Kamis, 04 Desember 2014

Kenduri Rakyat Aceh [Feature]

PANGGUNG utama Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) sudah dihias pada tanggal 8 Februari 2007 itu. Pelaminan pun sudah dipasang. Warnanya kombinasi merah dan kuning emas. Namun, pelaminan tak hanya satu. Ada tiga; yang paling besar di tengah dan dua yang kecil di kanan-kirinya. 

Pelaminan identik dengan pernikahan. Tapi tak ada pasangan kekasih yang akan menikah massal di sini. Kenduri untuk gubernur dan wakil gubernur Acehlah yang akan terjadi.
 

Di muka panggung sudah dibangun teratak untuk menampung warga. Barisan terdepan berisi sofa dan kursi empuk, sedang barisan belakang berisi kursi plastik. Tapi kursi-kursi itu belum semua tertata. Sampah pun berserak di bawahnya. Sehelai karpet merah membentang mulai dari belakang sampai ke panggung, membelah teratak jadi dua sisi.
 

Tiga televisi yang dipasang di tiga tempat telah menyala serentak. Siaran saat itu adalah Fun with English, yang ditayangkan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Namun, tak banyak yang menonton. Anak-anak asyik bermain telepon seluler. Seorang lelaki dewasa tiba-tiba menegur mereka, “ Nak, itu Rafly yang pakai baju hitam”, tapi anak-anak itu tidak peduli. Rafly adalah penyanyi terkenal Aceh. Ia membawakan lagu-lagu rakyat, menghidupkan kembali syair-syair lama Aceh yang nyaris dilupakan orang.
 

Tepat pukul 09.30, setelah acara Fun with English selesai, TVRI menayangkan siaran langsung pelantikan gubernur serta wakil gubernur dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Teratak yang tadinya sepi mendadak ramai orang.
 

Sebanyak 1.208 kursi telah disiapkan di dalam gedung DPRD dan 2.700 ditempatkan di luar gedung. Di layar televisi tampak Menteri Luar Negeri Muhammad Ma’ruf berjalan menuju tempat pelantikan, diikuti Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh.

“Nyan koen ka troek, hana meu khem sagai lago (itu dia sudah sampai, tidak ada senyum sedikitpun),” ujar seorang lelaki yang menonton. Irwandi memang tak senyum sama sekali.

Prosesi itu diawali pembacaan ayat suci Alquran oleh Teuku Alamsyah. Saat lagu Indonesia Raya berkumandang, seorang penonton di dekat saya berceloteh, “Nyan hai hana ji meulagu, meu abah hana ji buka. Peu hanjeut (itu dia tidak bernyanyi, mulut saja tidak dibuka. Apa tidak bisa)?”. Di televisi terlihat kamera sesekali menyorot Irwandi dan Nazar. Sejak konfik memanas di Aceh, sebagian warga ternyata lupa pada lirik lagu kebangsaan Indonesia itu, termasuk calon-calon pemimpin yang tengah dilantik.

Ketika pengambilan sumpah dilakukan dan serah terima jabatan ditandatangani, beberapa orang di kantor DPRD ada yang menangis. Tapi ada pula yang tidur. Ini menandakan seremoni sebentar lagi usai.

Kesibukan di PKA pun bertambah. Beberapa orang yang menonton televisi diminta pindah, karena menginjak karpet merah.

Sesaat kemudian, seorang lelaki datang. Ia berjalan dengan tongkat dan dibantu seseorang. Ketika ia hendak duduk, beberapa anggota panitia menghampirinya dan meminta lelaki tersebut duduk di sofa yang ditunjuk panitia. Rombongan lelaki itu menolak, tapi setelah mendapat penjelasan, mereka pun bersedia.

“Itu Raja Ubiet dari gunung Geurutee keturunan Poeteumeureuhom,” ujar Ulfa, teman saya. Gunung Geurutee merupakan salah satu basis pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Meuseue na Teungku Bantaqiah, pasti gop nyan nyang jak (kalau masih ada Teungku Bantaqiah, pasti beliau yang datang),” ujar anak muda di sampingnya. Bantaqiah ulama yang dihormati. Ia, putranya, dan puluhan santrinya dibunuh militer Indonesia ketika keadaan darurat militer diberlakukan di Aceh.
 

