta keluarga

Setelah Dilwale (DDLJ) dan Kuch Kuch Hota Hai rasanya tidak lengkap jika tidak membahas Film kedua dari Karan Johar ini. Film drama yang di produksi tahun 2001 ini disutradarai dan naskahnya ditulis oleh Karan Johar dan di bintangi oleh sahabat baiknya seperti Kuch Kuch Hota Hai tentu saja ditambah sina sini (Hehehehehe) berbicara tentang film ini selalu mengigat Rahul sebagai suami yang idaman (hahahahahaha).



Memasang Amitabh Bachchan, Jaya Bachchan, Shahrukh Khan, Kajol, Hrithik Roshan and Kareena Kapoor sebagai bintang Utama dan penampilan Spesial dari Rani Mukherjee. mengambil gambar di India dan London serta Mesir untuk tittle song Suraj Hua yang romantis itu (hahaha) dan dirilis bertepatan dengan perayaan Diwali pada tahun 2001. selain di tayangkan di India, Inggris dan Amerika Utara, Film ini merupakan film India pertama yang tayang di bioskop German.

Mempunyai pendapatan yang tinggi untuk penjualan di luar negeri sebelum nanti bergeser pada film Karan Johar yang lain. memenangkan banyak penghargaan termasuk Film Fire pada tahun itu. Film ini di Produseri oleh sang ayah Yash Johar di bawah rumah produksi Drama Production walaupun di distribusikan oleh Yash Raj Film.



Karan Johar, Yash Chopra (Sutradara Film Dilwale Dulhania Le Jayengge) dan Shah Rukh Khan menjadi teman baik setelah Syuting DDLJ berakhir dan mereka berjanji untuk mendukung satu dan lainnya (saling bantu dalam mengerjakan Film) sama ketika Karan membantu Yash Chopra untuk Mohabbatein maka sang teman juga melakukan hal yang sama termasuk memberikan masukan untuk naskah film ini.

Pengamat memberikan cacatan yang cukup baik untuk film ini, Bollywood Hungama memberikan 4,5 dari 5 Poin dan merupakan film yang memang layak untuk ditunggu, " Emosional and Simple Story from India".  BBC Movie Review memberi film ini 9 dari 10 bintang dan memuji acting dari SRK, Kajol dan Kareena Kapoor, " (K3G is) a well made film, with some magical moments (hilarious and weepy) and possibly the world's best looking family".

Judul film ini menurut Karan terinspirasi dari film lama Yash Raj yang berjudul Kabhi Kabhie. Film yang mengambil tema semua tentang rasa cinta terhadap keluarga mu ini menguras banyak emosi terlebih hubungan Rahul dan Ibunya. (Ayo angkat tangan yang pernah Nangis nonton Film ini? - Saya Juga Hkhkhk).



Ayo kita mulai Ceritanya : 



Shah Rukh Khan Sebagai Rahul Raichand



Kajol Sebagai Anjali Sharma



Amitabh Bachan Sebagai Yash Raichand



Jaya Bachchan Sebagai Nandhini Raichand



Hrithik Roshan Sebagai Rohan Raichand



Kareena Kapoor Sebagai Pooja



Penampilan Spesial Rani Mukherjee sebagai Naina Kapoor




Jumat, 28 November 2014

Buaya-Buaya Woyla [Feature]

Pascatsunami buaya-buaya mengganas di sungai Woyla. Korbannya penduduk desa sekitar. Pawang buaya dari Australia pun didatangkan.

KAMIS, 14 Februari 2008, Juariah ditemani menantu perempuan tampak sibuk membuat kue loyang dan spet, kue kering khas Aceh. Beberapa hari lagi akan ada kenduri di rumahnya, untuk mendoakan suaminya yang telah meninggal dengan mengundang penduduk desa. Rusmi Rahmad, suami Juariah, meninggal tiga puluh hari yang lalu karena digigit buaya. Dalam adat Aceh kalau ada orang meninggal, keluarga akan membuat acara doa bersama di rumah maupun di meunasah. Kenduri ini dilakukan di hari pertama, kedua, ketiga, kelima, ketujuh, kesembilan, kesepuluh, keempatpuluh empat dan keseratus orang tersebut meninggal dunia. Pihak keluarga akan memberikan minum atau kue-kue kepada orang yang berdoa.

Di hari naas itu, seperti biasa Juariah dan Rusmi pergi ke sungai pada pukul delapan pagi. Setelah mengambil air, Juariah kembali ke rumah mereka sendirian sedangkan Rusmi tetap di sungai. Belum lagi sampai ke rumah, Juariah mendengar suaminya berteriak. Dengan tergopoh-gopoh Juariah berlari ke arah sungai, tapi Rusmi sudah tak kelihatan lagi. Ia tidak tahu suaminya berada di mana. Rumah Juariah berada sekitar seratus meter dari sungai, di desa Ranto Panyang, Woyla.

Sepuluh tahun lebih sudah ia dan keluarganya tinggal di rumah itu. Setiap kali membutuhkan air, Juariah dan Rusmi akan mengambilnya di sungai di samping rumah mereka. Rumah pasangan ini terletak paling ujung, dekat jalan setapak menuju kebun karet, sawah dan kebun ubi. Rumah tersebut semi permanen, bercat putih dan di pintu masuknya ada gambar bendera merah putih dan tulisan NKRI. Halaman rumah lumayan luas.

Akhirnya dari orang yang berada di sekitar sungai Juariah mengetahui bahwa suaminya hilang diseret buaya ke dalam sungai. Rusmi sendiri baru dilepaskan oleh buaya setelah tiga jam berada dalam air. Tak terbayang oleh Juariah kalau suaminya harus pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

“Sudah sepuluh tahun kami tinggal di sini dan baru tiga tahun terakhir saya melihat buaya ada di dalam sungai. Terkadang mereka juga berjemur dipinggir sungai,” katanya kepada saya, dengan suara agak serak.

Tak jauh dari situ terdapat pangkalan rakit yang menghubungkan antara desa Ranto Panyang dengan desa Pasimali. Buaya membawa Rusmi melewati rakit penyeberangan ini, sehingga para pengayuh rakit ikut mengejar buaya. Namun, buaya bengal tersebut baru melepas Rusmi setelah seorang pawang buaya menjanjikan akan mengganti Rusmi dengan seekor kambing.

Pelheh ureng nyan entrek kamoe ganto degon kameng (lepaskan orang itu nanti akan kami ganti dengan kambing),” ujar Juariah, mengulangi apa yang dikatakan pawang kepada buaya yang menggigit suaminya.

Buaya menuruti permintaan pawang, lalu membawa Rusmi ke pinggir sungai yang agak sepi. Setelah itu Rusmi dibawa pulang dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Seekor kambing pun diikat di tempat yang sama. Keesokan harinya kambing itu hilang. Rusmi menderita luka di kakinya karena gigitan buaya.

Sejak suaminya meninggal, Juariah tak berani lagi dekat-dekat sungai. Menurut Juariah, buaya yang berenang mendekati kita tak akan menimbulkan riak di air sehingga kita tidak tahu kapan ia datang. Untuk kebutuhan air rumah tangga, Juariah sekarang memasang pompa mesin untuk menarik air dari dalam sungai.

Buya nyan baro na, watee kaleh tsunami, barojeh meutem takalen han (buaya itu baru ada setelah tsunami, dulu lihat pun saya tidak pernah),“ kata Juariah, seraya sesekali melihat foto keluarga yang tergantung di dinding. Dalam foto itu nampak Rusmi tersenyum bersama kedua anak laki-laki mereka. Dulu mereka tinggal di Suak Semaseh sebelum pindah ke Woyla.

Pawang buaya dari Autralia juga pernah datang ke rumahnya. Juariah masih ingat dengan baik wajah ketiga pawang itu.

Awak nyak di penget bube aleh nyan di pasang bak krueng, wate di balek singoh ka di tamong buya kenan, di lua bube nasyit lhee boh buya laen (mereka membuat perangkap lalu memasang di sungai, ketika mereka kembali keesokan harinya sudah ada satu buaya dalam perangkap, di luar perangkap ada juga tiga buaya lain),” kisah Juariah, sambil membetulkan letak kaca matanya.

Pawang itu memasang perangkap sekitar 500 meter dari rumah Juariah. Umpannya, seekor babi. Juariah sangat terkesan dengan aksi mereka, terlebih aksi pawang yang perempuan.

Payahai inong tapi hana di takot, tanyo manteng yee bak takalen ( padahal perempuan tapi dia tidak takut, kita melihat saja takut),” kenang Juariah. “Buya yang kap linto lon ka di tembak (buaya yang gigit suami saya sudah ditembak),“ lanjutnya.

