Selasa, 25 November 2014

Mendaki Seulawah [Feature]

Kawasan hutan lindung Seulawah merupakan sumber air untuk tiga kawasan di Aceh. Ada jenis burung yang hilang, karena ekosistemnya terganggu. Markas Brimob juga dibangun di hutan lindung ini.

BUS kami melaju cepat. Sopir piawai membanting setir ke kanan dan ke kiri menghindari lubang. Jalan ditempuh adalah jalan pintas langsung tembus ke Lambaro tanpa harus melewati Jambotape. Berbatu dan becek, membuat duduk di bus tidak nyaman, karena goncangan yang hebat.

Jalan yang dilewati bus mengikuti arah hulu sungai Lamnyong, melewati pohon-pohon pisang, barak pengungsian yang setengah terbongkar dan rumah bantuan warna-warni yang memiliki antena televisi sebelum akhirnya kembali ke jalan aspal Lambaro Kafe.

“Sebenarnya Krueng Aceh itu gabungan dari dua sungai,” ujar Syahrul Rizal membuka keheningan, walaupun hanya beberapa orang yang dapat mendengarkannya.

”Krueng Agam di Jantho dan krueng Inoeng di Lamtamot yang bertemu di bendungan Teurebeh,” lanjut cowok yang disapa “Yahwa” oleh teman-temannya ini.

Bus terus melaju. Dari jendela sudah terlihat bukit- bukit yang menghijau. Hari itu tanggal 11 Mei 2007.

Kami akan menuju Saree, Aceh Besar, untuk mendaki Gunung Seulawah Agam. Gunung ini berada di kecamatan Seulimum, Aceh Besar. Letaknya di 5° 25, 5’ Lintang Utara dan 95° 36’ Bujur Timur, dengan ketinggian 1.809 meter dari permukaan laut (mpdl) tetapi ada juga yang menyebutkan 1.726 mpdl. Selain Seulawah Agam, terdapat juga Seulawah Dara di sebelahnya. Kedua gunung ini dipisahkan oleh lembah Seulawah. Yang membedakan keduanya adalah gunung Seulawah Agam memiliki puncak mengerucut, sedangkan gunung Seulawah Dara datar saja.

Jarak Seulawah Agam dari Banda Aceh sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil, melalui jalur Saree.

“Sebenarnya dulu ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk mendaki, jalur Saree, dan jalur Lamteuba, tapi jalur itu sudah lama tidak digunakan” ujar Syahrur Rizal.

Jalur Lamteuba sudah ditumbuhi pepohonan dan tak terlihat lagi bekasnya.

Pendakian ini merupakan kegiatan mahasiswa pecinta alam (Mapala) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar Raniry, Banda Aceh, yang dinamai “Sebar” atau “Seulawah Bareng”. Ini “Sebar” yang keempat kali, dengan tema
 Bangkitkan Seumangat Pocut Meurah Intan.

Acara ini sebenarnya telah diundur beberapa kali karena berbagai hal dan akhirnya terselenggara juga di bulan Mei 2007.


JAM sudah menunjukkan pukul 17.03. Gunung Seulawah terlihat semakin dekat. Karena pegal sudah duduk lama, hampir seluruh isi bus turun untuk istirahat, merokok dan berfoto bersama. Di toko yang kami singgahi tertulis namanya, “Warkop AC Milan”, nama tim sepak bola terkenal asal Italia.

“Betul
 nggak itu gunung yang bakal kita naiki. Aduh, mending ada yang mau ngangkat tas kita,” ujar Liza dengan nada yang tidak yakin sambil menunjuk Seulawah.

“Yang benar aja? tas sendiri juga berat,” jawab yang lain.

Kini kami hampir sampai di Saree. Jalan berliku-liku, diselingi tikungan tajam. Sopir tetap melarikan bus dengan kecepatan tinggi. Saat mobil berbelok di tikungan, tas ransel yang tersusun rapi di bangku belakang jatuh menimpa orang yang duduk di lantai bus. Berkali-kali. Bahkan Fajri hampir saja terjatuh ke luar bus, tetapi dengan sigap Lukman dan Zikri menangkapnya, sehingga dia “hanya” jatuh menimpa Multazam.