Saat pembacaan doa di kantor DPRD, panitia di PKA makin sibuk dengan kursi.
 

“Hai bek duek di sinan, nyan teumpat panglima sagoe (hai jangan duduk disitu, itu tempat untuk panglima wilayah),” ujar seorang pria berbaju hitam, berkaca mata hitam, dan di tanda pengenalnya tertulis “keamanan internal”.

Pukul 11.38, acara hiburan dimulai di panggung utama. Grup Seulawet Aneuk Nanggroe tampil. Sementara televisi menayangkan profil Irwandi dan Nazar.

Pukul 11.53, grup rapai geleng Aneuk Sanggar Seni Seulaweut Institut Agama Islam Negeri Ar-raniry muncul dan mendapat sambutan yang meriah. Saat mereka tampil, tamu dari kantor DPRD mulai berdatangan dan membuat para penonton merasa terganggu. Pasalnya, mereka itu menghalangi pemandangan penonton yang ingin menyaksikan rapai geleng. Orang-orang protes dan mengeluh panjang-pendek dalam bahasa Aceh.
 

Saya dan Ulfa duduk di samping anggota tim sukses Irwandi dan Nazar. Sesekali saya menyimak percakapan antar mereka.
 

“Hai, beuklam pat ka èh (hai, tadi malam kamu tidur di mana)?” tanya pria berbaju putih kepada temannya yang memakai baju hitam.

“Bak kanto SIRA, Peunayong (di kantor SIRA, Peunayong),” jawab yang disapa. SIRA kependekan dari Sentra Informasi Referendum Aceh. Organisasi ini turut menggerakkan hampir sejuta orang untuk menuntut referendum bagi Aceh di tahun 1999. Nazar, sang wakil gubernur, adalah orang SIRA.

“Hai ka kaloen dilee ibu Masyitah nyan (hai coba lihat ibu Masyitah itu),” kata pria baju putih.

“Pakoen (kenapa)?” balas temannya.

“Baroe jeeh wate dijok peng si miliar, yue bloe seunjata, ôh lheuhnyan geu peuplueng peng nyan u Jakarta. Ta tuntut entreuk (dulu waktu diberi uang satu milyar, disuruh beli senjata, setelah itu uangnya dibawa kabur ke Jakarta. Kita tuntut nanti),” tukas pria baju putih itu dan disambut kor tawa teman-temannya.

Mereka terus merokok, sesekali sengaja mengembuskan asap rokoknya kepada kami dan bahkan, menawari kami rokok.

Setelah penampilan Aneuk Sanggar Seni, giliran Rafly yang tampil. Ia berbaju hitam, agak kusut, dan menyandang gitar di bahu.
 

“Rafly, Rafly, Rafly!” sorak penonton.

Rafly mulai menyanyi, sambil sesekali mengajak penonton ikut menyanyi. Setelah menyanyi beberapa lagu, ia kemudian berkata dalam bahasa Aceh, “Dulu pemimpin menampakkan diri seperti ulama, padahal dia semua pencuri, sekarang pemimpin dipilih oleh rakyat dan Irwandi-Nazar sekarang menjadi pilihan hati rakyat.”
 

Pidato kecil ini disambut tepuk meriah.

“Peu? Rafly meulagu lom (apa? Rafly menyanyi lagi)?” tanya Rafly.

“Lom, lom (lagi, lagi),” jawab penonton.

“Peu panitia mantoeng na wate? Loen han èk cocok wate gop (panitia apa masih ada waktu? Saya tidak mau ambil waktu orang),” ujar Rafly.

Saat Rafly menyanyi, semua penonton menoleh ke belakang sampai beberapa kali. Perhatian mereka terbelah, antara mendengar Rafly menyanyi dan takut kehilangan momen kedatangan Irwandi-Nazar.