Suratkabar Serambi Indonesia pernah memuat berita tentang kedatangan pawang dari Australia untuk menjinakkan buaya di krueng atau sungai Woyla, Meulaboh, Aceh Barat.

Pawang buaya itu dari kebun binatang Brisbane, Queensland. Mereka adalah Rian Coulter, Kate Coulter dan Toby Milliyard. Seorang lagi yang menyertai mereka berasal Taman Safari, Jakarta, bernama Rofandi.

Tim penjinak buaya ini datang ke Aceh atas undangan Perhimpunan Kebun Binatang Indonesia (PKBI), Taman Safari Indonesia (TSI), Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), dan Flora and Fauna International (FFI), dan difasilitasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKASD). Tim ini kemudian mendirikan pos di Kuala Bhee, sekitar satu jam setengah perjalanan dari Meulaboh. Pada tanggal 23 Januari 2008 pawang buaya dari Australia memasang kandang jebakan di aliran sungai Woyla di desa Le Sayang, sekitar dua kilometer dari Kuala Bhee. Esok harinya seekor buaya sepanjang lima meter masuk perangkap. Sekarang buaya itu ada di Jantho, Aceh Besar.

Sebelum itu, pada 19 Januari 2008, seekor buaya berhasil ditembak aparat Kepolisian Sektor Woyla Barat. Buaya itu berhasil dilumpuhkan setelah sepuluh kali ditembak dengan senjata laras panjang. Buaya malang itu sedang asyik berjemur di desa Pasi Jeut.

Rusmi Rahmad meninggal dalam usia 59 tahun. Tapi Rusmi bukanlah korban pertama yang digigit buaya di sepanjang sungai Woyla. Ada seorang anak laki-laki yang masih kecil, yang pernah diserang buaya di sungai itu juga. Anak laki-laki itu diserang saat ia dan ibunya sedang naik sampan di sungai. Sang ibu selamat dan anaknya meninggal dunia setelah jatuh ke dalam sungai. Selain itu, ada anak perempuan yang digigit buaya saat sedang mandi.


PADA tanggal 15 Februari 2008, saya menuju Peuleukung. Dari Ranto Panyang ke Peuleukung, harus melewati Pasimali dan desa Pasi Jeut. Ranto Panyang dan Pasimali dibatasi oleh sebatang sungai. Tak ada jembatan yang menghubungkan kedua desa ini. Hanya dua rakit yang siap mengantar penumpang dari pukul tujuh pagi hingga pukul enam sore. Rakit ini terdiri dari dua sampan yang disambung dengan papan.

“Dari dulu di sini memang tidak ada jembatan, dibuat dari tahun 2006 tapi belum siap sampai sekarang,” ujar Muhammad Juni, salah seorang warga desa Pasimali, saat menunggu rakit.

Jembatan yang dimaksud masih berbentuk rangka dengan tiang-tiang dari batang kelapa yang terpancang di sungai itu. Di kanan kiri sungai, di dekat tempat rakit mangkal, banyak pekerja membangun jembatan.

Pembicaraan tentang buaya sangat tabu dilakukan ketika rakit sudah berjalan.

“Dulu pernah ada buaya yang ikut diam-diam di belakang rakit, karena terpikir kayu jadi nggak ada yang takut,” kisah Juni, lagi. “Maka jih bek pegah-pegah entek ijak bak tanyo(makanya jangan bilang-bilang nanti datang ke kita),“ sambungnya.

Lebar sungai ini sekitar 120 meter, dengan kedalaman lima meter di saat musim kemarau.

Jarak pangkalan rakit ke Peuleukung sekitar dua kilometer. Kebun coklat dan kelapa sawit tampak di tepi jalan. Mata pencarian penduduk di sini tak ada yang tetap. Ketika harga buah pinang mahal, mereka akan berkebun pinang. Begitu juga bila karet, nilam, coklat dan sawit mahal, mereka akan beralih mengurus ladang mereka yang ditumbuhi pohon-pohon itu.

Rumah Nida Handayani sangat mudah ditemukan di Peuleukung. Tinggal tanyakan kepada warga, maka mereka akan memberitahu. Usia Nida 17 tahun. Ia juga salah satukorban buaya.

Hari itu Kamis, 5 juli 2007, sekitar pukul 10 pagi, Nida minta izin kepada ayahnya untuk mencuci di sungai. Nida pergi bersama temannya, Darni, ke sungai yang tak jauh dari rumah mereka dengan membawa baju-baju kotor yang akan dicuci. Setelah selesai mencuci, Darni keluar dari dalam sungai dan pergi ke tepi. Sementara Nida buang hajat besar. Tiba-tiba Nida terjatuh. Darni menyangka temannya terpeleset dan masuk ke sungai.

“Dia cuma bilang ‘Mak’. Dan suaranya sangat kecil,” kisah Darni. Darni baru terperanjat ketakutan ketika ia melihat Nida terkulai lemas dalam gigitan buaya.

Dulu Darni sangat suka diajak ke sungai, tapi sekarang ia tak mau dekat-dekat lagi dengan sungai. Saat ini Darni berusia 14 tahun dan belajar di sebuah sekolah menengah pertama di Pasimali.

Bukan hanya Darni, tapi banyak warga yang tak yang berani lagi ke sungai. Dulu di Peuleukung banyak rumah tidak memiliki sumur, tapi setelah kejadian Nida, hampir semua rumah dilengkapi sumur. Padahal warga harus menggali sekitar delapan cincin atau sekitar empat meter ke dalam tanah baru bisa menemukan air. Sumur itu pun akan kering kalau musim kemarau.

Sebenarnya di rumah Nida ada sumur yang baru saja dibuat, tapi ia lebih suka mencuci dan mandi di sungai. Rumahnya kecil dan terlihat berantakan. Di atap banyak sarang laba-laba. Rumah itu pun tanpa plafon. Sebuah lemari bahkan diletakkan di halaman rumah, karena tak cukup ruang untuk menampungnya di dalam. Setengah bagian rumah roboh waktu gempa besar pada 26 Desember 2004, sedang bagian lain retak-retak.

Yakub duduk di salah satu kursi sambil menghisap rokok dalam-dalam. Ia memakai kopiah, berkemeja dan berkain sarung. Ia memandang ke dinding-dinding rumahnya. Di sana terpampang kalender bupati Aceh Barat, Ramli, dan wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla serta sebuah lukisan rumah. Dulu Yakub jadi salah satu anggota tim sukses Ramli.

Matanya berkaca-kaca. “Di situ dulu ada foto Nida, tapi sekarang sudah saya simpan. Kalau ada foto itu, saya selalu teringat dia,” ujar Yakub, sambil terus menghisap rokoknya. Nida adalah anak perempuan Yakub satu-satunya.

Buaya tak mau melepaskan Nida begitu saja. Perempuan muda ini dibawa buaya berenang hilir-mudik di sungai. Polisi akhirnya mencoba menembak buaya itu, tapi gagal. Orang-orang ramai berkumpul menonton kejadian tersebut, bahkan ada yang merekam dan memotret. Sampai sore hari, upaya untuk melepaskan Nida dari mulut buaya terus dilakukan. Buaya itu kemudian menghilang dengan membawa Nida.

“Isteri saya ada bernazar di pinggir sungai. Dia bilang, buaya bawa pulang anak saya, bawa ke sini sama saya. Kalau sudah meninggal, juga tidak apa-apa. Ada jasadnya saja sudah cukup,” kisah Yakub, dalam bahasa Aceh.

Malam tiba. Tapi Nida belum juga ditemukan. Pembacaan surat Yassin digelar di pinggir sungai. Bupati Ramli juga hadir.

Keesokan harinya, pukul tujuh pagi, seorang pengangkut pasir di desa Pasi Ara, sekitar tujuh kilometer dari Peuleukung, menemukan tubuh perempuan dengan rambut terurai terbaring di dekat perahu pasirnya dalam keadaan tak bernyawa.


BUAYA adalah hewan perenang yang sangat kuat dan pandai menghanyut kan diri di sungai tanpa tubuhnya kelihatan, kecuali mata dan lubang hidung. Ia tinggal di dalam lubuk atau tanah yang menjorok ke dalam sungai. Di sepanjang sungai Woyla terdapat banyak lubuk, sehingga mudah bagi buaya untuk berkembang biak.

Buaya biasanya makan ikan. Di Indonesia dikenal dua jenis buaya, yaitu buaya muara dan buaya air tawar. Buaya muara bertubuh lebih besar.