Pohon-pohon pinus sudah kelihatan jelas, berarti sekarang bus sudah memasuki areal taman hutan raya (Tahura) Pocut Meurah Intan. Sejauh mata memandang hanya terlihat kerimbunan pohon, hijau menyejukkan. Di samping jalan, juga ada pamflet yang bertuliskan “Insya Allah Hutan Lestari Rakyat Sejahtera”.

Tahura ini sendiri awalnya bernama Cut Nyak Dien, tokoh perempuan pejuang Aceh. Pocut Meurah Intan diambil dari sebuah legenda rakyat tentang seekor gajah. Di kawasan ini memang banyak gajah. Bahkan ada gajah yang dilatih khusus di kawasan ini dan bisa bermain sepak bola.

Tahura Pocut Meurah Intan ditetapkan dengan surat keputusan menteri kehutanan No.95/ kp-II / 2001, tanggal 15 Maret 2001. Dari luas awal 10.000 hektare, hanya 6.300 yang dijadikan Tahura. Kerimbunan Tahura ini juga menjadi jaminan bagi pasokan air di provinsi ini di masa depan.

Namun, tak lama kemudian, kami dikejutkan dengan pemandangan yang tak berhubungan dengan keindahan alam dan sejuknya udara. Di kawasan ini terlihat adanya pembangunan besar-besaran. Di gardu depan komplek itu tertulis “Markas Komando Brimob Polda Nanggroe Aceh Darussalam”. Letak komplek ini benar-benar berada di tengah hutan lindung yang sebenarnya tidak boleh didirikan bangunan apa pun yang bisa merusak ekosistemnya. Rencana proyek militer ini akan menghabiskan sekitar 12 hektare areal hutan raya

“Sebenarnya di kawasan hutan raya nggak boleh dibuat bangunan, tapi kalau untuk polisi dan tentara mungkin boleh. Kan mereka yang punya negara,” ujar Syahrul Rizal, dengan nada yang kecewa atas hukum di negara Indonesia.

Sampai di pasar Saree, mobil berhenti. Satu per satu penumpang turun untuk membeli makanan khas Saree. “Kripep kripik Saree, nyan payah troen (keripik Saree, harus turun),” ujar Sulaiman. Saat itu sudah pukul 17.40 dan di pasar itu hampir tidak ada kios yang tidak menjajakan keripik talas, ubi jalar atau singkong yang dipajang rapi memanjang. Selain kripik, tape juga dijual di situ.

Warnanya ada yang ungu, merah, kuning sampai putih. Selain itu, juga ada yang menjual martabak, bahkan sampai ke dalam mobil yang kami tumpangi.

Sisa perjalanan sore itu kami tempuh dengan banyak bergurau.

Bus masuk ke perkampungan. Jalan berbatu, tak beraspal. Jarak rumah yang satu ke rumah yang lain sangat jarang. Kami sempat bertemu dengan orang kampung yang mengingatkan kami untuk berhati-hati kalau ingin mendaki Seulawah, karena kemarin angin ribut baru saja melanda kawasan ini.

Kami kemudian singgah di sebuah rumah untuk shalat ashar. Rumah itu disebut sebagai “rumah Pak Toni”, karena pemiliknya bernama Toni. Ada beberapa pohon di depan dan di samping rumah, juga ada bunga-bunga. Hanya teras, ruang tamu, dan kamar yang berlantaikan semen, sedangkan ruang makan dan dapurnya berlantaikan tanah. Dapur memang tidak terpisah dari rumah dan sedikit terbuka. Ada dua kompor aluminium dan satu tungku kayu di situ. Di kamar mandinya, hanya ada bak mandi, tanpa kakus, dan agak terbuka. Airnya dingin. Di belakang rumah terdapat kandang ayam dan kambing.

“Nggak apa-apa, Bu kalau dapurnya begini? Waktu ada angin gimana?” tanya saya selepas dari kamar mandi.

“Nggak mengapalah dek yang penting ada,
 ginilah nasib orang desa,” jawab istri pemilik rumah sambil tersenyum.

“Ibu orang sini?” tanya saya lagi.

“Saya orang Meulaboh (Aceh Barat), bapak yang orang sini,” jawabnya, mengakhiri pembicaraan karena harus meniup api di tungku.