“Hai ka kaloen keunoe, hana troek lom (hai lihat kemari, belum sampai lagi),” ujar Rafly. Ia paham pikiran penontonnya.

Para penonton kembali melihat ke arah Rafly.

“Hana arti awaknyan meuseu hana tanyoe, beutoi (tidak ada arti mereka kalau tidak ada kita, benar),” katanya.
 

“Beutoi, beutoi (benar, benar)!” seru penonton.
 

“Teuma peu nyang kahebat that (jadi apa yang harus dibanggakan),” ujar Rafly, kemudian bernyanyi lagi.
 

Ia membawakan beberapa lagu, seperti Seulanga, Meukondroe, Adam, dan Perahu. Ada yang diiringi musik latar, ada juga yang diiringi petikan gitarnya sendiri. Menjelang shalat dzuhur, Rafly menutup penampilannya dengan tembang Si Bijeh Mata.

Saat azan berkumandang, seluruh aktifitas di panggung utama dihentikan. Saya dan Ulfa bergegas mencari kamar mandi untuk wudhu’ (mengambil air sembahyang). Tapi tidak ada satu pun kamar mandi yang bersih. Semua bau pesing. Air tak ada. Kakus atau kamar mandi umum di Aceh sama saja dengan banyak tempat lain di Indonesia, kotor dan bau! Adat dan keyakinan boleh beda, tapi sifat pengotor ternyata sama.

Akhirnya kami bertekad mencari air dan shalat di luar PKA. Saat kami kembali, seorang anggota keamanan eksternal menyapa.

“Hai cewek, kalheuh pajoh bu (hai cewek, sudah makan nasi)?” Ia berjalan di samping kami.
 

“Goh lom (belum),” jawab saya.

Pria itu langsung menelepon.
 

“Hai peu siapkan bu lhe boh, na dua cewek lon hana dipajoh bu (hai siapkan nasi tiga bungkus, ada dua cewek saya yang belum makan),” katanya di telepon.

“Ikot lon mantoeng (ikut saya saja),” ujar pria itu kepada kami. Belakangan saya tahu namanya Prity tapi sering dipanggil Jul oleh temannya. Bukan nama asli, hanya panggilan. Dia bekas gerilyawan GAM dari Bireun. Selain memberi kami nasi, ia juga memberi kami kalender bergambar Irwandi dan Nazar.

“Pa joh ju nyan, sie masak Aceh, mangat that (makan terus ya, daging masak Aceh, enak sekali),” ujarnya, seraya berlalu.

Kantong yang diberikan Bang Prity berisi sebungkus nasi dan gulai sapi, sendok plastik dan air mineral. Rasa gulai sapi memang enak. Sekitar 30 ekor sapi disembelih untuk perhelatan ini. Selagi kami makan, tari saman Gayo dipertunjukkan di panggung dan dilanjutkan rapai dabus dari Aceh Besar.
 

Hari itu banyak orang yang benar-benar ingin menyaksikan acara di panggung utama, tetapi banyak juga yang datang untuk mengambil makanan saja.
 



SEKITAR pukul 14.20, rombongan Irwandi dan Nazar sampai ke arena panggung utama PKA dan disambut tarian ranup lampuan. Saat rombongan turun dari mobil, keadaan jadi ramai dan terjadi aksi dorong-mendorong, karena beberapa orang berusaha memotret mereka. Mobil yang mereka tumpangi diparkir tepat di atas tikar yang telah disiapkan untuk para penari! Salah tempat.

Istri Irwandi mengenakan baju kurung coklat, songket merah jambu, dan sandal coklat. Sedangkan Irwandi memakai baju adat Aceh warna hitam, songket yang senada dengan istrinya serta memakai kacamata hitam dan ia tersenyum melihat orang menari.
 

Di samping istri Irwandi, ada Nazar yang berpakaian seperti Irwandi dan istrinya yang memakai baju biru, sandal biru, dan juga terus tersenyum.
 