Ukuran tubuh buaya dewasa biasanya berkisar antara dua sampai tujuh meter, tergantung spesies dan jenis kelaminnya. Biasanya yang betina lebih pendek. Bobotnya bisa mencapai 400 sampai 500 kilogram. Usia buaya cukup lama. Bahkan ada yang usianya mencapai lebih dari 100 tahun, bila hidup di habitatnya.

Penduduk desa sekitar sungai Woyla agak bingung dengan kedatangan dan keganasan buaya yang cukup gencar pascatsunami ini.

“Dulu ada buaya tapi di Cot Kumbang, terkurung dalam rawa-rawa dan tak bisa ke mana-mana, tapi setelah tsunami kampung itu hilang, dan buayanya terdampar di sungai Woyla,” kisah Iskandar. Nama daerah rawa itu, Laut Nie.

Yakub juga mengatakan bahwa menurut pawang Australia masih sekitar 70 ekor buaya yang mendiami sungai Woyla dari muara sampai ke Teunom, Aceh Jaya, baik yang berukuran besar maupun kecil.*** [Khiththati]


* Tulisan ini sudah pernah dimuat oleh Acehfeature.org tahun 2008

Selasa, 25 November 2014

Mendaki Seulawah [Feature]

Kawasan hutan lindung Seulawah merupakan sumber air untuk tiga kawasan di Aceh. Ada jenis burung yang hilang, karena ekosistemnya terganggu. Markas Brimob juga dibangun di hutan lindung ini.

BUS kami melaju cepat. Sopir piawai membanting setir ke kanan dan ke kiri menghindari lubang. Jalan ditempuh adalah jalan pintas langsung tembus ke Lambaro tanpa harus melewati Jambotape. Berbatu dan becek, membuat duduk di bus tidak nyaman, karena goncangan yang hebat.

Jalan yang dilewati bus mengikuti arah hulu sungai Lamnyong, melewati pohon-pohon pisang, barak pengungsian yang setengah terbongkar dan rumah bantuan warna-warni yang memiliki antena televisi sebelum akhirnya kembali ke jalan aspal Lambaro Kafe.

“Sebenarnya Krueng Aceh itu gabungan dari dua sungai,” ujar Syahrul Rizal membuka keheningan, walaupun hanya beberapa orang yang dapat mendengarkannya.

”Krueng Agam di Jantho dan krueng Inoeng di Lamtamot yang bertemu di bendungan Teurebeh,” lanjut cowok yang disapa “Yahwa” oleh teman-temannya ini.

Bus terus melaju. Dari jendela sudah terlihat bukit- bukit yang menghijau. Hari itu tanggal 11 Mei 2007.

Kami akan menuju Saree, Aceh Besar, untuk mendaki Gunung Seulawah Agam. Gunung ini berada di kecamatan Seulimum, Aceh Besar. Letaknya di 5° 25, 5’ Lintang Utara dan 95° 36’ Bujur Timur, dengan ketinggian 1.809 meter dari permukaan laut (mpdl) tetapi ada juga yang menyebutkan 1.726 mpdl. Selain Seulawah Agam, terdapat juga Seulawah Dara di sebelahnya. Kedua gunung ini dipisahkan oleh lembah Seulawah. Yang membedakan keduanya adalah gunung Seulawah Agam memiliki puncak mengerucut, sedangkan gunung Seulawah Dara datar saja.

Jarak Seulawah Agam dari Banda Aceh sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil, melalui jalur Saree.

“Sebenarnya dulu ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk mendaki, jalur Saree, dan jalur Lamteuba, tapi jalur itu sudah lama tidak digunakan” ujar Syahrur Rizal.

Jalur Lamteuba sudah ditumbuhi pepohonan dan tak terlihat lagi bekasnya.

Pendakian ini merupakan kegiatan mahasiswa pecinta alam (Mapala) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar Raniry, Banda Aceh, yang dinamai “Sebar” atau “Seulawah Bareng”. Ini “Sebar” yang keempat kali, dengan tema
 Bangkitkan Seumangat Pocut Meurah Intan.

Acara ini sebenarnya telah diundur beberapa kali karena berbagai hal dan akhirnya terselenggara juga di bulan Mei 2007.


JAM sudah menunjukkan pukul 17.03. Gunung Seulawah terlihat semakin dekat. Karena pegal sudah duduk lama, hampir seluruh isi bus turun untuk istirahat, merokok dan berfoto bersama. Di toko yang kami singgahi tertulis namanya, “Warkop AC Milan”, nama tim sepak bola terkenal asal Italia.

“Betul
 nggak itu gunung yang bakal kita naiki. Aduh, mending ada yang mau ngangkat tas kita,” ujar Liza dengan nada yang tidak yakin sambil menunjuk Seulawah.

“Yang benar aja? tas sendiri juga berat,” jawab yang lain.

Kini kami hampir sampai di Saree. Jalan berliku-liku, diselingi tikungan tajam. Sopir tetap melarikan bus dengan kecepatan tinggi. Saat mobil berbelok di tikungan, tas ransel yang tersusun rapi di bangku belakang jatuh menimpa orang yang duduk di lantai bus. Berkali-kali. Bahkan Fajri hampir saja terjatuh ke luar bus, tetapi dengan sigap Lukman dan Zikri menangkapnya, sehingga dia “hanya” jatuh menimpa Multazam.

Pohon-pohon pinus sudah kelihatan jelas, berarti sekarang bus sudah memasuki areal taman hutan raya (Tahura) Pocut Meurah Intan. Sejauh mata memandang hanya terlihat kerimbunan pohon, hijau menyejukkan. Di samping jalan, juga ada pamflet yang bertuliskan “Insya Allah Hutan Lestari Rakyat Sejahtera”.

Tahura ini sendiri awalnya bernama Cut Nyak Dien, tokoh perempuan pejuang Aceh. Pocut Meurah Intan diambil dari sebuah legenda rakyat tentang seekor gajah. Di kawasan ini memang banyak gajah. Bahkan ada gajah yang dilatih khusus di kawasan ini dan bisa bermain sepak bola.

Tahura Pocut Meurah Intan ditetapkan dengan surat keputusan menteri kehutanan No.95/ kp-II / 2001, tanggal 15 Maret 2001. Dari luas awal 10.000 hektare, hanya 6.300 yang dijadikan Tahura. Kerimbunan Tahura ini juga menjadi jaminan bagi pasokan air di provinsi ini di masa depan.

Namun, tak lama kemudian, kami dikejutkan dengan pemandangan yang tak berhubungan dengan keindahan alam dan sejuknya udara. Di kawasan ini terlihat adanya pembangunan besar-besaran. Di gardu depan komplek itu tertulis “Markas Komando Brimob Polda Nanggroe Aceh Darussalam”. Letak komplek ini benar-benar berada di tengah hutan lindung yang sebenarnya tidak boleh didirikan bangunan apa pun yang bisa merusak ekosistemnya. Rencana proyek militer ini akan menghabiskan sekitar 12 hektare areal hutan raya

“Sebenarnya di kawasan hutan raya nggak boleh dibuat bangunan, tapi kalau untuk polisi dan tentara mungkin boleh. Kan mereka yang punya negara,” ujar Syahrul Rizal, dengan nada yang kecewa atas hukum di negara Indonesia.

Sampai di pasar Saree, mobil berhenti. Satu per satu penumpang turun untuk membeli makanan khas Saree. “Kripep kripik Saree, nyan payah troen (keripik Saree, harus turun),” ujar Sulaiman. Saat itu sudah pukul 17.40 dan di pasar itu hampir tidak ada kios yang tidak menjajakan keripik talas, ubi jalar atau singkong yang dipajang rapi memanjang. Selain kripik, tape juga dijual di situ.

Warnanya ada yang ungu, merah, kuning sampai putih. Selain itu, juga ada yang menjual martabak, bahkan sampai ke dalam mobil yang kami tumpangi.

Sisa perjalanan sore itu kami tempuh dengan banyak bergurau.

Bus masuk ke perkampungan. Jalan berbatu, tak beraspal. Jarak rumah yang satu ke rumah yang lain sangat jarang. Kami sempat bertemu dengan orang kampung yang mengingatkan kami untuk berhati-hati kalau ingin mendaki Seulawah, karena kemarin angin ribut baru saja melanda kawasan ini.

Kami kemudian singgah di sebuah rumah untuk shalat ashar. Rumah itu disebut sebagai “rumah Pak Toni”, karena pemiliknya bernama Toni. Ada beberapa pohon di depan dan di samping rumah, juga ada bunga-bunga. Hanya teras, ruang tamu, dan kamar yang berlantaikan semen, sedangkan ruang makan dan dapurnya berlantaikan tanah. Dapur memang tidak terpisah dari rumah dan sedikit terbuka. Ada dua kompor aluminium dan satu tungku kayu di situ. Di kamar mandinya, hanya ada bak mandi, tanpa kakus, dan agak terbuka. Airnya dingin. Di belakang rumah terdapat kandang ayam dan kambing.