Setelah shalat dan istirahat sebentar, saya dan teman-teman melanjutkan perjalanan menuju mushala. Saat hendak keluar rumah, saya melihat stiker di dinding luar dekat pintu masuk. Di situ tertulis: “Keluarga Miskin Mendapatkan Bantuan Langsung Tunai.”

Jalan terus menanjak. Sampai di mushala pukul 18.35. Di sampingnya ada sungai kecil. Mushala itu berada di dusun Suka Makmur, Saree RT 03/04. Ini dusun terakhir sebelum Seulawah Agam.


UDARA sudah terasa dingin, tapi ada beberapa peserta yang main-main air di sungai. Selain kami ada juga seorang perempuan setengah baya yang mencuci baju di sungai. Namanya Yati. Rumahnya berada tepat di samping mushala. Seperti kebanyakan penduduk Suka Makmur yang menjadi petani palawija, Yati juga petani. Ia bersama suami memiliki ladang jagung dan bengkoang.

“Kami di sini nggak ada yang merhatiin dek,
 jadi berusaha bantu diri sendiri,” ujar Yati saat ditanya tentang bantuan yang pernah diterima.

Di samping Yati, ada beberapa buah bengkoang. Karena lapar, dua teman saya, Sulaiman dan Aditia, meminta beberapa buah untuk dimakan.

“Hati-hati makannya ada yang sudah busuk, kalau kalian pergi kemarin mungkin masih ada jagung,” ujar Yati kemudian.

Menjelang maghrib, Yati bergegas pulang ke rumahnya. Akhirnya kami juga bergegas pergi setelah mendengar adzan dari mushala. Ada yang memutuskan untuk wudhu di sungai. Ada juga yang wudhu di belakang rumah seorang penduduk yang disebut Pak Bono, yang berada di belakang mushala. Di dekat mushala cuma ada dua rumah.

Saat berada di kamar mandi yang terbuka, kami bertemu dengan seorang nenek berbaju hijau, berkain batik dan bersongkok putih.

“Kalau kalian mau mandi, itu ada basahan memang susah sedikit karena terbuka,” ujar nenek itu sambil terus berwudhu.

“Saya orang Meulaboh, tahun 1971 pindah ke sini, dulu tinggal di sana, eem sudah jadi belukar lagi kan?” jawab nenek itu sambil menunjuk ke arah belakang rumahnya yang sudah jadi semak-belukar lagi.

“Saya masuk dulu, mau salat. Kalau kalian mau mandi, sekarang saja kalau nanti lebih dingin lagi,” ujarnya, sambil bergegas masuk ke rumah.
 

Karena hari sudah cukup gelap dan semakin dingin, tidak ada seorang pun mandi, setelah wudhu semuanya bergegas ke mushala.

Yang shalat di mushala cuma imamnya saja penduduk setempat, selebihnya anggota rombongan kami.
 

Dari arah mushala ke sungai, berdiri sambil melihat ke bawah, kita akan melihat pemandangan pasar Saree di malam hari yang berhiaskan lampu.

“Wah, cantik kali, gimana di puncak ya,” ujar Nana takjub.


PADA pukul 22.00 ta’aruf atau perkenalan pun dimulai. Dari memperkenalkan nama, kuliah sampai tujuan naik Seulawah. Di sinilah para peserta dan panitia “Sebar” mulai bisa membaur, tertawa bersama, bahkan suara tawa itu membuat Yati ke mushala untuk memberi tahu bahwa anaknya tidak bisa tidur karena terlalu berisik. Selain ta’aruf, kami diberitahu soal tata krama di gunung. Seperti tidak boleh takabur, riya’ apalagi buang sampah sembarangan.

Selain itu kami juga diberitahu tata krama tinggal di dusun Suka Makmur ini, seperti jangan dekat-dekat dengan kebun yang ada lampu menyala karena bisa kesetrum, walaupun tidak ada kakus, dilarang buang air besar sembarangan apalagi di sungai.

Setelah acara ta’aruf selesai, waktu tidur dimulai.
 

Keesokan harinya, pada pukul 05.30 imam mushola datang.

“Ya, Allah umat Nabi Muhammad ini masih tidur,” ujar pak imam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sontak beberapa orang langsung terbangun. Tapi tidak demikian halnya dengan Sulaiman, ia tetap tidur walaupun pak imam menepuk-nepuk bahunya. Sulaiman tidur di atas tempat shalat imam!. Tapi ia tidak menghiraukannya dan terus tidur. Selain Sulaiman, ada juga yang menarik kembali selimutnya dan melanjutkan tidur.
 