Nazar sesekali memperhatikan telepon selulernya. Seorang penari menawarkan ranup (dalam Bahasa Indonesia disebut sirih) kepada rombongan Irwandi dan Nazar berserta istri, lalu ranup yang telah diambil diganti dengan uang seratusan ribu. Setelah tarian selesai, rombongan bergegas berjalan di atas karpet merah sambil diiringi selawat dari atas panggung dan dengan penjagaan ketat.
 

Irwandi berserta isteri berjalan di depan. Mereka kemudian duduk di sofa yang paling depan dan langsung dikelilingi wartawan.

“Ou panas!” kata seorang penari.
 

“Pasti besok udah kembung air,” ujar temannya.

Betapa tidak, mereka harus menari dengan kaki telanjang di tanah, bukan tikar, di saat matahari sedang panas-panasnya. Bahkan ada beberapa penari yang terinjak batu tajam saat menari dan ada pula yang terinjak puntung rokok yang masih menyala.
 

“Berapa duit yang dikasih tadi,” tanya saya kepada salah seorang penari.

“Lumayan, kayaknya lebih dari 500 ribu,” sahutnya.
 

Dari panggung terdengar pengumuman bahwa Malik Mahmud, perdana menteri GAM, akan segera datang.
 

Suasana hening saat sebuah mobil berhenti di ujung karpet merah. Itu mobil dinas gubernur.

Seorang pria turun dari mobil, membawa sebuah map, berkacamata hitam dan ada setangkai bunga di kantong bajunya. Ia bukan tamu yang ditunggu.
 

“Leu that gaya lagoe (banyak sekali gaya),” ujar seseorang yang berdiri di dekat karpet merah, mengomentari lagak pria itu.

Beberapa sindiran terdengar, tapi pria tersebut tak menanggapi. Setelah menyapa seorang kenalan, ia langsung menuju panggung utama.
 

Pada pukul 14.58, Malik Mahmud tiba di panggung utama. Ia turun dari mobil hitam berplat nomor BK 200 SD dan langsung disambut blitz kamera. Di kaca mobilnya terpasang stiker “Undangan VVIP”.
 

Saat Malik hendak melangkah, ada suara yang mengatakan, “preh dilee” (tunggu dulu), Malik Mahmud pun berhenti. Tidak lama kemudian, muncul Muhammad Usman Lampoeh Awe. Ia berjalan di samping Malik, bersama-sama menuju panggung. Lampoh Awe adalah pejuang GAM angkatan pertama.
 

Saat semua mata mengarah ke panggung, dari mobil Malik turun seorang pria. Penampilannya biasa saja dan berjalan sambil merokok. Ia sopir Malik. Dulu gerilyawan GAM. Namanya, Rahman.
 

“Pak Malik udah lama di sini?” tanya saya.

“Ada kurang lebih tiga bulan,” ujarnya, terus merokok.

Setelah pembacaan ayat suci Alquran selesai, acara dilanjutkan dengan pembacaan Hikayat Prang Sabi. Penonton yang semula gaduh jadi sepi ketika hikayat itu dinyanyikan.

Subhanallah Wahdahu Wabihamdihi
Khaliqul Badri Wallaili ‘Aza Waajalla
Uloen peujoe po, sidroe po syukur keu Rabbi ya ‘aini (saya memuji Allah tuhan yang satu. Syukurku untuk-Nya ya ‘aini).
Keukamoe neubrie beusuci Aceh mulia (untuk kami semoga diberikan kesucian Aceh mulia).
Tajak prang meusoh beuruntoh dum sitree Nabi (mari kita perangi musuh sampai hancur semua musuh Nabi).
Yang meu ungki keu Rabbi keu poe nyang Esa (yang mengingkari Rabbi tuhan yang Esa).

Soe han tem prang cit malang (siapa yang tidak mau berperang dia akan celaka)
ceulaka teuboh, rugoe roh (celaka tubuh, rugi roh)
syuruga tan rhoh dudo rhoh (tidak masuk syurga, kemudian masuk)
dalam neuraka …(ke dalam neraka).

Banyak penonton ikut bersenandung. Bahkan ada yang mengatakan “koen mangat that diubah” (enak saja mereka ubah). Saat konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM masih berlangsung, kata “mulia” dalam hikayat tersebut diubah jadi “merdeka”.
 