“Nggak apa-apa, Bu kalau dapurnya begini? Waktu ada angin gimana?” tanya saya selepas dari kamar mandi.

“Nggak mengapalah dek yang penting ada,
 ginilah nasib orang desa,” jawab istri pemilik rumah sambil tersenyum.

“Ibu orang sini?” tanya saya lagi.

“Saya orang Meulaboh (Aceh Barat), bapak yang orang sini,” jawabnya, mengakhiri pembicaraan karena harus meniup api di tungku.

Setelah shalat dan istirahat sebentar, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan menuju mushala. Saat hendak keluar rumah, saya melihat stiker di dinding luar dekat pintu masuk. Di situ tertulis: “Keluarga Miskin Mendapatkan Bantuan Langsung Tunai.”

Jalan terus menanjak. Sampai di mushala pukul 18.35. Di sampingnya ada sungai kecil. Mushala itu berada di dusun Suka Makmur, Saree RT 03/04. Ini dusun terakhir sebelum Seulawah Agam.


UDARA sudah terasa dingin, tapi ada beberapa peserta yang main-main air di sungai. Selain kami ada juga seorang perempuan setengah baya yang mencuci baju di sungai. Namanya Yati. Rumahnya berada tepat di samping mushala. Seperti kebanyakan penduduk Suka Makmur yang menjadi petani palawija, Yati juga petani. Ia bersama suami memiliki ladang jagung dan bengkoang.

“Kami di sini nggak ada yang merhatiin dek,
 jadi berusaha bantu diri sendiri,” ujar Yati saat ditanya tentang bantuan yang pernah diterima.

Di samping Yati, ada beberapa buah bengkoang. Karena lapar, dua teman saya, Sulaiman dan Aditia, meminta beberapa buah untuk dimakan.

“Hati-hati makannya ada yang sudah busuk, kalau kalian pergi kemarin mungkin masih ada jagung,” ujar Yati kemudian.

Menjelang maghrib, Yati bergegas pulang ke rumahnya. Akhirnya kami juga bergegas pergi setelah mendengar adzan dari mushala. Ada yang memutuskan untuk wudhu di sungai. Ada juga yang wudhu di belakang rumah seorang penduduk yang disebut Pak Bono, yang berada di belakang mushala. Di dekat mushala cuma ada dua rumah.

Saat berada di kamar mandi yang terbuka, kami bertemu dengan seorang nenek berbaju hijau, berkain batik dan bersongkok putih.

“Kalau kalian mau mandi, itu ada basahan memang susah sedikit karena terbuka,” ujar nenek itu sambil terus berwudhu.

“Saya orang Meulaboh, tahun 1971 pindah ke sini, dulu tinggal di sana, eem sudah jadi belukar lagi kan?” jawab nenek itu sambil menunjuk ke arah belakang rumahnya yang sudah jadi semak-belukar lagi.

“Saya masuk dulu, mau salat. Kalau kalian mau mandi, sekarang saja kalau nanti lebih dingin lagi,” ujarnya, sambil bergegas masuk ke rumah.
 

Karena hari sudah cukup gelap dan semakin dingin, tidak ada seorang pun mandi, setelah wudhu semuanya bergegas ke mushala.

Yang shalat di mushala cuma imamnya saja penduduk setempat, selebihnya anggota rombongan kami.
 

Dari arah mushala ke sungai, berdiri sambil melihat ke bawah, kita akan melihat pemandangan pasar Saree di malam hari yang berhiaskan lampu.

“Wah, cantik kali, gimana di puncak ya,” ujar Nana takjub.


PADA pukul 22.00 ta’aruf atau perkenalan pun dimulai. Dari memperkenalkan nama, kuliah sampai tujuan naik Seulawah. Di sinilah para peserta dan panitia “Sebar” mulai bisa membaur, tertawa bersama, bahkan suara tawa itu membuat Yati ke mushala untuk memberi tahu bahwa anaknya tidak bisa tidur karena terlalu berisik. Selain ta’aruf, kami diberitahu soal tata krama di gunung. Seperti tidak boleh takabur, riya’ apalagi buang sampah sembarangan.

Selain itu kami juga diberitahu tata krama tinggal di dusun Suka Makmur ini, seperti jangan dekat-dekat dengan kebun yang ada lampu menyala karena bisa kesetrum, walaupun tidak ada kakus, dilarang buang air besar sembarangan apalagi di sungai.

Setelah acara ta’aruf selesai, waktu tidur dimulai.
 

Keesokan harinya, pada pukul 05.30 imam mushola datang.

“Ya, Allah umat Nabi Muhammad ini masih tidur,” ujar pak imam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sontak beberapa orang langsung terbangun. Tapi tidak demikian halnya dengan Sulaiman, ia tetap tidur walaupun pak imam menepuk-nepuk bahunya. Sulaiman tidur di atas tempat shalat imam!. Tapi ia tidak menghiraukannya dan terus tidur. Selain Sulaiman, ada juga yang menarik kembali selimutnya dan melanjutkan tidur.
 

Pagi yang dingin, kicau burung terdengar indah, suara jangkerik juga masih terdengar, sesekali juga tertangkap pekik lutung dari arah gunung. Matahari sudah mulai meninggi padahal baru pukul 06.30. Berjalan-jalan di sekitar mushala sambil menghirup udara segar, itu yang dilakukan oleh kami sambil menunggu sarapan pagi.

“Eh, yang itu laut bukan?” tanya saya kepada Nana.

“Ah, mana ada? Paling cuma kabut. Masa’ laut nggak gerak-gerak,” jawab Nana.

“Iya, eh itu laut, kalau nggak salah itu Samudera Hindia, yang hitam itu kan perahu,” timpal Yazid, yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri.

“Mana ada, paling itu cuma monyet yang lagi mandi,” ucap Nana bercanda.

Dari mushala itu memang kelihatan laut kalau kita menghadap ke arah timur. Karena menurut Iqbal, mushala ini sudah berada pada ketinggian 640 mpdl. Bahkan ada beberapa orang yang mengatakan kalau jalan Saree sengaja dibangun oleh penjajah kolonial Belanda untuk memantau perairan dan kapal-kapal di selat Malaka.

Iqbal atau lebih suka dipanggil Qobel adalah navigator dalam pendakian Seulawah ini. Navigator adalah orang yang akan menunjukkan arah. Biasanya alat yang dipakai oleh navigator adalah kompas atau Global Positioning System (GPS). GPS merupakan alat navigasi elektronik yang dioperasikan dengan menggunakan satelit dan sangat tergantung pada cuaca.

“Alah cuma segini gunungnya, paling sebentar juga udah nyampek,” ucap Arnis.
 

“Memang kalau kalian lihat gunungnya udah dekat, tapi paling cepat nanti kita sampai sore kalau berangkatnya sekarang,” tukas Yazid.

“Jadi lama ya sampainya?” tanya Nana.

“Liat aja nanti,” jawab Yazid.

Setelah sarapan, semua sibuk berbenah dan mengepak kembali barang bawaannya. Tidak lupa panitia menyarankan untuk memakai krim antinyamuk, selain untuk mengantisipasi malaria, juga untuk menghindari gigitan pacet atau lintah yang banyak terdapat di dekat sungai nanti.
 

Pukul 10.00 kami mulai bergerak. Peserta dibagi dalam tiga tim dan masing-masing tim didampingi oleh panitia untuk mengantisipasi berpencarnya peserta. Jalan menanjak, berbatu. Sesekali tampak rumah penduduk yang diselingi ladang luas.
 

Dusun Suka Makmur adalah dusun transmigrasi. Saat konflik warganya harus meninggalkan tempat ini. Belum banyak yang kembali sampai sekarang. Mereka meninggalkan rumah kosong dan tak terawat sehingga ditumbuhi belukar.

“Sewaktu mendaki Seulawah tahun 2003 di sini lebih sepi dan tak ada penduduk. Mereka lari karena konflik Aceh semakin memanas,” kenang Nur Fadhilah.

Jalan setapak membawa kami memasuki hutan. Tapi di tempat ini masih bisa dilewati sepeda motor. Cit, cit, cit, terdengar suara burung. Gemericik sungai yang mengalir tertangkap telinga dan artinya, tidak lama lagi kami akan sampai
 di Pinto Rimba (pintu rimba).

Pinto Rimba memang ditandai dengan adanya sungai kecil. Atau biasa disebut Jalur Satu. Sungainya mengalir dalam selokan beton yang dibuat pada masa kolonial Belanda. Di sini tim istirahat sebentar, ambil air di sungai, bila tidak hati-hati bisa digigit pacet yang banyak terdapat di pinggir sungai.
 

“Hati-hati banyak pacet di sini, duduknya liat-liat dulu,” nasehat panitia.

“Alah, telat kali bilangnya udah digigit empat ini,” ujar Arnis sambil memperlihatkan darah di kakinya yang kemudian diolesinya dengan krim antinyamuk.

Selain itu, di Pinto Rimba juga ada sejumlah peringatan yang dipasang di pohon, tertulis dalam bahasa Indonesia dengan warna hitam, dan merah untuk bahasa Inggris. Isi peringatan itu adalah:

  • Utamakan kenyamanan diri dan makanan saat mendaki (take safely procedure climbing and food).
  • Dilarang keras mencemari sumber air di kawasan ini (don’t pollute of a well water in this area).
  • Dilarang merusak dan mengotori lingkungan (don’t destroy the environment).
  • Gunakan jalur yang telah ada (use the right way to climb).
  • Beristirahatlah bila lelah (take a rest if you are tired).
  • Jangan mendaki dalam cuaca buruk (don’t climb in bad climate)
Setelah berfoto bersama, rombongan kami pun bergegas melanjutkan perjalannan. Berjalan setapak satu per satu seperti berbaris, karena jalur yang sempit, menanjak dan licin. Sesekali terdengar suara burung dan binatang hutan lainnya yang tidak tampak. Kami berjalan menuju Jalur Dua. Di tempat ini jalannya sedikit menurun dan juga memiliki sungai kecil.

Setelah istirahat dan minum, rombongan berjalan lagi. Kali ini menuju Jalur Tiga. Kami sempat salah jalan karena ada peserta yang tidak sabar dan meninggalkan navigator di belakang.

Suara gemercik air pun terdengar dan akhirnya Jalur Tiga ada di depan mata. Ada sungai, ada pacet. Panitia menyuruh kami berhati-hati. Beberapa anggota panitia mengambil air dan memasukkannya ke dalam dirigen lalu disimpan di dalam tas ransel, karena Jalur Tiga merupakan sungai terakhir yang dapat ditemui dan sampai ke atas tidak akan ada sungai lagi. Makanya kami boleh minum sepuasnya sebelum harus menghemat air. Tempat ini berada pada ketinggian 750 mpdl, dan kami baru sampai ke sini pukul 11.30.

Suara gemericik air menjauh, tapi masih ada juga yang mengeluh digigit pacet. Jalan kembali menanjak, menurun, mendatar begitu seterusnya.

“Rute di sini memang susah, kalau Semeru ya bisa naik pake mobil dan jalurnya lumayan mudah,” kata Iqbal.

Semeru adalah nama gunung di Jawa. Gunung ini juga mengandung gas beracun. Tapi ia jadi tempat favorit para pendaki.
 

“Tapi dibandingkan dengan Glee Raja, saya lebih mending naik Seulawah sepuluh kali,” timpal Setia Budi.

Glee Raja berada di dekat desa Indrapuri, Aceh Besar. Memang gunung ini tidak setinggi Seulawah, tetapi untuk mencapainya harus melewati banyak bukit. Karena merupakan daerah yang banyak kandungan kapurnya, di tempat ini tidak banyak tersedia air. Dinamakan Glee Raja atau Gunung Raja karena gunung ini berada di tengah dan lebih tinggi dari bukit-bukit yang mengelilinginya.

Sebentar kemudian, rombongan terpencar, yang kuat berjalan di depan, yang kelelahan memilih istirahat, berjalan sepuluh langkah dan istirahat lagi. Sekarang kami yang berjalan di muka.

Rombongan saya sudah berada di ketinggian 920 mpdl. Sambil menunggu yang lain, kami istirahat di dekat pohon tumbang. Tampak pohon itu baru saja tumbang karena masih tercium bau kayu, masih ada serbuk kayu dan tampaknya roboh karena tiupan angin kencang kemarin.

Di samping pohon yang tumbang tadi ada tali merah yang diikat di ranting pohon kecil sebagai pertanda jalur bila ada yang tersesat.

Kami istirahat sambil makan coklat yang diberi panitia. Katanya, coklat sangat bagus sebagai penambah tenaga dan biar kuat kembali. Perkataan tadi ada benarnya juga, badan terasa kuat kembali dan tambah bersemangat.

Kiuw.... ada suara yang berteriak memecah suara alam, “kiuw...kiuw ... “ balas Iqbal yang memberi pertanda jalur yang dilalui oleh orang yang berteriak sudahlah benar. Kata “kiuw” dipilih karena dapat lebih menyatu dengan alam, jadi kedengaran lebih nyaring dibandingkan teriakan yang lain.

“Tidak ada binatang yang merasa terganggu dengan teriakan itu, karena suaranya mirip suara burung-burung,” ujar Putra.

Kelompok pertama melanjutkan perjalanan, menuju ke Pinto Angen (pintu angin), karena kami semua akan makan siang di pinto angen.

Jalan itu menanjak, makin mengecil, dan jurang menganga di sampingnya. Pinto Angen berada pada ketinggian 1,105 mpdl. Artinya, kami telah melewati separuh rute pendakian. Kami tiba pada pukul 13.45 di Pinto Angen dan panitia harus menyiapkan makan siang. Semuanya melepas lelah setelah hampir setengah hari berjalan mendaki dan hanya istirahat sebentar.
 

Tempat ini tak begitu luas, tapi tanahnya datar. Di bawah sana tampak hutan yang lebat dan jurang yang penuh dengan pohon-pohon.

Di Pinto Angen benar-benar banyak angin. Udara terasa sejuk. Di tempat ini juga disiapkan tujuh botol air mineral kosong yang telah dipotong setengah untuk digantung di pohon dan tanaman di sekitar Pinto Angen. Gunanya untuk menampung air hujan, agar bisa bertahan hidup bila tersesat. Karena lumayan terang, tempat ini terkadang dijadikan tempat berkemah. Saya melihat kupu-kupu warna-warni terbang, mendengar kicau burung yang merdu.

Setelah Pinto Angen, ada tempat yang diberi nama Jalan Halusinasi. Semua jalan terlihat sama di sini, sehingga banyak pendaki yang bingung memilih jalan. Setelah jalur halusinasi, ada tempat yang namanya Beringin Tujuh. Diberi nama Beringin Tujuh, karena di area ini dulunya memang ada tujuh pohon beringin. Tapi tidak ada yang berani yang mendirikan tenda di areal ini. Menurut orang yang pernah mendaki sebelumnya, di sini sering terjadi hal-hal ganjil dan tidak masuk akal.


“NAH! Tinggal 100 M lagi sampai ke puncak, jadi istirahat dulu karena sekarang lebih susah dari yang tadi,” ujar Iqbal.

“Kalau sekarang kemiringannya hampir 45º lebih dan jalannya banyak batu jadi harus lebih hati-hati lagi,” sahut Setia Budi.

“Jadi nanti kalau udah lelah, istirahat saja. Jangan terlalu dipaksa,” tambah Yahwa.

Akhirnya pada pukul 18.30, rombongan pertama sampai ke puncak. Mereka adalah Iqbal, Nana dan Arnis.

Puncak berkabut. Tak ada yang dapat dilihat. Udara sangat dingin, sampai tangan menjadi pucat. Ada pilar yang menandakan ini puncak dan tulisan “Gunung Seulawah Agam”.

“Kalian cepat ganti baju, kena hipotermia susah nanti,” kata Yahwa kepada peserta perempuan.

“Hipotermia, apa tu?” tanya Liza.

“Kedinginan tingkat tinggi, nanti minta dipeluk lagi,” jawab Arnis sambil ketawa.

Hipotermia adalah penurunan suhu tubuh dari suhu normal, yang menyebabkan kedinginan dan apabila tidak diatasi dengan cepat bisa berakibat fatal bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.

Tanpa banyak tanya, kami langsung ganti baju di semak-semak secara bergantian.

Keadaan bertambah gelap dan dingin. Sambil menunggu panitia membuat tenda, kami duduk di dekat pilar dan saling bercerita tentang perjalanan tadi.

Tenda pun sudah ada yang siap. Karena sudah waktu maghrib, peserta perempuan berwudhu seadanya dan masuk tenda. Tak lama kemudian langit betul-betul gelap bahkan tidak ada satu pun bintang yang terlihat di langit.

Api unggun mulai dinyalakan. Di sini ternyata ada sinyal telepon dan bahkan kami dapat mendengar siaran radio, bahkan kami sempat tahu kalau penyanyi Rio Febrian mau manggung di Blang Padang, Banda Aceh.

Tak lama kemudian, angin beserta hujan datang, memaksa semuanya bergegas ke tenda, tapi ada juga rombongan yang baru sampai.

Perut lapar dan dingin membuat beberapa peserta mengantuk. Sebelum akhirnya makan apa saja yang ada di dalam tas, seperti mi instan dan kripik. Setelah lelah bercerita, karena hujan tidak juga berhenti, sebagian peserta memilih untuk tidur dan saat itulah saya sadar kalau ada darah di kaki, karena gigitan pacet. Tak hanya satu tapi tiga gigitan yang masih membekas sampai sekarang ini.


JAM sudah menunjuk angka sembilan. Pagi itu kabut sudah mulai menipis tapi udara tetap dingin, bahkan kalau berbicara dapat mengeluarkan asap dari mulut. Saya dan Yazid sempat berlomba mengeluarkan asap yang banyak dari mulut.

Karena makanan belum siap, panitia memberikan kami air segelas untuk diminum berdua dan beberapa kerat roti. Sekarang saatnya bersantai, peserta boleh melakukan apa saja. Saya memilih tidur di tenda untuk menyimpan tenaga sambil mendengar lagu-lagu India yang diputar oleh salah satu stasiun radio yang ada di Banda Aceh. Perjalanan kemarin sangat melelahkan dan saya tidak mau itu terjadi kembali saat pulang. Kalau naik menggunakan kekuatan otot betis dan paha, sedangkan kalau turun nanti harus mengandalkan kekuatan kaki dan tumit. Keseimbangan sangat diperlukan.

Sulaiman berbagi cerita tentang mimpinya. Ia bermimpi kalau tenda tempat ia tidur diterbangkan angin hingga ke kedai kopi yang ada di kota. Sedangkan Arnis mimpi tendanya tertimpa pohon.


PUKUL 11.25 kabut kembali tebal, makanan pun sudah siap. Satu piring untuk dua orang. Lauknya sangat enak. Jantung pisang dimasak dengan terasi. Karena masih lapar, Adit dan Arnis yang seharusnya makan satu piring berdua, jadi makan dua piring.

Setelah makan, para peserta diminta bergegas mengemas kembali barang-barang mereka. Panitia juga melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, tenda pun dibongkar dan para peserta yang masih di bawah diminta mengumpulkan sampah untuk dibakar. Setelah semua selesai, mereka yang ada di bawah diminta naik ke puncak.

Kabut sudah tidak ada. Matahari bersinar cerah dan terang, tapi angin bertiup sepoi-sepoi. Acara foto-foto dimulai. Setelah itu peserta diminta tanggapannya setelah berhasil sampai ke puncak Seulawah. Ada yang heboh, ada yang narsis, ada juga yang tidak mau naik lagi tahun depan, capek dan tidak ada toilet alasannya.

Perjalanan turun dimulai pada pukul 14.15. Saya turun dengan sangat hati-hati dan lambat. Sesekali saya terpeleset dan hampir jatuh. Renaldi mengingatkan kalau turun nanti, posisi telapak kaki harus lurus dan dimiringkan sedikit.

“Turunnya cepat, kira-kira mau jatuh, tabrak aja pohon dengan tas,” kata Renaldi sambil memperagakan caranya. Terlihat mudah memang dan cara turunnya pun menjadi cepat, tapi buat pemula seperti saya, salah-salah bisa masuk jurang, pohonnya juga tidak semua bisa ditabrak atau dipeluk, karena terkadang di sekelilingnya ada duri.

Sebenarnya saya sudah tidak sanggup berjalan, selain haus dan sering jatuh, tenaga terkuras habis. Baju saya kotor, lutut bergetar kalau berhenti. Saya sempat melihat sekeliling sebelum akhirnya terjatuh.

“Sudah dibilang jangan melihat sekeliling, tapi liat juga,” ujar Lukman sambil membantu saya berdiri.

“Cuma mau hitung pohon beringinnya tapi kok nggak tujuh ya?” jawab saya seadanya.

“Hayooo... Nanti ada yang ikut tuuu, dah yuk jalan,” kata Lukman.

Awalnya saya tidak percaya, tetapi setelah mimpi bertemu hantu perempuan atau kuntilanak di tempat yang mirip Beringin Tujuh setelah pulang dari Seulawah, saya jadi memikirkan kata-katanya. Ada mitos yang mengatakan bahwa pohon beringin itu tidak boleh dihitung.
 

Akhirnya kami berhenti di Jalan Halusinasi. Sudah pukul 16.52.

Sampai di Jalur Tiga, kami masih istirahat dan akhirnya tas saya dibawa oleh Arnis. Beban menjadi ringan memang, tapi saya masih sempat-sempatnya terpelecok sampai tidak bisa berjalan dengan baik. Pukul 18.07 kami baru sampai ke Jalur Satu.

Malam menjelang saat kami beranjak ke dusun Suka Makmur. Percakapan kecil dilakukan seiring kaki melangkah sambil sesekali memalingkan wajah ke arah puncak Seulawah yang terlihat dari kejauhan.


KEADAAN Seulawah sekarang memang jauh berbeda dengan yang dulu. Paling tidak itulah yang dikatakan Syahrur Rizal alias Yahwa.

“Kalau dulu saat mendaki kita masih bisa melihat burung Racong tapi sekarang jangankan melihat, mendengar suaranya saja tidak, yang banyak cuma pohon Jelatang,” ujarnya, kecewa. Jelatang adalah sejenis rumput yang membuat gatal, panas dan merah bagian tubuh yang terkena daunnya.

Selain itu di kawasan Seulawah juga terjadi penebangan hutan yang biasanya diambil melalui jalur Lamteba, desa di kaki Seulawah yang berjarak 75 kilometer dari Seulimum. Apa jadinya bila kawasan ini rusak?
 

Dewa Gumay dari Flora Fauna International berkata, “Kalau kawasan Seulawah atau yang lebih luas lagi Tahura Pocut Meurah Intan rusak, maka binatang dan tumbuhan yang ada di dalamnya akan punah, tangkapan (daya resapan) air akan berkurang di Krueng Aceh.”

Dewa yang ketika saya temui mengenakan kaos hijau dengan tulisan “MENJAGA HUTAN, MELINDUNGI HIDUP”, juga menyayangkan adanya pembangunan markas Brimob (Brigadir Mobil) di kawasan Pocut Meurah Intan.

“Toh kawasan ini sudah lama menjadi hutan bahkan sebelum tahun 1930, dibuat Tahura kan untuk konteks perlindungan ekosistem di sana, ini kok malah dirusak keseimbangannya,” katanya.

Menurut Dewa, kalau terjadi kerusakan terus-menerus di kawasan ini maka sendimentasi akan tinggi, terjadi kekeringan kalau kemarau dan banjir di musim hujan di Krueng Aceh.

“Sepanjang Krueng Aceh dimanfaatkan untuk perairan rakyat, mulai dari perkebunan sampai ke pertanian, kan sayang....” ujarnya.

Bambang Antariksa, direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di Aceh, juga memberi komentar senada dengan Dewa.

“Dari zaman Belanda, kawasan Seulawah itu sudah dijadikan hutan lindung untuk persediaan air, begitu juga pada saat kerajaan Aceh,” kata Bambang.

Menurut Bambang, kondisi Tahura Pocut Meurah Intan sekarang sangat memprihatinkan, karena banyak pembukaan lahan tanpa izin, pembangunan markas Brimob, dan pembakaran pohon di kanan-kiri jalan untuk pembuatan jalan. Kalau tidak dilakukan upaya hukum yang tegas, tidak lama lagi kawasan ini akan rusak.
 

Untuk itu Bambang memberikan beberapa saran untuk keberadaan markas Brimob di kawasan hutan lindung itu, seperti jangka waktu keberadaan markas itu harus jelas, harus dijamin tidak akan terjadi kerusakan karenanya, status hukumnya harus terus diproses (tidak boleh mendirikan bangunan dalam hutan lindung), areal yang ada nantinya harus dipulihkan kembali, dan berikan areal lain di sekitar Seulawah yang bisa ditanami.

Ekosistem Seulawah jadi sumber air bagi kawasan Aceh Besar, Banda Aceh dan Sigli, Pidie.

“Kalau ini terganggu ya tinggal hitung waktu saja buat bencana ekologi datang,” ujar Bambang, seraya tersenyum getir.

Dampak lain yang dapat dirasakan adalah terjadinya konflik terbuka antara gajah dan penduduk sekitar karena kehidupan binatang berbelalai panjang itu terganggu.*** [Khiththati]


*Tulisan Ini Sudah Pernah dimuat di Aceh Feature Tahun 2008



Minggu, 23 November 2014

Kuch Kuch Hota Hai, Persahabatan yang menjadi Cinta

Tum Paas Aaye, Yoon Muskuraaye
Kau mendekatiku  lalu  tersenyum dengan manis
Tumne Na Jane Kya, Sapne Dikaaye
Kau bahkan tidak tau telah memberi aku mimpi
Abh To Mera Dil, Jage Na Sota Hai
Hari ini hatiku tidak terjaga dan tidak tidur
Kya Karon Hai, Kuch Kuch Hota Hai

Apa yang harus kulakukan, Sesuatu telah terjadi (di dalam hatiku)


Kuch Kuch Hota Hai, Film India yang di rilis pada 16 Oktober 1998 di India dan Inggris. Film yang mengambil lokasi syuting di India, Mauritania dan Scoklandia merupakan debut pertama Karan Johar sebagai Sutradara. film ini ceritanya di tulis sendiri oleh Karan Johar dan di Bintangi oleh Shah Rukh Khan, Kajol dan bintang pendatang baru saat itu Rani Mukherjee serta ada penampilan spesial Salman Khan.

Film yang membuat gaya baru untuk perfilman Bollywood ini mencapai sukses yang luar biasa, Film ini sukses secara Komersil dan merupakan film terbaik pada tahun itu dengan membawa pulang banyak penghargaan serta merupakan film hindi pertama yang masuk 10 besar film berpendapatan terbanyak di Inggris tidak hanya itu di Afrika Selatan penjualan tiket untuk film ini mengalahkan film paling fantastik saat itu Titanic.


Film yang mengambil tema "You Know When You In Love When Kuch Kuch Hota Hai (Kamu akan tau apa itu cinta setelah terjadi sesuatu - di dalam hati mu) mengubah banyak gaya dari kebanyakan film - film hindi sebelumnnya.

Saat Karan Johar menjadi asisten sutradara untuk film Dilwale Dulhania Le Jayengge, Suatu hari SRK pernah berkata "jika suatu hari kamu akan membuat film datanglah padaku nanti aq akan membantumu". Setelah film itu SRK, Kajol dan Karan Johar menjadi sahabat dekat sehingga Karan pun dengan percaya diri menawarkan naskah kepada SRK walaupun awalnya di tolak lagi-lagi dengan alasan terlalu Romantis namun SRK berjanji akan ikut dan merekapun merubah beberapa adengan.

"Proses film kami hampir selalu sama, Karan menawarkan Naskah aq menolak, Kajol menyukai naskah dan menangis, aku setuju kemudian kami mulai Syuting" SRK


Awalnya peran Tina untuk film ini adaah milik Twinkel Khana bahkan nama Tina sendiri adalah singkatan dari namanya. Namun kemudian dia menolak. Rani yang kemudian menjadi relawan dalam film ini kemudian tanpa di minta membaca naskah menyukai dan akhirnya syutingpun di mulai 21 Oktober 1997. Pada saat itu SRK sedang Syuting dua Film Dil se dan Kuch Kuch Hota Hai ia menayakan kepada Rani mana yang akan di ambilnya menjadi pemeran ke 3?, Rani memilih Kuch Kuch Hota Hai dan itu menjadi permulaan yang bagus untuk karirnya.

"Awalnya aku takut kepada SRK, Takut membuat banyak kesalahan namun dia memberikan banyak masukan dan saran untuk peran dan aktingku sekarang ketika di tawarkan sebuah film aku tidak akan memikirkannya dua kali jika yang menawarkanya Shahrukh atau Aamir Khan" Rani Mukherjee. Rani pernah tapi sebentar di Film Aamir Khan berjudul Mann sebagai penyanyi di Lagu "Kali Nagin Ke Jaise " itu penampilan pertamanya di layar kaca.


Masalah lainnya muncul karena teryata Karan Johar tidak begitu terbisa dengan kamera sehingga banyak pengambilan gambar yang kurang sempurna, SRK waktu itu dengan sabar memberikan masukan Kepadanya tentang Angel dan tehnik gambar. sehingga ketika memenangkan penghargaan Film Fire sebagai Sutradara terbaik Karan Mengatakan:

" Untuk Filmku selanjutnya adalah SRK" Karan Johar

Selain itu ketika terjadi kejadian lain yang juga sanggat di ingat oleh semua Kru film dimana Ketika pengambilan gambar untuk lagu "Yeh Ladka Hai Deewana" Pemeran Anjali ini terjatuh saat adengan bersepeda dengan posisi kepala pertama dan sempat hilang Ingatan selama seharian.

"Pada saat sadar Kajol terus betanya aku dimana dan kenapa saya disini" SRK

"Pada saat itu aku berfikir habislah semuanya dan mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk" Karan Johar

" Aq sungguh tidak ingat, hahahahaa apa yang terjadi saat itu" Kajol

Saya suka hampir semua baju di film ini terlebih Baju-baju Rahul ketika kuliah, dan sari serta Silwar yang cantik. film ini juga hampir semua pendukungnya adalah Tim Film Dilwale Dulhania Le Jayenge, sehingga Magic nya sangat terasa.

Kalau begitu ayo kita mulai saja ceritanya :

Shah Rukh Khan Sebagai Rahul



Kajol Sebagai Anjali



Rani Mukherjee sebagai Tina



"Hey, Rahul Mujse Dosti karoge (Hai, Rahul Maukah berteman denganku?)" Tina

Adegan di Rumah Sakit...

Tina mengalami pendarahan Internal saat akan melahirkan, Dia mengetahuinya namun ia tetap anaknya lahir.

"Saya ingin anak ini nanti mengenal ibunya, siapa ibunya dan bagaimana ibunya semua pertanyaan itu nantinya bisa di jawab melalu surat ini, saya meninggalkan 8 surat ini, 1 setiap hari ulang tahunnya , ibu " Tina

"Hey Rahul, berjanjilah kamu tidak pernah menangis, karena bagaimanapun kamu terlihat jelek saat menangis dan satu lagi berjanjilah kamu bisa memberi nama anak kita Anjali, I am Sorry Rahul really sorry" Tina.

Mumbai 8 tahun kemudian.

Seorang gadis kecil bernama Anjeli menunggu ayahnya pulang dari bandara dan dia keliahat kesal karena ayahnya terlambat. ayahnya adalah Rahul

"Papa, kamu tidak boleh begitu aq anakmu bukan Istrimu" Anjali Kecil

Besoknya ada lomba Speed Kontes disekolah, ayah dan neneknya juga datang dan Anjali mendapat Topik " Maa (Ibu)"

"Maa... Maa... Maa... Iam Sorry" Anjeli sambil menangis.




" Ibu, adalah orang yang sangat mencintai kita walaupun kadang kadang kita tidak mengerti, Ibu adalah seorang yang membuat kita sadar betapa baiknya kita dan tidak ada yang lebih baik dari kita, ibu yang kebahagiaannya ada dalam tawa kita dan kesedihannya ada dalam tangis kita, ibu adalah seseorang yang tidak bisa hidup ... ibu adalah segalanya tetapi hanya kita tidak memilikinya saya, tapi kita punya ayah yang di juga baik dan peluk aq" Rahul di sambut tepuk tangan.

Dirumah Rahul bermain basket dan tiba- tiba ibu nya datang dan membahas lamaran..

"Ada apa bu?" Rahul

" Entahlah Rahul, aku hanya merasa kalau keluargaini tidak lengkap" Ibu Rahul

"Kenapa bu?, ada ibu, saya dan Anjali saya tidak melihat yang mana kurang lengkapnya" Rahul.

"Kamu tahu Rahul setiap ibu keluar bersama teman teman mereka selalu menjelek jelekan menantu mereka, tapi ibu tdak bisa melakukannya" 



"oh, ckckc itu adalah masalah yang besar, jadi ibu ingin menantu untuk di jelek-jelek kan?"

" Tidak nak, ibu ingin kamu bahagia"

"Ibu aku sangat bahagia, sangat"

"apakah kamu tidak ingin menikah lagi?"

" Ma, kita hidup sekali, mati sekali  dan menikah juga sekali dan cinta juga sekali kita tidak akan menemukanya lagi"

"Kamu baik baik saja apa kamu tidak memikirkan Anjali?"

Jam 12 Malam

Happy Birthday Anjali

Ia mencari surat dari ibunya dari semua hadiah yang ada dan mulai membaca suara itu.

Meninggalkan surat sebuah ide yang bagus kan? saya juga mau... tolong kirim saya.

"Kamu sudah besar sekarang Anjeli dan ibu harap kamu mengerti apa yang akan ibu cerita sekarang ini . ibu akan bercerita tentang ayahmu, ibu dan Anjali"

"Anjali?"

Beberapa tahun yang lalu Rahul dan seorang gadis tomboy sedang bermain basket.

mereka selalu bermain basket bersama, berargumen dan bertengkar namun mereka adalah sahabat baik dan mahasiswa yang sangat terkenal di kampus.

Mereka  teman yang dekat, Rahul Khana seorang Playboy dan Anjali Sharma gadis tomboy yang tidak pernah tertarik dengan pesona Rahul. never katanya walaupun penjaga asrama putri pernah mengatakan bahwa Best Friend can be Boy Friend. Anjali selalu mengatakan Bahwa Rahul akan tetap menjadi teman baiknya.

Sampai suatu saat seorang mahasiswa baru datang dan dia cantik, feminim anak kepala sekolah dan pindahan luar negeri namanya Tina, kepala sekolah meminta Anjali berteman dengan anaknya. hari itu hari persahabatan.

Rahul selalu mengoda gadis gadis dikampusnya dan Anjeli selalu mengagalkanya :

"Rahul, apa kamu tidak bosan mengoda mereka?"

"aku tidak pernah mengejar mereka"

"Iya, aku tahu tapi tidak bisakah kamu mencari gadis yang cantik dan juga pintar?"

"Baik, Cantik dan Pintar, kapan aku akan mendapat gadis seperti itu?" Rahul

"Aku tidak pernah menemukan gadis itu di masa lalu ku, gadis yang ketika aq melihat nya akan terjadi sesuatu" 

"Terjadi sesuatu? Anjali

"Iya terjadi sesuatu dalam hatiku dan kamu tidak akan pernah mengerti"

"ketika dia berjalan, semua melihat padanya. ketika dia berhenti maka waktu akan berhenti, dan ketika dia tersenyum..."

"Dia, dia dan dia dan apa yang akan kamu lakukan jika bertemu dengannya?" Anjeli

"Yang akan kulakukan, emmm berlutut dihadapannya membuka kedua lenganku dan berkata siapapun kamu I Love You"

Saat itulah dia bertabrakan dengan Tina, musik pun berbunyi...

"I Love U"

"Sorry"

"Jangan katakan apapun, I Love U"

"Permisi " Tina

saat pertama bertemu Rahul malahan menjelek jelekkan kepala sekolah yang merupakan ayahnya Tina untuk usaha terakhir ia pun mengucapkan selamat hari persahabat dan mengeluarkan sebuah gelang yang nanti gelang ini terus di pakai Tina sampai akhir hayatnya.

"Teman? kita baru saja bertemu pertemanan adalah pembicaraan yang jauh" Ujar Tina sambil berlalu pergi.


"Bagaimana terjadi sesuatu?" Anjali

"Tidak, dia bukan tipeku dia lahir dan besar di london, mereka kurang mengerti budaya Hindustan, lagi pula perempuan itu harus menjadi rumah dan menjadi ibu you know she not my type"

"No she not my type kalau begitu terus kamu tidak akan menemukan jodoh mu" Anjali

"Kenapa, kan ada kamu jika aku tidak menemukan yang lain maka aku akan menikah dengan mu Anjeli"

"Aku??? tidak akan pernah"

Di kampus mereka membuat sebuah peraturan diaman anak baru diharuskan untuk menyanyi. Rahul menguji Tina untuk melakukannya, Rahul menyindir kalau dia dari luar negeri pasti tidak mengenal budaya tanah air dan bolehlah menyanyi DO RE MI walaupun Anjali sudah membela Tina dan sebagian yang lain memilih menonton. Namun Rahul Salah karena ternyata Tina Bisa menyanyi Hindi.



"Besar, Hidup dan kuliah di London tidak membuatku lupa dari mana aku berasal dan kamu juga tidak boleh lupa Itu " Tina



"Apa Itu Cinta?"

"Cinta... Cinta adalah Persahabatan. Jika dia Tidak bisa menjadi sahabatku maka aku tidak bisa mencintainya karena tanpa persahabatan tidak ada cinta disana" Rahul


"Jadi Ingin berteman dengan Ku?" Rahul

Kuch Kuch Hota Hai....


Ketika mereka mengisi acara di sekolah itulah Anjali menyadari dia menyukai Rahul namun Rahul asik bersama Tina. ternyata kita baru menyadarinya kalau kita mulai kehilangannya hahahaahahaha. itulah yang dirasakan anjeli.

"Anjali sejak kapan kamu mengenal Rahul" Tina

"Sejak hari pertama masuk kampus dan kami berlomba panco Rahul kalah dan sejak saat itu kami berteman baik"

"Rahul pasti sahabatmu?"

"Bukan aku yang sahabatnya" Anjali

"Apakah kamu mencintainya?" Tina

Itu yang tidak bisa di berikan jawabannya oleh Anjali.


"Kata Ayahku laki-laki itu harus menundukan kepalanya kepada 3 wanita, yang pertama Durga (Dewi dalam agama Hindu) Ibu mereka dan ..." Rahul

Coba tebak siapa?... wanita yang mereka cintai yang kelak akan menjadi istri mereka how romantis - hehehehe

Kuch Kuch Hota Hai...

Suatu malam mereka bertiga melihat bintang jatuh dan mulai berdoa...



"Berdoa Apa yang di inginkan oleh hati"


Tina Ingin Rahul


Rahul Ingin Tina


Anjali Ingin bersama Rahul

Suatu hari Anjali Dandan dan ingin terlihat seperti Tina, ia merubah segala caranya berpakaian dan ber make Up namun yang terjadi seluruh kampus menertawakanya termasuk Rahul.


" mereka tertawa karena mereka seperti aq, bodoh ...Anjali, kamu cantik karena kamu istimewa, paling tidak kamu tidak seperti gadis yang selalu aku kejar, kamu tahu apa kamu bisa mendapatkan semua laki-laki yang kamu mau yang kamu inginkan"

Cinta sebasar apapun itu harus selalu di katakan jika tidak tidak ada yang tahu, tapi bangaimana rasanya orang yang kita cintai mengatakan dia mencintai orang lain pada kita??? itulah yang di rasakan oleh Anjali.


"I Love U Anjali, Itu yang Ingin aku katakan Pada Tina, apa menurutmu Tina akan menerima ku?" Rahul



"Cinta pertamaku tidak pernah lengkap, Rafatbi" Kata Anjali

Rafatbi adalah penjaga asrama yang sudah dianggap Anjali sebagai Ibunya sendiri.

"Kamu bahkan tidak mengigat saya, sehingga tidak ada lagi yang dapat saya katakan, Hati menangis dan mata berkaca kaca, Aku memberika semua kebahagianku padamu memberikan semua senyumku pada mu kamu tidak pernah mempedulikan cintaku jadi tidak ada lagi yang tertinggal untuk di katakan"


"Kamu meninggalkan Kampus dan meninggalkanku tapi kamu bahkan tidak pernah mengatakannya Anjali" Rahul

....

"Hari itu aku menyadari, mungkin aku telah daang diantara Anjeli dan Rahul, Mungkin aku telah datang diantara dua sahabat, kebisuan Anjali memberitauku segalanya  dan pada hari itu aku sadar kalau dia mencintai ayah mu mungkin aku bahkan tidak mungkin mencintainya sebanyak itu, anjali bahkan tidak pernah menelphone maupun mengirim surat dia pergi jauh dari kehidupan kami, ayahmu selalu  berkata kalau cinta adalah persahabatan, ya aku menjadi temannya namun tidak pernah menjadi sahabatnya, nak ayahmu sekarang sendiri namun dia tidak pernah mengatakan apa apa dia butuh teman dan dia butuh cinta teman dan cinta itulah Anjali bawa kembali Anjali dalam kehidupan ayahmu, Kembalikan cinta pertama Anjali, mereka di ciptakan untuk bersama dan itu betul dan ini adalah impianku Tolong wujudkan keinginan Ibu"

....

Ketika Pertama Anjali Kecil Betemu Anjali Dia bertanya kenapa namamu Anjali

"Karena Ayah Ibuku menukai nama itu, lalu kenapa namamu Anjali?" Anjali

"Karena Ayah dan Ibuku menyukaimu" Anjali kecil





 










Love This Movie... Bagaimana Anjali Kecil mewujutkan Impian Ibunya?? Apakah Cinta Pertama Anjali Bersatu?

Anjali Kecil





Ketika Kamu Jatuh Cinta kamu akan merasakan sesuatu :)