Pagi yang dingin, kicau burung terdengar indah, suara jangkerik juga masih terdengar, sesekali juga tertangkap pekik lutung dari arah gunung. Matahari sudah mulai meninggi padahal baru pukul 06.30. Berjalan-jalan di sekitar mushala sambil menghirup udara segar, itu yang dilakukan oleh kami sambil menunggu sarapan pagi.

“Eh, yang itu laut bukan?” tanya saya kepada Nana.

“Ah, mana ada? Paling cuma kabut. Masa’ laut nggak gerak-gerak,” jawab Nana.

“Iya, eh itu laut, kalau nggak salah itu Samudera Hindia, yang hitam itu kan perahu,” timpal Yazid, yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri.

“Mana ada, paling itu cuma monyet yang lagi mandi,” ucap Nana bercanda.

Dari mushala itu memang kelihatan laut kalau kita menghadap ke arah timur. Karena menurut Iqbal, mushala ini sudah berada pada ketinggian 640 mpdl. Bahkan ada beberapa orang yang mengatakan kalau jalan Saree sengaja dibangun oleh penjajah kolonial Belanda untuk memantau perairan dan kapal-kapal di selat Malaka.

Iqbal atau lebih suka dipanggil Qobel adalah navigator dalam pendakian Seulawah ini. Navigator adalah orang yang akan menunjukkan arah. Biasanya alat yang dipakai oleh navigator adalah kompas atau Global Positioning System (GPS). GPS merupakan alat navigasi elektronik yang dioperasikan dengan menggunakan satelit dan sangat tergantung pada cuaca.

“Alah cuma segini gunungnya, paling sebentar juga udah nyampek,” ucap Arnis.
 

“Memang kalau kalian lihat gunungnya udah dekat, tapi paling cepat nanti kita sampai sore kalau berangkatnya sekarang,” tukas Yazid.

“Jadi lama ya sampainya?” tanya Nana.

“Liat aja nanti,” jawab Yazid.

Setelah sarapan, semua sibuk berbenah dan mengepak kembali barang bawaannya. Tidak lupa panitia menyarankan untuk memakai krim antinyamuk, selain untuk mengantisipasi malaria, juga untuk menghindari gigitan pacet atau lintah yang banyak terdapat di dekat sungai nanti.
 

Pukul 10.00 kami mulai bergerak. Peserta dibagi dalam tiga tim dan masing-masing tim didampingi oleh panitia untuk mengantisipasi berpencarnya peserta. Jalan menanjak, berbatu. Sesekali tampak rumah penduduk yang diselingi ladang luas.
 

Dusun Suka Makmur adalah dusun transmigrasi. Saat konflik warganya harus meninggalkan tempat ini. Belum banyak yang kembali sampai sekarang. Mereka meninggalkan rumah kosong dan tak terawat sehingga ditumbuhi belukar.

“Sewaktu mendaki Seulawah tahun 2003 di sini lebih sepi dan tak ada penduduk. Mereka lari karena konflik Aceh semakin memanas,” kenang Nur Fadhilah.

Jalan setapak membawa kami memasuki hutan. Tapi di tempat ini masih bisa dilewati sepeda motor. Cit, cit, cit, terdengar suara burung. Gemericik sungai yang mengalir tertangkap telinga dan artinya, tidak lama lagi kami akan sampai
 di Pinto Rimba (pintu rimba).

Pinto Rimba memang ditandai dengan adanya sungai kecil. Atau biasa disebut Jalur Satu. Sungainya mengalir dalam selokan beton yang dibuat pada masa kolonial Belanda. Di sini tim istirahat sebentar, ambil air di sungai, bila tidak hati-hati bisa digigit pacet yang banyak terdapat di pinggir sungai.
 

“Hati-hati banyak pacet di sini, duduknya liat-liat dulu,” nasehat panitia.

“Alah, telat kali bilangnya udah digigit empat ini,” ujar Arnis sambil memperlihatkan darah di kakinya yang kemudian diolesinya dengan krim antinyamuk.