Hikayat Prang Sabi adalah karya sastra yang menggambarkan tentang mulianya orang yang berjihad. Hikayat ini berhasil membangkitkan semangat orang Aceh dalam melawan penjajah kolonial Belanda lebih dari 50 tahun. Ia ditulis sastrawan sekaligus ulama Aceh, Teungku Chiek Pantee Kulu. Pemerintah kolonial melarang hikayat ini dinyanyikan. Mereka melihat ada semangat juang yang sangat besar dalam diri rakyat Aceh ketika menyanyikan hikayat tadi.
 

Di masa konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM, Hikayat Prang Sabi juga dilarang diperdengarkan. Barang siapa yang melanggar, nyawa taruhannya.
 

Setelah Hikayat Prang Sabi, lagu Sion Bendera (Selembar Bendera) siap-siap dikumandangkan.
 

“Lagu Sion Bendera, lagu Bangsa Aceh, hadirin mohon berdiri,” ujar protokol.

Sion bendera dalam nanggroe (selembar bendera di dalam negeri).
Di ek tip uro angen peudoda (berkibar di sepanjang hari dengan tiupan angin).
Bintang buleun pusaka nanggroe (bintang bulan pusaka negeri).
Neusah keu bumoe Aceh mulia (resmilah bumi Aceh mulia).
Ija mirah meugareh binéh (kain merah bergaris tepi)
Nam krek gareh lam bendera (enam garis di dalam bendera)

Saat Sarjani bin Abdul Samad menyanyikan lagu ini, keadaan jadi sangat hening. Lagu sendu, lirih, membuat yang mendengarnya terhanyut. Ada yang sedih dan menangis. Kebanyakan orang yang hadir mengenakan pin bergambar bendera GAM.
 

Ketika mata saya menatap Pak Rahman, beliau mengisap rokoknya dalam-dalam. Matanya yang berkaca-kaca menerawang jauh.
 

Saat memalingkan pandangan ke samping, saya melihat Ulfa mengusap air matanya.
 

“Dulu banyak temanku yang ditangkap karena menyanyikan lagu ini. Dan selebaran yang ada lagunya banyak dibagi. Aku dulu juga punya,” kata Ulfa.

Lagu itu tercipta setelah pertempuran hebat antara pihak GAM dan militer Indonesia di Paya Bakong, Aceh Utara. Sion Bendera diciptakan sendiri oleh Sarjani atau lebih dikenal dengan sebutan Teungku Joel. Kulitnya putih, masih muda, dan hanya sempat menamatkan sekolah menengah pertama. Ia asal Indrapura, Aceh Utara.

Setelah Sion Bendera dinyanyikan, giliran Sofyan Dawood memberikan kata-kata sambutan, sebagai ketua tim sukses Irwandi Nazar. Hari itu ia memakai kemeja biru dan celana coklat.

“Keu tim sukses yang kaleuh beukerja tan dibayeu ngon tem theun duek (untuk tim sukses yang sudah bekerja tanpa dibayar dan mau menahan lapar),” ujar Sofyan Daud dan mendapat tepuk tangan meriah dari penonton.

“Beutoinyan (betul itu),” sahut beberapa penonton.

Pada pukul 15.30, Irwandi dan Nazar berdiri berdampingan di panggung. Waled Tanoh Mirah kemudian memakaikan kopiah meketup kepada Irwandi dan Nazar, serta memberikan naskah Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau populer disebut RUU PA versi rakyat Aceh kepada keduanya.

“Hai yak com-com mieng, kalage bak seunetron mantoeng (hai pakek cium pipi segala, macam di sinetron saja),” ujar seorang bapak dari kursi penonton.

Acara dilanjutkan dengan peusijuek (memercikkan air dengan daun-daunan) untuk gubernur dan wakil gubernur yang dilakukan bergantian oleh Malik Mahmud, Tengku Usman Lampoh Awe, Waled Tanaoh Mirah, 16 panglima sagoe dan Teungku Usaman Hanafiah serta perwakilan dari masyarakat internasional. Peusijuek semacam ritual adat untuk memohon keselamatan.

Di tengah prosesi peusijuek, saya melihat Tengku Firmansyah keluar dari kerumunan wartawan di depan panggung. Ia artis sinetron Indonesia yang cukup terkenal.
 

Ketika Tengku Firmansyah hendak beranjak pergi, banyak orang yang minta difoto bersamanya. Tentu saja, saya dan Ulfa tidak mau ketinggalan. Hari itu Tengku Firmansyah tampak ganteng dengan pakaian serba hitam. Sambil meminta tanda tangan, iseng saya bertanya soal kehadirannya.
 

“Ngapain ke sini, Mas?” tanya saya.

“Mau lihat proses demokrasi yang sudah berlangsung dengan baik di Aceh,” jawabnya, tersenyum.

“Mbak Cindy nggak diajak?” tanya saya, menyebut nama sang istri yang juga bintang sinetron dan penyanyi.

“Nggak, Cindy di rumah, (saya) ke sini sendiri,” katanya sambil melihat ke bawah, karena sudah menjatuhkan pulpen saya.

“Maaf ya, udah dulu.” Ia pergi, sambil melambaikan tangan.

Setelah Tengku Firmansyah pergi, seorang lelaki yang berada di kursi samping berkata, “Na ka kaloen urung Aceh, teuwoe keu peumimpin droe bak dikaloen artis (kalian lihat orang Aceh, lupa kepada pemimpin sendiri kalau melihat artis).” Tetapi orang-orang yang minta foto bersama tadi tidak hirau pada kata-katanya, termasuk kami.

Setelah gubernur dan wakilnya di-peusijuek, giliran bupati dan wakil bupati terpilih yang di-peusijuek.

“Nyang toeh wakil bupati geutanyoe (yang mana wakil bupati kita)?” tanya seorang pria berbaju batik.

“Yang nyan hai (yang itu),” jawab temannya, seraya menunjuk ke arah panggung.

“Oh yang nyan, itam lagoe (oh yang itu, hitam ya),” balasnya, disambut tawa beberapa orang di sekelilingnya.

Setelah gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati berfoto bersama, acara dilanjutkan dengan “haba petuah” dari Malik Mahmud.

“Keu awak droeneuh bandum na saleum dari ureung tuha geutanyoe Hasan Tiro, mudah-mudahan jeut geuwoe dalam pandum uroenyoe (untuk anda semua, ada salam dari orang tua kita Hasan Tiro, mudah-mudahan beliau bisa pulang dalam beberapa hari ini),” ujarnya dalam pidato.

Para penonton bertepuk tangan, bahkan ada seorang ibu yang berteriak, “I love you, Hasan Tiro!”

“Nyoe keuh keuleubehan bangsa geutanyoe Aceh, pa kiban hudep bak masa damai, pa kiban hudep bak masa konflik, pa kiban hudep bak masa musibah rayeuk, nyan yang peuget bangsa laen kagom keu geutanyoe (inilah kelebihan bangsa kita Aceh, bagaimana cara kita hidup pada masa damai, bagaimana cara kita hidup pada masa konflik, bagaimana cara kita hidup pada masa musibah besar, itu yang membuat bangsa lain kagum kepada kita),” lanjutnya, disambut tepuk tangan meriah penonton.
 

“Beutoi nyan, beutoi nyan ( benar itu, benar itu),” teriak beberapa orang.

“Hudep beu sare, mate beu sajan, beu sikrak kafan, saboh keureunda (hidup kita sama rata, mati bersama, satu kain kafan satu keranda),” katanya mengutip pepatah aceh, sebelum mengucapkan salam tanda pidato berakhir.

Setelah Malik Mahmud, Irwandi juga berpidato.

“Seubeutoi jih konsep nyoe lon peusiapkan keupidato bak kanto DPRD, tapi rupa jih hana agenda pidato gebernur baro, kakeuh pidato di sinoe mantoeng, memangnyoe ka raseuki awak droeneuh bandum (sebenarnya konsep ini saya persiapkan untuk pidato di kantor DPRD, tetapi karena tidak ada agenda pidato bagi gubernur baru, ya sudah saya berpidato di sini saja, memang ini rejeki anda semua),” katanya.
 