Selain itu, di Pinto Rimba juga ada sejumlah peringatan yang dipasang di pohon, tertulis dalam bahasa Indonesia dengan warna hitam, dan merah untuk bahasa Inggris. Isi peringatan itu adalah:

  • Utamakan kenyamanan diri dan makanan saat mendaki (take safely procedure climbing and food).
  • Dilarang keras mencemari sumber air di kawasan ini (don’t pollute of a well water in this area).
  • Dilarang merusak dan mengotori lingkungan (don’t destroy the environment).
  • Gunakan jalur yang telah ada (use the right way to climb).
  • Beristirahatlah bila lelah (take a rest if you are tired).
  • Jangan mendaki dalam cuaca buruk (don’t climb in bad climate)
Setelah berfoto bersama, rombongan kami pun bergegas melanjutkan perjalannan. Berjalan setapak satu per satu seperti berbaris, karena jalur yang sempit, menanjak dan licin. Sesekali terdengar suara burung dan binatang hutan lainnya yang tidak tampak. Kami berjalan menuju Jalur Dua. Di tempat ini jalannya sedikit menurun dan juga memiliki sungai kecil.

Setelah istirahat dan minum, rombongan berjalan lagi. Kali ini menuju Jalur Tiga. Kami sempat salah jalan karena ada peserta yang tidak sabar dan meninggalkan navigator di belakang.

Suara gemercik air pun terdengar dan akhirnya Jalur Tiga ada di depan mata. Ada sungai, ada pacet. Panitia menyuruh kami berhati-hati. Beberapa anggota panitia mengambil air dan memasukkannya ke dalam dirigen lalu disimpan di dalam tas ransel, karena Jalur Tiga merupakan sungai terakhir yang dapat ditemui dan sampai ke atas tidak akan ada sungai lagi. Makanya kami boleh minum sepuasnya sebelum harus menghemat air. Tempat ini berada pada ketinggian 750 mpdl, dan kami baru sampai ke sini pukul 11.30.

Suara gemericik air menjauh, tapi masih ada juga yang mengeluh digigit pacet. Jalan kembali menanjak, menurun, mendatar begitu seterusnya.

“Rute di sini memang susah, kalau Semeru ya bisa naik pake mobil dan jalurnya lumayan mudah,” kata Iqbal.

Semeru adalah nama gunung di Jawa. Gunung ini juga mengandung gas beracun. Tapi ia jadi tempat favorit para pendaki.
 

“Tapi dibandingkan dengan Glee Raja, saya lebih mending naik Seulawah sepuluh kali,” timpal Setia Budi.

Glee Raja berada di dekat desa Indrapuri, Aceh Besar. Memang gunung ini tidak setinggi Seulawah, tetapi untuk mencapainya harus melewati banyak bukit. Karena merupakan daerah yang banyak kandungan kapurnya, di tempat ini tidak banyak tersedia air. Dinamakan Glee Raja atau Gunung Raja karena gunung ini berada di tengah dan lebih tinggi dari bukit-bukit yang mengelilinginya.

Sebentar kemudian, rombongan terpencar, yang kuat berjalan di depan, yang kelelahan memilih istirahat, berjalan sepuluh langkah dan istirahat lagi. Sekarang kami yang berjalan di muka.

Rombongan saya sudah berada di ketinggian 920 mpdl. Sambil menunggu yang lain, kami istirahat di dekat pohon tumbang. Tampak pohon itu baru saja tumbang karena masih tercium bau kayu, masih ada serbuk kayu dan tampaknya roboh karena tiupan angin kencang kemarin.

Di samping pohon yang tumbang tadi ada tali merah yang diikat di ranting pohon kecil sebagai pertanda jalur bila ada yang tersesat.

Kami istirahat sambil makan coklat yang diberi panitia. Katanya, coklat sangat bagus sebagai penambah tenaga dan biar kuat kembali. Perkataan tadi ada benarnya juga, badan terasa kuat kembali dan tambah bersemangat.

Kiuw.... ada suara yang berteriak memecah suara alam, “kiuw...kiuw ... “ balas Iqbal yang memberi pertanda jalur yang dilalui oleh orang yang berteriak sudahlah benar. Kata “kiuw” dipilih karena dapat lebih menyatu dengan alam, jadi kedengaran lebih nyaring dibandingkan teriakan yang lain.

“Tidak ada binatang yang merasa terganggu dengan teriakan itu, karena suaranya mirip suara burung-burung,” ujar Putra.

Kelompok pertama melanjutkan perjalanan, menuju ke Pinto Angen (pintu angin), karena kami semua akan makan siang di pinto angen.

Jalan itu menanjak, makin mengecil, dan jurang menganga di sampingnya. Pinto Angen berada pada ketinggian 1,105 mpdl. Artinya, kami telah melewati separuh rute pendakian. Kami tiba pada pukul 13.45 di Pinto Angen dan panitia harus menyiapkan makan siang. Semuanya melepas lelah setelah hampir setengah hari berjalan mendaki dan hanya istirahat sebentar.
 

Tempat ini tak begitu luas, tapi tanahnya datar. Di bawah sana tampak hutan yang lebat dan jurang yang penuh dengan pohon-pohon.

Di Pinto Angen benar-benar banyak angin. Udara terasa sejuk. Di tempat ini juga disiapkan tujuh botol air mineral kosong yang telah dipotong setengah untuk digantung di pohon dan tanaman di sekitar Pinto Angen. Gunanya untuk menampung air hujan, agar bisa bertahan hidup bila tersesat. Karena lumayan terang, tempat ini terkadang dijadikan tempat berkemah. Saya melihat kupu-kupu warna-warni terbang, mendengar kicau burung yang merdu.

Setelah Pinto Angen, ada tempat yang diberi nama Jalan Halusinasi. Semua jalan terlihat sama di sini, sehingga banyak pendaki yang bingung memilih jalan. Setelah jalur halusinasi, ada tempat yang namanya Beringin Tujuh. Diberi nama Beringin Tujuh, karena di area ini dulunya memang ada tujuh pohon beringin. Tapi tidak ada yang berani yang mendirikan tenda di areal ini. Menurut orang yang pernah mendaki sebelumnya, di sini sering terjadi hal-hal ganjil dan tidak masuk akal.


“NAH! Tinggal 100 M lagi sampai ke puncak, jadi istirahat dulu karena sekarang lebih susah dari yang tadi,” ujar Iqbal.

“Kalau sekarang kemiringannya hampir 45ยบ lebih dan jalannya banyak batu jadi harus lebih hati-hati lagi,” sahut Setia Budi.

“Jadi nanti kalau udah lelah, istirahat saja. Jangan terlalu dipaksa,” tambah Yahwa.

Akhirnya pada pukul 18.30, rombongan pertama sampai ke puncak. Mereka adalah Iqbal, Nana dan Arnis.

Puncak berkabut. Tak ada yang dapat dilihat. Udara sangat dingin, sampai tangan menjadi pucat. Ada pilar yang menandakan ini puncak dan tulisan “Gunung Seulawah Agam”.

“Kalian cepat ganti baju, kena hipotermia susah nanti,” kata Yahwa kepada peserta perempuan.

“Hipotermia, apa tu?” tanya Liza.

“Kedinginan tingkat tinggi, nanti minta dipeluk lagi,” jawab Arnis sambil ketawa.

Hipotermia adalah penurunan suhu tubuh dari suhu normal, yang menyebabkan kedinginan dan apabila tidak diatasi dengan cepat bisa berakibat fatal bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.

Tanpa banyak tanya, kami langsung ganti baju di semak-semak secara bergantian.

Keadaan bertambah gelap dan dingin. Sambil menunggu panitia membuat tenda, kami duduk di dekat pilar dan saling bercerita tentang perjalanan tadi.

Tenda pun sudah ada yang siap. Karena sudah waktu maghrib, peserta perempuan berwudhu seadanya dan masuk tenda. Tak lama kemudian langit betul-betul gelap bahkan tidak ada satu pun bintang yang terlihat di langit.

Api unggun mulai dinyalakan. Di sini ternyata ada sinyal telepon dan bahkan kami dapat mendengar siaran radio, bahkan kami sempat tahu kalau penyanyi Rio Febrian mau manggung di Blang Padang, Banda Aceh.

Tak lama kemudian, angin beserta hujan datang, memaksa semuanya bergegas ke tenda, tapi ada juga rombongan yang baru sampai.

Perut lapar dan dingin membuat beberapa peserta mengantuk. Sebelum akhirnya makan apa saja yang ada di dalam tas, seperti mi instan dan kripik. Setelah lelah bercerita, karena hujan tidak juga berhenti, sebagian peserta memilih untuk tidur dan saat itulah saya sadar kalau ada darah di kaki, karena gigitan pacet. Tak hanya satu tapi tiga gigitan yang masih membekas sampai sekarang ini.


JAM sudah menunjuk angka sembilan. Pagi itu kabut sudah mulai menipis tapi udara tetap dingin, bahkan kalau berbicara dapat mengeluarkan asap dari mulut. Saya dan Yazid sempat berlomba mengeluarkan asap yang banyak dari mulut.

Karena makanan belum siap, panitia memberikan kami air segelas untuk diminum berdua dan beberapa kerat roti. Sekarang saatnya bersantai, peserta boleh melakukan apa saja. Saya memilih tidur di tenda untuk menyimpan tenaga sambil mendengar lagu-lagu India yang diputar oleh salah satu stasiun radio yang ada di Banda Aceh. Perjalanan kemarin sangat melelahkan dan saya tidak mau itu terjadi kembali saat pulang. Kalau naik menggunakan kekuatan otot betis dan paha, sedangkan kalau turun nanti harus mengandalkan kekuatan kaki dan tumit. Keseimbangan sangat diperlukan.

Sulaiman berbagi cerita tentang mimpinya. Ia bermimpi kalau tenda tempat ia tidur diterbangkan angin hingga ke kedai kopi yang ada di kota. Sedangkan Arnis mimpi tendanya tertimpa pohon.


PUKUL 11.25 kabut kembali tebal, makanan pun sudah siap. Satu piring untuk dua orang. Lauknya sangat enak. Jantung pisang dimasak dengan terasi. Karena masih lapar, Adit dan Arnis yang seharusnya makan satu piring berdua, jadi makan dua piring.

Setelah makan, para peserta diminta bergegas mengemas kembali barang-barang mereka. Panitia juga melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, tenda pun dibongkar dan para peserta yang masih di bawah diminta mengumpulkan sampah untuk dibakar. Setelah semua selesai, mereka yang ada di bawah diminta naik ke puncak.

Kabut sudah tidak ada. Matahari bersinar cerah dan terang, tapi angin bertiup sepoi-sepoi. Acara foto-foto dimulai. Setelah itu peserta diminta tanggapannya setelah berhasil sampai ke puncak Seulawah. Ada yang heboh, ada yang narsis, ada juga yang tidak mau naik lagi tahun depan, capek dan tidak ada toilet alasannya.

Perjalanan turun dimulai pada pukul 14.15. Saya turun dengan sangat hati-hati dan lambat. Sesekali saya terpeleset dan hampir jatuh. Renaldi mengingatkan kalau turun nanti, posisi telapak kaki harus lurus dan dimiringkan sedikit.

“Turunnya cepat, kira-kira mau jatuh, tabrak aja pohon dengan tas,” kata Renaldi sambil memperagakan caranya. Terlihat mudah memang dan cara turunnya pun menjadi cepat, tapi buat pemula seperti saya, salah-salah bisa masuk jurang, pohonnya juga tidak semua bisa ditabrak atau dipeluk, karena terkadang di sekelilingnya ada duri.

Sebenarnya saya sudah tidak sanggup berjalan, selain haus dan sering jatuh, tenaga terkuras habis. Baju saya kotor, lutut bergetar kalau berhenti. Saya sempat melihat sekeliling sebelum akhirnya terjatuh.

“Sudah dibilang jangan melihat sekeliling, tapi liat juga,” ujar Lukman sambil membantu saya berdiri.

“Cuma mau hitung pohon beringinnya tapi kok nggak tujuh ya?” jawab saya seadanya.

“Hayooo... Nanti ada yang ikut tuuu, dah yuk jalan,” kata Lukman.

Awalnya saya tidak percaya, tetapi setelah mimpi bertemu hantu perempuan atau kuntilanak di tempat yang mirip Beringin Tujuh setelah pulang dari Seulawah, saya jadi memikirkan kata-katanya. Ada mitos yang mengatakan bahwa pohon beringin itu tidak boleh dihitung.
 

Akhirnya kami berhenti di Jalan Halusinasi. Sudah pukul 16.52.

Sampai di Jalur Tiga, kami masih istirahat dan akhirnya tas saya dibawa oleh Arnis. Beban menjadi ringan memang, tapi saya masih sempat-sempatnya terpelecok sampai tidak bisa berjalan dengan baik. Pukul 18.07 kami baru sampai ke Jalur Satu.

Malam menjelang saat kami beranjak ke dusun Suka Makmur. Percakapan kecil dilakukan seiring kaki melangkah sambil sesekali memalingkan wajah ke arah puncak Seulawah yang terlihat dari kejauhan.


KEADAAN Seulawah sekarang memang jauh berbeda dengan yang dulu. Paling tidak itulah yang dikatakan Syahrur Rizal alias Yahwa.

“Kalau dulu saat mendaki kita masih bisa melihat burung Racong tapi sekarang jangankan melihat, mendengar suaranya saja tidak, yang banyak cuma pohon Jelatang,” ujarnya, kecewa. Jelatang adalah sejenis rumput yang membuat gatal, panas dan merah bagian tubuh yang terkena daunnya.

Selain itu di kawasan Seulawah juga terjadi penebangan hutan yang biasanya diambil melalui jalur Lamteba, desa di kaki Seulawah yang berjarak 75 kilometer dari Seulimum. Apa jadinya bila kawasan ini rusak?
 

Dewa Gumay dari Flora Fauna International berkata, “Kalau kawasan Seulawah atau yang lebih luas lagi Tahura Pocut Meurah Intan rusak, maka binatang dan tumbuhan yang ada di dalamnya akan punah, tangkapan (daya resapan) air akan berkurang di Krueng Aceh.”

Dewa yang ketika saya temui mengenakan kaos hijau dengan tulisan “MENJAGA HUTAN, MELINDUNGI HIDUP”, juga menyayangkan adanya pembangunan markas Brimob (Brigadir Mobil) di kawasan Pocut Meurah Intan.

“Toh kawasan ini sudah lama menjadi hutan bahkan sebelum tahun 1930, dibuat Tahura kan untuk konteks perlindungan ekosistem di sana, ini kok malah dirusak keseimbangannya,” katanya.

Menurut Dewa, kalau terjadi kerusakan terus-menerus di kawasan ini maka sendimentasi akan tinggi, terjadi kekeringan kalau kemarau dan banjir di musim hujan di Krueng Aceh.

“Sepanjang Krueng Aceh dimanfaatkan untuk perairan rakyat, mulai dari perkebunan sampai ke pertanian, kan sayang....” ujarnya.

Bambang Antariksa, direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di Aceh, juga memberi komentar senada dengan Dewa.

“Dari zaman Belanda, kawasan Seulawah itu sudah dijadikan hutan lindung untuk persediaan air, begitu juga pada saat kerajaan Aceh,” kata Bambang.

Menurut Bambang, kondisi Tahura Pocut Meurah Intan sekarang sangat memprihatinkan, karena banyak pembukaan lahan tanpa izin, pembangunan markas Brimob, dan pembakaran pohon di kanan-kiri jalan untuk pembuatan jalan. Kalau tidak dilakukan upaya hukum yang tegas, tidak lama lagi kawasan ini akan rusak.
 

Untuk itu Bambang memberikan beberapa saran untuk keberadaan markas Brimob di kawasan hutan lindung itu, seperti jangka waktu keberadaan markas itu harus jelas, harus dijamin tidak akan terjadi kerusakan karenanya, status hukumnya harus terus diproses (tidak boleh mendirikan bangunan dalam hutan lindung), areal yang ada nantinya harus dipulihkan kembali, dan berikan areal lain di sekitar Seulawah yang bisa ditanami.

Ekosistem Seulawah jadi sumber air bagi kawasan Aceh Besar, Banda Aceh dan Sigli, Pidie.

“Kalau ini terganggu ya tinggal hitung waktu saja buat bencana ekologi datang,” ujar Bambang, seraya tersenyum getir.

Dampak lain yang dapat dirasakan adalah terjadinya konflik terbuka antara gajah dan penduduk sekitar karena kehidupan binatang berbelalai panjang itu terganggu.*** [Khiththati]


*Tulisan Ini Sudah Pernah dimuat di Aceh Feature Tahun 2008



1 komentar:

  1. Like,, rupanya Thati udah pernah menjadi orang tertinggi di Aceh Besar yaa..?? hihi

    BalasHapus