“Nyoe kupiah payah peurayeuk, atawa rayeuk keudroe euntreuk ban ka trep-trep (ini kupiah harus diperbesar, atau nanti lama-kelamaan besar sendiri),” ujar Irwandi, membuat perumpamaan terhadap pemerintahannya.
 

“Nyoe keuh hayeu jih di Aceh, hana yang taloe tapi dua-dua meunang dalam prang (inilah hebatnya di Aceh, tidak ada yang kalah tapi kedua belah pihak sama-sama menang dalam perang),” ujarnya lagi.
 

Pidato Irwandi hari itu membuat para penonton banyak tertawa dan bertepuk tangan. Di tengah pidato, songket Irwandi terlepas di bagian depan. Ia tak peduli dan terus bicara. Irwandi cukup lama berpidato, sampai-sampai ajudannya berbisik kepadanya. Tidak lama kemudian pidatonya selesai.
 

Setelah Irwandi, giliran Nazar berpidato.

“Lon cuma peugah haba bacut, bandum bahan ka jisawiet le Irwandi (saya hanya ingin berbicara sedikit, semuanya sudah disampaikan oleh Irwandi),” ujar Nazar tersenyum. Kalau pidato Irwandi banyak menyinggung kisah masa lalu, maka pidato Nazar lebih menekankan kepada program kerja.
 

Pemerataan pendidikan sepertinya menjadi agenda pokok. Nazar tampil berpidato tanpa teks.
 

Hari itu semua orang bicara dalam bahasa Aceh.
 

Setelah Nazar selesai berpidato, Waled Tanoeh Mirah memberikan sedikit petuah dan membacakan doa sebagai tanda acara berakhir. Setelah itu, bagi warga yang ingin bersalaman ataupun melihat secara dekat pemimpin baru mereka, dipersilahkan untuk naik panggung.

Namun, ada juga orang yang tidak naik panggung. Bahkan menunggu rombongan di ujung karpet merah. Seorang pengemis yang kedua kakinya tidak berfungsi itu, misalnya. Ia berjalan dengan menggeser pantatnya. Selain dia, ada beberapa pengemis yang hadir di acara ini.

Pada pukul 17.15 Teungku Usman Lampoeh Awe meninggalkan panggung. Dia masih tampak seperti saat datang, dengan kacamata hitam yang tak dilepas-lepas.
 

Pengemis tadi langsung berjalan “ngesot” dan bersalaman dengan Usman Lampoeh Awe. Setelah Usman bergegas ke mobil, selanjutnya Malik Mahmud lewat dengan penjagaan. Pengemis itu melakukan hal yang sama.
 

Setelah Malik, rombongan Irwandi dan isteri, beserta isteri Nazar, lewat dengan penjagaan ketat. Tidak seorang pun bisa bersalaman. Tetapi pengemis itu tidak putus asa. Ia langsung menghadang di depan rombongan. Rombongan pun berhenti. Para pengawal membuka jalan agar pengemis itu bisa bersalaman dengan Irwandi dan rombongannya. Setelah pengemis bergeser, rombongan melangkah ke mobil. Tidak lama kemudian, Nazar juga lewat dengan penjagaan dan lagi-lagi, pengemis itu melakukan hal serupa. Nazar terlihat berbisik kepada ajudannya, kemudian mengeluarkan uang sebelum bergegas pergi. Setelah Nazar pergi, si pengemis tampak senang. Namun, ia kesusahan memasukkan uang itu ke sakunya karena tangannya juga cacat. Seorang laki-laki datang dan membantu pengemis memasukkan uangnya ke saku.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Banyak orang mulai beranjak pulang. Acara hari itu tidak hanya banyak meninggalkan kesan, tetapi juga meninggalkan serakan sampah di arena PKA.* [Khiththati]


* Tulisan Ini Telah dipublikasikan di AcehFeature.org pada tahun 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar