SENIN, 18 Februari 2008, saya berangkat
dari Meulaboh menuju Ulee Jalan, Nagan Raya. Ulee Jalan berada di Beutong Bawah
yang masih satu kecamatan dengan Beutong Ateuh. Jarak Ulee Jalan ke Beutong
Ateuh sekitar 45 kilometer, dengan 30 kilometer jalan aspal dan selebihnya
jalan berkerikil dan tanah, juga rawan longsor.
“Agak susah kalau mau pergi ke sana. Jalannya berliku-liku dan akan turun kabut. Kalau hujan, licin,” ujar Adam Sani. Adam tinggal di Ulee Jalan, tapi ia tidak pernah naik ke Beutong Ateuh. Istilah “naik” digunakan kalau ingin pergi ke sana, karena letaknya yang tinggi dan jalannya menanjak.
Dulu Beutong Ateuh masuk dalam wilayah kabupaten Aceh Barat. Setelah pemekaran, ia jadi bagian dari kabupaten Nagan Raya.
Beutong Ateuh terletak di sebuah lembah yang subur di punggung pegunungan Bukit Barisan, dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl (meter dari permukaan laut). Curah hujan cukup tinggi di sini. Hawanya sejuk, seperti di daratan tinggi Gayo dan Alas.
Di Beutong Ateuh pula pahlawan Aceh, Cut Nyak Dien, pernah membangun basis pertahanan di masa perang melawan kolonial Belanda.
Beutong Ateuh merupakan sebuah kemukiman yang terdiri dari empat gampong yaitu, Blang Merandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teng’oh dan Babah Suak. Dalam struktur pemerintahan Aceh masa lalu, kemukiman adalah kumpulan dari beberapa gampong dan di pusat kemukiman didirikan sebuah masjid untuk menandainya. Jumlah desa dalam satu mukim sangat tergantung pada letaknya dengan masjid, yang ukurannya terjangkau dengan jalan kaki untuk melaksanakan shalat jumat. Bila pagi orang pergi ke masjid, maka ia akan tiba di rumah menjelang dzuhur di desanya. Namun struktur kemukiman menjadi tidak berfungsi sejak ditetapkan kecamatan sebagai kumpulan dari desa-desa, sebagaimana sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
Nama Betong Ateuh sempat mencuat karena di sana pernah tinggal Teungku Bantaqiah, seorang guru mengaji yang cukup terkenal di Aceh Barat. Di lembah itu ia membangun dayah, tempat mengaji dan menuntut ilmu agama, tepatnya di desa Blang Meurandeh.
Bantaqiah sendiri yang bertindak sebagai pengelola pengajian itu. Seperti lazimnya dayah beraliran Sunni, di sini diajarkan kitab-kitab seperti ilyă ulûmuddin, kasyful ashraf, tafsir al-manar dan Alquran.
Bantaqiah sejatinya berasal dari Ulee Jalan, Beutong Bawah. Tapi kakeknya berasal dari Beutong Ateuh. Setelah merantau hingga ke Aceh Tengah, ia memutuskan menetap di Beutong Ateuh.
Ia kemudian berkeluarga dan memiliki dua isteri, Nurliah dan Manfarisyah. Dari isteri pertama ia dikaruniai sembilan orang anak. Dari istri kedua, ia memperoleh dua anak.
Dari Meulaboh ke Ulee Jalan, saya naik labi-labi, angkutan umum di Aceh yang berupa mobil pikap dimodifikasi dengan tambahan dinding dan atap. Labi-labi itu hanya beroperasi sampai Ulee Jalan, sehingga untuk ke Beutong Ateuh saya harus menggunakan kendaraan lain. Biasanya, orang yang hendak ke sana akan menyambung perjalanannya dengan menumpang mobil yang mengangkut bahan bangunan dan sayur, atau mobil pribadi.
Setiba di Ulee Jalan, saya bergegas ke rumah Abdul Muthalib. Rata-rata orang yang mau ke Beutong Ateuh singgah di sini lebih dulu. Rumahnya di tepi jalan, berbentuk rumah toko dua tingkat. Berjenis makanan kecil untuk dijual digantung toko. Tempat menggiling kopi dan kursi panjang tampak di muka rumah. Karung beras, berbagai macam sabun dan barang dagangan ada di dalam.
Nurila sedang melayani pembeli. Ia bertubuh kecil. Nurila adalah isteri Abdul Muthalib. Orang Ulee Jalan sering memanggilnya mamak Malek, karena anak pertamanya bernama Malik.
“Tunggu saja di sini. Biasanya mobil ke sana pergi pagi atau habis zhuhur,” kata Abdul Muthalib kepada saya, dalam bahasa Aceh.
Ia adalah adik Teungku Bantaqiah. Ia kini mengelola pesantren Babul Mukarramah yang ditinggalkan almarhum abangnya. Saat saya di rumah Abdul Muthalib, orang datang silih berganti. Para tamu itu menanyakan pendapatnya tentang berita yang dimuat suratkabar Serambi Indonesia pada 15 Febuari 2008.Serambi menyebutkan bahwa ada yang menyebarkan aliran sesat di daerah Aceh Timur dan yang bersangkutan dulu pernah menimba ilmu di Beutong Ateuh. Orang itu menyatakan bahwa tak perlu adzan untuk menandai waktu shalat.
Berita tersebut meresahkan Abdul Muthalib dan warga Beutong. Bagaimana tidak, daerah ini dulu juga pernah disebut sebagai basis aliran sesat.
Pada tanggal 15 Mei 1987, santri-santri Babul Mukarramah melalukan aksi protes terhadap perbuatan maksiat. Aksi protes ini berlangsung di Sigli, kabupaten Pidie dan Meulaboh, kabupaten Aceh Barat, secara serentak.
Aksi di Pidie dipimpin Teungku T. Iskandar. Jumlah massa 30 santri. Mereka melakukan aksi berjalan kaki dengan membawa dua bendera berlambang bulan bintang, Alquran dan dua pedang yang bersilang. Bendera sebagai tanda identitas gerakan itu berwarna merah dan hijau. Mereka berjalan sambil meneriakkan khulja haqqu wa zahaqqal bathil, innal bathila zahuqqa (katakanlah hai Muhammad, telah datang kebenaran dan hancurlah segala kebathilan, sesungguhnya kebathilan itu hancur binasa), disambung teriakan Allahu Akbar. Mereka juga membawa senjata tajam. Buntutnya, Iskandar ditangkap polisi.
Para anggota gerakan tersebut mengenakan jubah kuning, merah, dan putih. Mereka yang berjubah kuning adalah pemimpin aksi. Jubah merah dikenakan para pengawal. Anggota memakai jubah berwarna putih dan surban. Akhirnya, aksi ini disebut gerakan jubah putih.
Di Meulaboh, aksi serupa dipimpin Sabirin. Peserta aksi mengenakan jubah hitam dan merah, juga membawa bendera berlambang sama dengan di Pidie dan beberapa pedang. Aksi pun digelar di depan masjid Nurul Huda, Meulaboh. Tapi Sabirin tewas kena tembak saat konvoi ini keliling kota dan bentrok dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gerakan ini oleh sebagian orang disebut gerakan jubah hitam.
Dua aksi tersebut terjadi pada tahun 1987.
“Jubah putih dengan jubah hitam itu sama saja. Cuma lain warna baju,” kata Abdul Muthalib kepada saya, di sela-sela ia melayani pembeli di kedainya.
“Di Sigli orang lebih mengenalnya dengan sebutan jubah putih. Kalau di Meulaboh, jubah hitam,” katanya, lagi.
Sebenarnya gerakan jubah putih telah dilarang oleh Kejaksaan Tinggi Aceh pada tahun 1984. Semula tindakan mereka dianggap terlalu agresif dalam menentang perbuatan maksiat. Mereka menghunuskan pedang di depan umum. Mereka kemudian dituduh mengkafirkan kelompok Islam yang di luar kelompok mereka.
“Waktu kasus jubah putih dulu, saya juga pernah ditangkap,” kenang Abdul Muthalib.
“Maksud aksi ini bukannya mendirikan negara di dalam negara, tapi agar orang Islam mau beribadah dan agar di Aceh itu harus sesuai dengan syariat Islam,” lanjutnya.
Ia menganjurkan saya pergi ke Meulaboh untuk menemui Teungku Iskandar, bila ingin tahu lebih banyak tentang gerakan jubah putih itu. Saat saya menanyakan apakah gerakan tersebut punya kaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, Abdul Muthalib membantah.
“Kami menaikkan bendera Islam, bukan punya Aceh Merdeka,” katanya.
SUDAH pukul enam sore ketika itu. Tapi tak ada tanda-tanda ada mobil ke Beutong Ateuh. Untuk kembali ke Meulaboh, sudah tak mungkin lagi. Apalagi hujan mulai turun. Saya tertahan di rumah Abdul Muthalib, ikut shalat maghrib, dan makan bersama dia dan istrinya.
Abdul Muthalib melanjutkan ceritanya. Setelah aksi jubah putih di Pidie dan Meulaboh, Teungku Bantaqiah dicari aparat karena dianggap sebagai penggerak aksi. Namun ia tidak kunjung ditemukan. Sejak itu pula isu mengenai ajaran Bantaqiah yang sesat berhembus makin kencang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Aceh mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Bantaqiah adalah ajaran sesat. Pihak Kejaksaan mendukung MUI Aceh.
Sikap MUI Aceh diperkuat MUI Jakarta. Ajaran Bantaqiah dituduh sesat karena dianggap sebagai tarekat yang memiliki bentuk yang hampir sama dengan tarekat Hamzah Fansyuri, yang beraliran wahdatul wujud. Hamzah Fansyuri dituduh menyebar ajaran sesat oleh para dewan ulama di masanya, karena dianggap mengacaukan tauhid dan syariah orang yang baru saja memeluk Islam. Ia mengenalkan konsep penyatuan manusia dan Tuhan. Ahli tasawuf dan penyair asal Singkil ini hidup di abad ke-16.
“Yang mengatakan sesat itu adalah rektor IAIN—Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry—dengan Ali Hasyimi. Tapi fatwa itu sudah selesai setelah adanya musyawarah dan mufakat,” kisah Abdul Muthalib.
Rektor IAIN yang dimaksud Abdul adalah Ahmad Daudi, yang menjabat saat itu. Ali Hasyimi menjabat sebagai ketua MUI Aceh.
Setelah Teungku Bantaqiah tak berhasil ditangkap, pemerintah kemudian melakukan jalan damai. Mereka memintanya turun ke Beutong Bawah untuk melakukan dialog.
“Sembilan belas bulan setelah aksi yang dilakukan oleh jubah putih dan menjadi orang yang dicari oleh polisi, Abang disuruh turun ke Beutong Bawah. Waktu itu Ibrahim Hasan yang menjabat sebagai gubernur,” tutur Abdul Muthalib.
Acara pertemuan dengan Tengku Bantaqiah kemudian dilaksanakan di masjid Ulee Jalan. Acara tersebut dipimpin pejabat setempat.
Bantaqiah menolak disebut menyebarkan aliran sesat. Ia juga menyatakan bahwa tindakannya tidak bermaksud untuk memusuhi negara. Apa yang ia lakukan hanya untuk menimbulkan perhatian pemerintah agar bersedia berdialog dengannya, yang telah mereka anggap tokoh aliran sesat.
Pertemuan berakhir baik-baik, bahkan pemerintah berjanji memberi bantuan kepada dayah Babul Mukarramah.
Tak lama setelah pertemuan itu, gubernur Aceh Ibrahim Hasan mengundang Bantaqiah datang ke meuligo (rumah dinas) gubernur di Banda Aceh. Lagi-lagi putra Beutong ini dijanjikan akan diberi bantuan oleh gubernur.
Pemerintah kemudian memang menepati janjinya. Tapi mereka memutuskan secara sepihak lokasi pendirian komplek dayah itu. Mereka memilih kawasan Krueng Isep, di Beutong Bawah. Tentu saja, ini sama artinya dengan memicu masalah baru. Bantaqiah menolak. Ia tak mau pindah dari Beutong Ateuh ke Beutong Bawah. Pembangunan yang memakan anggaran sebesar Rp 405 juta itu pun mubazir.
“Tidak ada yang menempati,” tutur Abdul Muthalib.
Kawasan Krueng Isep kini sudah jadi objek wisata. Di situ juga dibangun pos latihan tentara.
Bangunan dayah tadi meliputi madrasah, rumah juga tempat pengajian. Alasan pemerintah membangun komplek ini di Beutong Bawah adalah karena Beutong Ateuh tidak memiliki prasarana yang memadai, kondisi jalan buruk dan transportasi sulit.
Bantaqiah sampai tujuh kali mengirim surat keberatannya kepada pemerintah kabupaten Aceh Barat. Pasalnya, ia juga sudah membangun lokasi pertanian di gampong Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, karena lokasi ini dianggap strategis dan letaknya dekat dengan sungai. Nanti beras dari Beutong Ateuh akan dikenal sebagai breuh Beutong Ateuh. Selain sektor pertanian, bidang perkebunan juga digalakkan di sini.
Bantaqiah tak ingin penolakannya dicurigai sebagai upaya mengembangkan gerakan jubah putih yang disebut ajaran sesat. Alasannya, semata-mata soal kenyamanan tinggal dan urusan bercocok tanam.
Kini Abdul Muthalib menegaskan kembali hal itu kepada saya.
“Saya tidak ingin lagi ada yang menyebutkan bahwa daerah Beutong menyebarkan aliran sesat seperti yang ada di koran kemarin. Saya kecewa dengan MPU Aceh Timur yang menuduh bahwa ada aliran sesat di sini. Harusnya dia datang ke sini dulu atau harusnya kalau ada, MPU Nagan Raya yang seharusnya mengatakan itu,” katanya.
“Kalau dituduh saya saja tidak apa-apa, tapi ini yang dituduh satu mukim,” lanjut Abdul Muthalib.
Percakapan kami berlangsung dalam bahasa Aceh.
PADA 17 Oktober 1993, kepolisian Aceh Tengah melakukan operasi mendadak ke Beutong Ateuh, yang mereka sebut Serangan Fajar.
Dalam operasi itu, polisi berhasil menyita satu ton ganja yang dipanen dari lahan seluas 250 hektare. Polisi juga menangkap lima orang anggota sindikat ganja, yang menurut keterangan polisi, mengaku berada di bawah koordinasi Teungku Bantaqiah.
Akibatnya, Bantaqiah ditangkap pada tanggal 23 Oktober 1993, di desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh. Walau awalnya ia ditangkap karena dituduh bekerja sama dengan pengedar ganja, tapi kemudian status penahanannya berubah menjadi tahanan politik. Ia dianggap telah melakukan tindak pidana subversif atau tindakan yang merongrong keamanan negara.
Bantaqiah disidang di awal Juni 1994 di Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada akhir September 1994 kasusnya sudah sampai tahap penyerahan berkas pada pihak kejaksaan. Pada bulan Oktober ia diajukan ke pengadilan.
Ketika itu hukuman untuk kasus subversif adalah pidana mati, seumur hidup atau penjara selama 20 tahun. Saat-saat pemeriksaan awal terhadap Bantaqiah, kasus jubah putih kembali diungkit-ungkit polisi.
“Peristiwa itu terjadi setelah pemilu. Waktu itu dia bertugas mengamankan pemilu di Beutong Ateuh, pokoknya berada di tengah-tengah lah, lagi pula Abang dulu juga pernah menjadi pendukung Golkar (partai Golongan Karya) di sana,” kata Abdul Muthalib.
Menurut lelaki ini, ketika ia menanyakan kebenaran semua tuduhan tersebut kepada Bantaqiah, sang abang menjawab bahwa semua tuduhan itu tidak benar.
“Mana ada itu? Di mana? Itu politik,” katanya, mengulang kata-kata abangnya.
Pada pertengahan Desember 1994, pengadilan Bantaqiah akhirnya digelar di Lhokseumawe dengan alasan keamanan. Bukti-bukti dihadirkan terkait dengan kasus ini adalah 49 lembar daun ganja, dua bendera GAM dan dua unit mobil. Saat persidangan juga diungkapkan bahwa ladang ganja yang ada di Beutong Ateuh merupakan usaha dan logistik untuk keberlangsungan GAM.
Pada tanggal 11 Januari 1995, Bantaqiah dituntut hukuman penjara seumur hidup. Tapi pada 24 Januari 1995, pengadilan memutuskan hukuman 20 tahun penjara untuknya, lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Hakim juga mengatakan bahwa ia secara struktural berada dalam GAM di bagian logistik atau pangan.
Bantaqiah dipenjarakan di Lembaga Permasyarakatan Lhokseumawe, lalu dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta, Medan. Ia dibebaskan pada bulan April 1999.
Ia baru menjalani lima bulan masa tahanannya, ketika pemerintahan presiden B.J Habibie memberinya amnesti.
Bantaqiah sempat menceritakan situasi dalam tahanan kepada Abdul Muthalib.
“Saat dalam tahanan ada yang bilang saya diangkat sebagai wakil Hasan Tiro bidang logistik. Wah, pekerjaan besar itu kan,” ujar Abdul Muthalib, meniru ucapan abangnya saat itu.
Setelah mengunjungi kerabatnya selepas dari tahanan, Bantaqiah pun kembali ke Beutong Ateuh pada 21 Mei 1999. Beberapa warga Beutong datang untuk mem-peusijuk (upacara adat untuk keselamatan yang ditandai dengan membaca doa menabur tepung beras) sang teungku.
“Setelah itu tersebar kabar kalau kami pergi peusijuk senjata,” kisah Abdul Muthalib.
Belum lama Bantaqiah di kampung halamannya, tragedi pun terjadi.
“Saya tidak lihat kejadian itu, saya di sini. Hari itu kami dari Beutong Bawah tidak diperbolehkan naik ke sana. Jalan dijaga tentara,” lanjut lelaki ini.
“Yang saya tahu, abang ditembak setelah Usman anak pertamanya dipukul oleh tentara,” tuturnya.
Abdul Muthalib naik ke Beutong Ateuh saat ada beberapa wartawan yang pergi ke sana beberapa hari setelah kejadian. Kisah penembakan abangnya ia dengar dari warga.
“Waktu itu di sana bendera merah putih disuruh naikkan selama 24 jam, kalau diturunkan (orang) akan dipukul,” ujar Abdul Muthalib, seraya melihat ke arah jam dinding.
KEESOKAN harinya, setelah menunggu dari pagi, saya baru mendapat mobil tumpang ke Beutong Ateuh di siang hari. Nurila membantu saya mendapatkan tumpangan. Mobil itu adalah mobil milik puskesmas.
Saya duduk di belakang, bersama dua penumpang lain, bersatu dengan kardus makanan bayi, susu dan bubur.
Perjalanan ke Beutong Ateuh memakan waktu tiga jam lebih. Kabut di jalan cukup tebal. Hujan turun. Mobil terpaksa berhenti di tengah jalan dan kami sempat berteduh di sebuah kedai di tengah hutan.
Beutong Ateuh merupakan lembah yang dibentengi pegunungan. Hamparan sawah terlihat di bawah sana.
Setiba di Beutong Ateuh, saya diantar kesebuah rumah yang berhadapan dengan sungai yang berair jernih. Pamflet di depan rumah itu bertuliskan “Babul Mukarramah”.
Di situ saya berkenalan dengan Malikul, anak Bantaqiah yang ketiga. Malikul berbadan tinggi, berkulit hitam. Rambutnya panjang sebahu. Ia berpeci hitam, berkemeja dan kain sarung.
Malikul langsung bicara
tentang berita di koran Serambi Indonesia, yang menyebut aliran sesat di
Beutong Ateuh.“Agak susah kalau mau pergi ke sana. Jalannya berliku-liku dan akan turun kabut. Kalau hujan, licin,” ujar Adam Sani. Adam tinggal di Ulee Jalan, tapi ia tidak pernah naik ke Beutong Ateuh. Istilah “naik” digunakan kalau ingin pergi ke sana, karena letaknya yang tinggi dan jalannya menanjak.
Dulu Beutong Ateuh masuk dalam wilayah kabupaten Aceh Barat. Setelah pemekaran, ia jadi bagian dari kabupaten Nagan Raya.
Beutong Ateuh terletak di sebuah lembah yang subur di punggung pegunungan Bukit Barisan, dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl (meter dari permukaan laut). Curah hujan cukup tinggi di sini. Hawanya sejuk, seperti di daratan tinggi Gayo dan Alas.
Di Beutong Ateuh pula pahlawan Aceh, Cut Nyak Dien, pernah membangun basis pertahanan di masa perang melawan kolonial Belanda.
Beutong Ateuh merupakan sebuah kemukiman yang terdiri dari empat gampong yaitu, Blang Merandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teng’oh dan Babah Suak. Dalam struktur pemerintahan Aceh masa lalu, kemukiman adalah kumpulan dari beberapa gampong dan di pusat kemukiman didirikan sebuah masjid untuk menandainya. Jumlah desa dalam satu mukim sangat tergantung pada letaknya dengan masjid, yang ukurannya terjangkau dengan jalan kaki untuk melaksanakan shalat jumat. Bila pagi orang pergi ke masjid, maka ia akan tiba di rumah menjelang dzuhur di desanya. Namun struktur kemukiman menjadi tidak berfungsi sejak ditetapkan kecamatan sebagai kumpulan dari desa-desa, sebagaimana sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
Nama Betong Ateuh sempat mencuat karena di sana pernah tinggal Teungku Bantaqiah, seorang guru mengaji yang cukup terkenal di Aceh Barat. Di lembah itu ia membangun dayah, tempat mengaji dan menuntut ilmu agama, tepatnya di desa Blang Meurandeh.
Bantaqiah sendiri yang bertindak sebagai pengelola pengajian itu. Seperti lazimnya dayah beraliran Sunni, di sini diajarkan kitab-kitab seperti ilyă ulûmuddin, kasyful ashraf, tafsir al-manar dan Alquran.
Bantaqiah sejatinya berasal dari Ulee Jalan, Beutong Bawah. Tapi kakeknya berasal dari Beutong Ateuh. Setelah merantau hingga ke Aceh Tengah, ia memutuskan menetap di Beutong Ateuh.
Ia kemudian berkeluarga dan memiliki dua isteri, Nurliah dan Manfarisyah. Dari isteri pertama ia dikaruniai sembilan orang anak. Dari istri kedua, ia memperoleh dua anak.
Dari Meulaboh ke Ulee Jalan, saya naik labi-labi, angkutan umum di Aceh yang berupa mobil pikap dimodifikasi dengan tambahan dinding dan atap. Labi-labi itu hanya beroperasi sampai Ulee Jalan, sehingga untuk ke Beutong Ateuh saya harus menggunakan kendaraan lain. Biasanya, orang yang hendak ke sana akan menyambung perjalanannya dengan menumpang mobil yang mengangkut bahan bangunan dan sayur, atau mobil pribadi.
Setiba di Ulee Jalan, saya bergegas ke rumah Abdul Muthalib. Rata-rata orang yang mau ke Beutong Ateuh singgah di sini lebih dulu. Rumahnya di tepi jalan, berbentuk rumah toko dua tingkat. Berjenis makanan kecil untuk dijual digantung toko. Tempat menggiling kopi dan kursi panjang tampak di muka rumah. Karung beras, berbagai macam sabun dan barang dagangan ada di dalam.
Nurila sedang melayani pembeli. Ia bertubuh kecil. Nurila adalah isteri Abdul Muthalib. Orang Ulee Jalan sering memanggilnya mamak Malek, karena anak pertamanya bernama Malik.
“Tunggu saja di sini. Biasanya mobil ke sana pergi pagi atau habis zhuhur,” kata Abdul Muthalib kepada saya, dalam bahasa Aceh.
Ia adalah adik Teungku Bantaqiah. Ia kini mengelola pesantren Babul Mukarramah yang ditinggalkan almarhum abangnya. Saat saya di rumah Abdul Muthalib, orang datang silih berganti. Para tamu itu menanyakan pendapatnya tentang berita yang dimuat suratkabar Serambi Indonesia pada 15 Febuari 2008.Serambi menyebutkan bahwa ada yang menyebarkan aliran sesat di daerah Aceh Timur dan yang bersangkutan dulu pernah menimba ilmu di Beutong Ateuh. Orang itu menyatakan bahwa tak perlu adzan untuk menandai waktu shalat.
Berita tersebut meresahkan Abdul Muthalib dan warga Beutong. Bagaimana tidak, daerah ini dulu juga pernah disebut sebagai basis aliran sesat.
Pada tanggal 15 Mei 1987, santri-santri Babul Mukarramah melalukan aksi protes terhadap perbuatan maksiat. Aksi protes ini berlangsung di Sigli, kabupaten Pidie dan Meulaboh, kabupaten Aceh Barat, secara serentak.
Aksi di Pidie dipimpin Teungku T. Iskandar. Jumlah massa 30 santri. Mereka melakukan aksi berjalan kaki dengan membawa dua bendera berlambang bulan bintang, Alquran dan dua pedang yang bersilang. Bendera sebagai tanda identitas gerakan itu berwarna merah dan hijau. Mereka berjalan sambil meneriakkan khulja haqqu wa zahaqqal bathil, innal bathila zahuqqa (katakanlah hai Muhammad, telah datang kebenaran dan hancurlah segala kebathilan, sesungguhnya kebathilan itu hancur binasa), disambung teriakan Allahu Akbar. Mereka juga membawa senjata tajam. Buntutnya, Iskandar ditangkap polisi.
Para anggota gerakan tersebut mengenakan jubah kuning, merah, dan putih. Mereka yang berjubah kuning adalah pemimpin aksi. Jubah merah dikenakan para pengawal. Anggota memakai jubah berwarna putih dan surban. Akhirnya, aksi ini disebut gerakan jubah putih.
Di Meulaboh, aksi serupa dipimpin Sabirin. Peserta aksi mengenakan jubah hitam dan merah, juga membawa bendera berlambang sama dengan di Pidie dan beberapa pedang. Aksi pun digelar di depan masjid Nurul Huda, Meulaboh. Tapi Sabirin tewas kena tembak saat konvoi ini keliling kota dan bentrok dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gerakan ini oleh sebagian orang disebut gerakan jubah hitam.
Dua aksi tersebut terjadi pada tahun 1987.
“Jubah putih dengan jubah hitam itu sama saja. Cuma lain warna baju,” kata Abdul Muthalib kepada saya, di sela-sela ia melayani pembeli di kedainya.
“Di Sigli orang lebih mengenalnya dengan sebutan jubah putih. Kalau di Meulaboh, jubah hitam,” katanya, lagi.
Sebenarnya gerakan jubah putih telah dilarang oleh Kejaksaan Tinggi Aceh pada tahun 1984. Semula tindakan mereka dianggap terlalu agresif dalam menentang perbuatan maksiat. Mereka menghunuskan pedang di depan umum. Mereka kemudian dituduh mengkafirkan kelompok Islam yang di luar kelompok mereka.
“Waktu kasus jubah putih dulu, saya juga pernah ditangkap,” kenang Abdul Muthalib.
“Maksud aksi ini bukannya mendirikan negara di dalam negara, tapi agar orang Islam mau beribadah dan agar di Aceh itu harus sesuai dengan syariat Islam,” lanjutnya.
Ia menganjurkan saya pergi ke Meulaboh untuk menemui Teungku Iskandar, bila ingin tahu lebih banyak tentang gerakan jubah putih itu. Saat saya menanyakan apakah gerakan tersebut punya kaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, Abdul Muthalib membantah.
“Kami menaikkan bendera Islam, bukan punya Aceh Merdeka,” katanya.
SUDAH pukul enam sore ketika itu. Tapi tak ada tanda-tanda ada mobil ke Beutong Ateuh. Untuk kembali ke Meulaboh, sudah tak mungkin lagi. Apalagi hujan mulai turun. Saya tertahan di rumah Abdul Muthalib, ikut shalat maghrib, dan makan bersama dia dan istrinya.
Abdul Muthalib melanjutkan ceritanya. Setelah aksi jubah putih di Pidie dan Meulaboh, Teungku Bantaqiah dicari aparat karena dianggap sebagai penggerak aksi. Namun ia tidak kunjung ditemukan. Sejak itu pula isu mengenai ajaran Bantaqiah yang sesat berhembus makin kencang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Aceh mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Bantaqiah adalah ajaran sesat. Pihak Kejaksaan mendukung MUI Aceh.
Sikap MUI Aceh diperkuat MUI Jakarta. Ajaran Bantaqiah dituduh sesat karena dianggap sebagai tarekat yang memiliki bentuk yang hampir sama dengan tarekat Hamzah Fansyuri, yang beraliran wahdatul wujud. Hamzah Fansyuri dituduh menyebar ajaran sesat oleh para dewan ulama di masanya, karena dianggap mengacaukan tauhid dan syariah orang yang baru saja memeluk Islam. Ia mengenalkan konsep penyatuan manusia dan Tuhan. Ahli tasawuf dan penyair asal Singkil ini hidup di abad ke-16.
“Yang mengatakan sesat itu adalah rektor IAIN—Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry—dengan Ali Hasyimi. Tapi fatwa itu sudah selesai setelah adanya musyawarah dan mufakat,” kisah Abdul Muthalib.
Rektor IAIN yang dimaksud Abdul adalah Ahmad Daudi, yang menjabat saat itu. Ali Hasyimi menjabat sebagai ketua MUI Aceh.
Setelah Teungku Bantaqiah tak berhasil ditangkap, pemerintah kemudian melakukan jalan damai. Mereka memintanya turun ke Beutong Bawah untuk melakukan dialog.
“Sembilan belas bulan setelah aksi yang dilakukan oleh jubah putih dan menjadi orang yang dicari oleh polisi, Abang disuruh turun ke Beutong Bawah. Waktu itu Ibrahim Hasan yang menjabat sebagai gubernur,” tutur Abdul Muthalib.
Acara pertemuan dengan Tengku Bantaqiah kemudian dilaksanakan di masjid Ulee Jalan. Acara tersebut dipimpin pejabat setempat.
Bantaqiah menolak disebut menyebarkan aliran sesat. Ia juga menyatakan bahwa tindakannya tidak bermaksud untuk memusuhi negara. Apa yang ia lakukan hanya untuk menimbulkan perhatian pemerintah agar bersedia berdialog dengannya, yang telah mereka anggap tokoh aliran sesat.
Pertemuan berakhir baik-baik, bahkan pemerintah berjanji memberi bantuan kepada dayah Babul Mukarramah.
Tak lama setelah pertemuan itu, gubernur Aceh Ibrahim Hasan mengundang Bantaqiah datang ke meuligo (rumah dinas) gubernur di Banda Aceh. Lagi-lagi putra Beutong ini dijanjikan akan diberi bantuan oleh gubernur.
Pemerintah kemudian memang menepati janjinya. Tapi mereka memutuskan secara sepihak lokasi pendirian komplek dayah itu. Mereka memilih kawasan Krueng Isep, di Beutong Bawah. Tentu saja, ini sama artinya dengan memicu masalah baru. Bantaqiah menolak. Ia tak mau pindah dari Beutong Ateuh ke Beutong Bawah. Pembangunan yang memakan anggaran sebesar Rp 405 juta itu pun mubazir.
“Tidak ada yang menempati,” tutur Abdul Muthalib.
Kawasan Krueng Isep kini sudah jadi objek wisata. Di situ juga dibangun pos latihan tentara.
Bangunan dayah tadi meliputi madrasah, rumah juga tempat pengajian. Alasan pemerintah membangun komplek ini di Beutong Bawah adalah karena Beutong Ateuh tidak memiliki prasarana yang memadai, kondisi jalan buruk dan transportasi sulit.
Bantaqiah sampai tujuh kali mengirim surat keberatannya kepada pemerintah kabupaten Aceh Barat. Pasalnya, ia juga sudah membangun lokasi pertanian di gampong Blang Meurandeh, Beutong Ateuh, karena lokasi ini dianggap strategis dan letaknya dekat dengan sungai. Nanti beras dari Beutong Ateuh akan dikenal sebagai breuh Beutong Ateuh. Selain sektor pertanian, bidang perkebunan juga digalakkan di sini.
Bantaqiah tak ingin penolakannya dicurigai sebagai upaya mengembangkan gerakan jubah putih yang disebut ajaran sesat. Alasannya, semata-mata soal kenyamanan tinggal dan urusan bercocok tanam.
Kini Abdul Muthalib menegaskan kembali hal itu kepada saya.
“Saya tidak ingin lagi ada yang menyebutkan bahwa daerah Beutong menyebarkan aliran sesat seperti yang ada di koran kemarin. Saya kecewa dengan MPU Aceh Timur yang menuduh bahwa ada aliran sesat di sini. Harusnya dia datang ke sini dulu atau harusnya kalau ada, MPU Nagan Raya yang seharusnya mengatakan itu,” katanya.
“Kalau dituduh saya saja tidak apa-apa, tapi ini yang dituduh satu mukim,” lanjut Abdul Muthalib.
Percakapan kami berlangsung dalam bahasa Aceh.
PADA 17 Oktober 1993, kepolisian Aceh Tengah melakukan operasi mendadak ke Beutong Ateuh, yang mereka sebut Serangan Fajar.
Dalam operasi itu, polisi berhasil menyita satu ton ganja yang dipanen dari lahan seluas 250 hektare. Polisi juga menangkap lima orang anggota sindikat ganja, yang menurut keterangan polisi, mengaku berada di bawah koordinasi Teungku Bantaqiah.
Akibatnya, Bantaqiah ditangkap pada tanggal 23 Oktober 1993, di desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh. Walau awalnya ia ditangkap karena dituduh bekerja sama dengan pengedar ganja, tapi kemudian status penahanannya berubah menjadi tahanan politik. Ia dianggap telah melakukan tindak pidana subversif atau tindakan yang merongrong keamanan negara.
Bantaqiah disidang di awal Juni 1994 di Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada akhir September 1994 kasusnya sudah sampai tahap penyerahan berkas pada pihak kejaksaan. Pada bulan Oktober ia diajukan ke pengadilan.
Ketika itu hukuman untuk kasus subversif adalah pidana mati, seumur hidup atau penjara selama 20 tahun. Saat-saat pemeriksaan awal terhadap Bantaqiah, kasus jubah putih kembali diungkit-ungkit polisi.
“Peristiwa itu terjadi setelah pemilu. Waktu itu dia bertugas mengamankan pemilu di Beutong Ateuh, pokoknya berada di tengah-tengah lah, lagi pula Abang dulu juga pernah menjadi pendukung Golkar (partai Golongan Karya) di sana,” kata Abdul Muthalib.
Menurut lelaki ini, ketika ia menanyakan kebenaran semua tuduhan tersebut kepada Bantaqiah, sang abang menjawab bahwa semua tuduhan itu tidak benar.
“Mana ada itu? Di mana? Itu politik,” katanya, mengulang kata-kata abangnya.
Pada pertengahan Desember 1994, pengadilan Bantaqiah akhirnya digelar di Lhokseumawe dengan alasan keamanan. Bukti-bukti dihadirkan terkait dengan kasus ini adalah 49 lembar daun ganja, dua bendera GAM dan dua unit mobil. Saat persidangan juga diungkapkan bahwa ladang ganja yang ada di Beutong Ateuh merupakan usaha dan logistik untuk keberlangsungan GAM.
Pada tanggal 11 Januari 1995, Bantaqiah dituntut hukuman penjara seumur hidup. Tapi pada 24 Januari 1995, pengadilan memutuskan hukuman 20 tahun penjara untuknya, lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Hakim juga mengatakan bahwa ia secara struktural berada dalam GAM di bagian logistik atau pangan.
Bantaqiah dipenjarakan di Lembaga Permasyarakatan Lhokseumawe, lalu dipindahkan ke Lembaga Permasyarakatan Tanjung Gusta, Medan. Ia dibebaskan pada bulan April 1999.
Ia baru menjalani lima bulan masa tahanannya, ketika pemerintahan presiden B.J Habibie memberinya amnesti.
Bantaqiah sempat menceritakan situasi dalam tahanan kepada Abdul Muthalib.
“Saat dalam tahanan ada yang bilang saya diangkat sebagai wakil Hasan Tiro bidang logistik. Wah, pekerjaan besar itu kan,” ujar Abdul Muthalib, meniru ucapan abangnya saat itu.
Setelah mengunjungi kerabatnya selepas dari tahanan, Bantaqiah pun kembali ke Beutong Ateuh pada 21 Mei 1999. Beberapa warga Beutong datang untuk mem-peusijuk (upacara adat untuk keselamatan yang ditandai dengan membaca doa menabur tepung beras) sang teungku.
“Setelah itu tersebar kabar kalau kami pergi peusijuk senjata,” kisah Abdul Muthalib.
Belum lama Bantaqiah di kampung halamannya, tragedi pun terjadi.
“Saya tidak lihat kejadian itu, saya di sini. Hari itu kami dari Beutong Bawah tidak diperbolehkan naik ke sana. Jalan dijaga tentara,” lanjut lelaki ini.
“Yang saya tahu, abang ditembak setelah Usman anak pertamanya dipukul oleh tentara,” tuturnya.
Abdul Muthalib naik ke Beutong Ateuh saat ada beberapa wartawan yang pergi ke sana beberapa hari setelah kejadian. Kisah penembakan abangnya ia dengar dari warga.
“Waktu itu di sana bendera merah putih disuruh naikkan selama 24 jam, kalau diturunkan (orang) akan dipukul,” ujar Abdul Muthalib, seraya melihat ke arah jam dinding.
KEESOKAN harinya, setelah menunggu dari pagi, saya baru mendapat mobil tumpang ke Beutong Ateuh di siang hari. Nurila membantu saya mendapatkan tumpangan. Mobil itu adalah mobil milik puskesmas.
Saya duduk di belakang, bersama dua penumpang lain, bersatu dengan kardus makanan bayi, susu dan bubur.
Perjalanan ke Beutong Ateuh memakan waktu tiga jam lebih. Kabut di jalan cukup tebal. Hujan turun. Mobil terpaksa berhenti di tengah jalan dan kami sempat berteduh di sebuah kedai di tengah hutan.
Beutong Ateuh merupakan lembah yang dibentengi pegunungan. Hamparan sawah terlihat di bawah sana.
Setiba di Beutong Ateuh, saya diantar kesebuah rumah yang berhadapan dengan sungai yang berair jernih. Pamflet di depan rumah itu bertuliskan “Babul Mukarramah”.
Di situ saya berkenalan dengan Malikul, anak Bantaqiah yang ketiga. Malikul berbadan tinggi, berkulit hitam. Rambutnya panjang sebahu. Ia berpeci hitam, berkemeja dan kain sarung.
“Fatwa aliran sesat seperti dulu jangan sampai terulang lagi,” tegas Malikul. Ia trauma.
“Di sini cuma diajarkan mengaji. Kalau sesat kan harus ada bukti, begitu juga kalau salah,” katanya, lagi.
Saat ayahnya ditembak, Malikul sedang berada di Beutong Bawah. Ia bertanya-tanya kenapa ayahnya dulu dihukum, kenapa ia dibunuh, untuk apa ia dihukum dan untuk apa ia dibunuh.
“Setelah kejadian itu saya sempat dikejar-kejar,” tuturnya.
Dulu Malikul sempat kecewa terhadap nasib yang menimpa ayahnya. Ia mengenal ayahnya sebagai orang yang memperjuangkan partai Golkar di Beutong Ateuh. Tapi balasan yang didapatkan ayahnya sungguh tak setimpal.
Ia juga menyanggah pembunuhan ayahnya berkaitan dengan GAM.
“Waktu kejadian itu, kami tidak tahu ada GAM di sini. Heboh GAM waktu itu kan di Aceh Utara. Tidak ada orang GAM yang ke sini waktu itu,” ujarnya.
Malikul mengatakan bahwa setelah kejadian itu Babul Mukarramah ditutup dan kembali memperoleh santri setelah tsunami.
“Yang pergi ke sini adalah yang tidak diterima lagi oleh orang lain,” katanya.
Ia lantas menceritakan tentang HT (handy talky) yang membuat abangnya Usman dipukul tentara dan ditembak.
“Dulu di sini ada PT (perseroan terbatas; perusahaan) kayu entah apa namanya. Jadi karena ada kerja sama, dikasih satu HT untuk buat hubungan. Tapi tak lama kemudian HT itu rusak. Antenenya dipasang di atas pohon durian,” kisah Malikul, sambil bercanda dengan anaknya yang masih kecil.
Antene itu dianggap tentara sebagai alat komunikasi anggota GAM.
MALIKUL mengantar saya pergi ke rumah ibunya, Nurliah. Rumah ibu dan anak ini masih dalam satu pagar dan hanya dibatasi sumur. Rumah Nurliah bercat merah jambu. Pintu depannya berhadapan langsung dengan sungai. Di dinding rumah tergantung foto Teungku Bantaqiah, istri dan cucunya. Ada gambar ka’bah, juga sehelai bulu burung yang panjang. Tirai rumah itu merah jambu.
“Jangan tanya saya. Saya sudah lupa,” ujar Nurliah dalam bahasa Aceh sambil memalingkan wajahnya dari saya.
“Hari itu ada pengajian, tapi lebih baik tanya sama orang lain saja. Sama siapa saja tanya, ceritanya sama saja,” sahut Fatimah. Ia adalah anak keempat dan satu-satunya anak perempuan Bantaqiah.
“Yang dihukum cuma anggota, tapi kepalanya tidak. Jadi tidak perlu dibahas lagi,” kata Fatimah.
Nurliah tidak banyak berbicara. Sesekali ia tersenyum melihat tingkah laku cucu perempuannya, anak Malikul. Saya disuguhi kopi. Adzan magrib berkumandang.
“Nanti saja bicara lagi. Sekarang shalat dulu,” kata Malikul.
Langit sudah gelap. Hujan turun rintik-rintik. Udara begitu dingin. Fatimah mengajak saya ke sumur untuk berwudhu. Air sumur itu benar-benar dingin.
Setelah saya shalat terdengar suara mobil menderu di depan rumah. Rupanya ada tamu datang. Rombongan itu terdiri dari empat orang. Semuanya dulu pernah berguru di Beutong Ateuh. Setelah shalat magrib di mushala baru mereka masuk rumah. Di antara yang datang adalah Teungku Iskandar, yang dulu memimpin aksi jubah putih. Pucuk dicinta ulam tiba. Saya tak perlu mencarinya ke Meulaboh.
“Saya datang mau lihat kalian semua, lagi pula sudah lama tidak naik ke sini,” ujar Iskandar, membuka pembicaraan, dalam bahasa Aceh.
Iskandar mengatakan bahwa ia ke sini karena membaca berita di Serambi Indonesia. Ia khawatir dengan keadaan di Beutong Ateuh. Malam itu ia mengenakan kemeja kuning, celana coklat, dan peci hitam. Tubuhnya tinggi besar.
“Ali Hasyimi sudah mengakui bahwa ajaran Teungku Banta sama dengan ajaran Islam. Itu cuma salah paham Ali Hasyimi dan Ahmad Daudi. Masalah itu sudah selesai sejak diadakan pertemuan di pendopo Bupati Meulaboh dulu,” ujar Iskandar.
Iskandar sempat menimba ilmu agama di Beutong Ateuh pada tahun 1982.
Ia juga mengatakan saat melakukan aksi dulu mereka memakai bendera berlambang Alquran sebagai simbol kalau mereka tidak melenceng dari ajaran Alquran.
“Dalam Islam kan tidak ada bendera. Yang menjadi bendera Islam itu adalah yang haram jangan dihalalkan dan haram tidak boleh dihalalkan, yang benar jangan disalahkan, yang salah jangan dibenarkan, janji jangan diubah, amanah jangan ditukar,” ujar Iskandar, lagi.
Saat kami bercakap-cakap di ruang tamu, lampu mati tiap lima menit sekali. Sinyal telepon tak ada. Menurut Fatimah, di tempat ini listrik menyala dari jam setengah tujuh malam sampai dua belas malam. Ya, begini ini: mati-hidup, mati-hidup. Di luar hujan. Gemuruh air sungai terdengar sampai ke dalam. Sesekali terdengar suara petir.
Fatimah mengajak saya ke dapur untuk makan. Saya dipersilakan duduk di tikar bambu. Atap di dapur bocor di beberapa tempat. Air menetes-netes.
Sambil mempersiapkan lauk dan nasi buat tamu lainnya, Fatimah bercerita kalau beberapa bulan yang lalu Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, mampir ke sini.
“Pak Irwandi dengan isterinya duduk tepat di tempat adik ini duduk. Tapi sayang waktu dia datang tidak ada hujan. Jadi kan tidak bocor kayak ini,” kata Fatimah, sambil tersenyum.
Menurut Fatimah, Irwandi datang dengan mobil pribadi. Pemerintah kabupaten Nagan Raya bahkan tidak tahu rencana kunjungan mendadak pak gubernur. Ketika Irwandi sudah siap-siap pulang, baru mereka datang.
Selesai makan, Fatimah mengantar saya ke rumah tetangga yang bersedia menceritakan kejadian penembakan ayahnya. Rumah tersebut tidak begitu jauh dari dayah. Fatimah mengetuk pintu. “Assalammualaikum,” katanya.
“Wa’alaikumsalam, singgah,” jawab laki-laki dalam rumah.
“Ada perlu apa Nak Fatimah?” kata laki-laki tua, yang sedang merokok.
“Ada orang dari Banda. Ada yang mau ditanyakan waktu ayah ditembak dulu,” kata Fatimah, mengenalkan saya kepada lelaki ini. Namanya, Abdul Salam.
Rumah itu bersambung dengan kedai. Si pemilik kedai, Hasanuddin, juga hadir di situ.
“Oh, kalau itu jangan tanya saja. Suara tembakan masih terdengar kalau ada yang tanya tentang itu, seakan-akan kejadian itu baru kemarin terjadi,” sahut perempuan yang keluar dari rumah sambil menggendong anaknya.
Perempuan itu istri Hasanuddin. Ia masuk ke rumah lagi dan baru muncul setelah wawancara selesai.
Seluruh percakapan kami berlangsung dalam bahasa Aceh.
“Kami malas bercerita, karena sama saja ceritanya dan panjang sekali,” kata Abdul Salam.
“Sudah tidak apa-apa, cerita saja sedikit, sayang adik ini datang dari Banda sendiri ke sini,” kata Fatimah.
“Ya, sudahlah Fatimah. Kamu sudah berkata seperti itu, saya cerita sedikit,” jawab lelaki ini, sambil mengisap rokok nipahnya.
Abdul Salam mulai bercerita.
“Waktu itu pagi-pagi sekali ada orang yang lari. Saya waktu itu baru saja bangun tidur. Dia bilang, tentara datang. Sebentar setelah itu, di jalan sebelah sungai sana sudah penuh tentara,” kisahnya.
Semula ia melihat tentara datang dari arah desa Blang Pu’uk. Hari jumat itu tanggal 23 Juli 1999. Letak Blang Meurandeh dan Blang Pu’uk saling berhadapan, dipisahkan sebatang sungai.
“Waktu saya duduk di dekat sungai, waktu itu sudah jam delapan, hujan gerimis. Tentara sudah sampai di jembatan besi itu, sambil sedikit-sedikit jalan ke mari,” lanjutnya.
Jarak antara jembatan besi dengan pesantren Babul Mukarramah sekitar 500 meter. Karena saat itu Abdul Salam adalah kepala dusun, maka ia sempat meminta para tetangganya untuk membuka semua pintu dan jendela. Jangan ada yang tertutup, katanya. Setelah itu ia bergegas ke dayah, karena anaknya ikut pengajian di situ.
“Piyoh (singgah),” kata Bantaqiah waktu itu kepada Abdul Salam.
“Kajeut teungku (iya tengku),” jawab Abdul Salam
“Ho di jak awak nyan? (ke mana orang itu pergi?),” tanya Bantaqiah saat melihat tentara.
“Keuno sang, kiban ? (ke sini sepertinya, bagaimana?),” jawab Abdul Salam, lagi.
“Hana peu-peu (tidak apa-apa),” kata Bantaqiah. Kemudian Abdul Salam naik ke balai, sedang Bantaqiah meneruskan pengajiannya.
Pada pukul 11.00 tentara sudah mulai masuk ke pekarangan dayah. Mereka mulai memeriksa dan menggeledah. Tapi Bantaqiah tidak menghentikan pengajiannya. Orang-orang di ladang sudah pulang. Suara helikopter pun terdengar mengaung-aung di udara.
“Waktu itu teungku masih bilang tidak apa-apa, padahal hati saya sudah berdebar-debar, takut,” kata Abdul Salam kepada saya.
Salah seorang tentara berteriak, “Mana Bantaqiah?”
Bantaqiah tidak menampak diri. Sahabatnya, Yusuf, mencoba menanyakan maksud kedatangan para tentara.
“Kamu Bantaqiah?” tanya tentara itu.
“Bukan saya,” jawab Yusuf.
“Saya mau Bantaqiah yang ke sini,” kata tentara itu, lagi.
Yusuf bergegas naik lagi ke balai, kemudian Bantaqiah turun. Bantaqiah dibawa tentara itu agak menjauh dari balai.
“Mereka berbicara di sana, tapi saya tidak tahu persis yang dibicarakan karena jauh. Tapi kalau menurut pengakuan tentara itu, mereka mencari senjata. Setelah itu mereka mulai menanyakan tentang radio,” cerita Abdul Salam, mengenang kejadian tersebut.
Kemudian Usman, putra Bantaqiah, masuk ke dalam rumah diikuti beberapa tentara. Semua laki-laki yang ada di balai disuruh turun oleh tentara.
“Radio itu sudah rusak memang tidak bisa hidup lagi, namanya juga barang yang baru dilihat, jadi semua ingin pegang,” kata Abdul Salam kepada saya.
“Hari itu orang yang pergi pengajian ramai. Lagipula ada datang orang tua santri yang anaknya pergi mengaji di situ,” ujarnya, lagi.
Tak lama kemudian terdengar rintihan Usman dari dalam rumah. Setelah itu Usman meloncat dari jendela, lalu berlari ke arah kerumunan orang yang digiring tentara tadi. Ia sudah babak belur. Saat Usman lari, Bantaqiah sempat melihat ke arah putranya itu. Ia hendak menghampiri putranya, tapi dicegah tentara. Setelah itu Bantaqiah ditembak.
Ada tiga tentara yang berada di dekat Bantaqiah sebelum ia ditembak.
“Di sebelah selatan satu orang, di depan satu orang , sebelah barat satu orang,” kenang Abdul Salam.
Tentara yang menembaknya yang berdiri di selatan.
“Waktu itu saya masih di tangga balai, jadi kan nampak semua. Setelah itu saya baru loncat ke kerumunan orang yang sedang tiarap di depan balai,” kisahnya.
“Kalau dibilang kami simpan senjata, waktu itu kalau ditembak pasti kami balas tembak,” kata Abdul Salam, lagi.
“Walaupun tidak kena semua, satu orang pasti kena,” sahut Hasanuddin.
Setelah menembak Bantaqiah, para tentara itu mengarahkan moncong senjata mereka kepada orang yang sudah berkumpul tadi.
“Sebelum ditembak ke arah kami, ada bunyi keras tapi entah apa itu. Lalu peluru mulai ditembak, kemudian bunyi lagi yang keras, lalu menembak lagi. Ini terjadi sampai tiga kali, setelah itu mereka mundur sampai keluar dayah,” tutur Abdul Salam.
Saat itu pula Abdul Salam memutuskan lari lewat belakang pesantren. Tentara bukannya tidak tahu. Tapi pepohonan menghalangi pandangan mereka. Ia bertahan dua hari di dalam hutan.
Tapi Hasanuddin termasuk yang tak bisa melarikan diri.
“Kami yang yang tinggal disuruh buka baju, celana, pokoknya yang tinggal celana dalam saja, lalu disuruh tiarap. Semua baju dan kartu identitas lain dibakar, begitu juga dengan kitab-kitab, surat-surat milik dayah,” kata Hasanuddin.
“Sebelumnya kami dibariskan. Yang ada luka disuruh naik mobil. Katanya mau dibawa ke Aceh Tengah, mau diobatin. Kebanyakan bukan orang Beutong,” lanjut Hasanuddin.
Menurut Hasanuddin, korban yang meninggal saat itu dikubur dalam komplek dayah.
Mayat-mayat mulai dikumpulkan di siang hari. Tentara memanggil penduduk desa Blang Pu’uk untuk menggali dua lubang. Satu di belakang balai pengajian dan satu lagi tak jauh dari belakang rumah yang sekarang ditempati Malikul.
Jenazah berjumlah 31 orang, yang terdiri dari 11 orang penduduk Beutong Ateuh dan 20 orang dari luar Beutong. Tujuh orang dikubur di lubang belakang balai. Sedangkan 24 jenazah termasuk Bantaqiah dimasukkan dalam lubang di belakang rumah. Tanpa dishalatkan, tanpa dikafankan sesuai ajaran Islam.
Setelah itu tentara mencari senjata yang diduga disimpan di dalam meunasah yang berada dekat balai pengajian. Namun, mereka tak menemukan sepucuk senjata pun.
Para santri yang dibawa tentara ke Takengon, Aceh Tengah, juga tinggal nama. Beberapa hari setelah kejadian itu, jasad mereka ditemukan di dasar jurang di Kilometer 7 dan 8. Jumlahnya, 25.
Hanya seorang yang berhasil melarikan diri. Tapi ia meninggal karena kelelahan. Keseluruhan korban yang meninggal dalam peristiwa itu adalah 57 orang.
TEUNGKU Iskandar sedang tidak di Beutong Ateuh saat gurunya meninggal. Adiknya yang sedang mengaji di situ ikut jadi korban.
“Kata orang di sini, dia dikubur hidup-hidup. Padahal saat itu dia hanya pingsan setelah dipukul tentara dan hanya tertembak di kakinya,” tutur Iskandar.
“Saat itu dia haus dan minta air, tapi tentara itu menjawab agar minta pada Hasan Tiro,” lanjutnya.
Hasan Tiro adalah pemimpin tertinggi GAM, yang sampai kini masih berada di Swedia.
Kini kejadian buruk itu tinggal kenangan. Dayah Babul Mukarramah tak ramai seperti dulu. Rata-rata santri yang datang untuk keperluan “berobat”.
“Sekarang ada dua orang yang masih terpasung. Yang satu agak terganggu akalnya, yang satu dulu suka mengkomsumsi sabu-sabu,” kata Nurliah kepada saya.
Hanya ada satu santri perempuan di sini. Ia tinggal di rumah Nurliah, sedangkan santri laki-laki tinggal dekat balai. Mereka belajar tanpa dipungut biaya. Menurut Nurliah, mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mereka mau mengaji saja sudah membuat Nurliah senang.
“Beberapa bulan yang lalu bahkan ada yang mengantar anaknya berjalan kaki ke sini dari Takengon, kan sayang (tidak tega) kalau diambil bayaran,” katanya.
Di rumah Nurliah ada tiga kamar tidur. Saya tidur sekamar dengan Nurliah. Fatimah tidur dengan anaknya. Kamar ketiga ditempati santri perempuan itu.
Sebelum lelap malam itu, saya bercakap-cakap dengan Nurliah. Tapi tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya tentang kematian sang suami.
Saya sempat berziarah ke makam Teungku Bantaqiah dan santrinya sebelum meninggalkan Beutong Ateuh. Fatimah memberi saya beberapa buah labu Jepang sebagai oleh-oleh. Ia menyarankan saya mandi di sungai Beutong sebagai tanda kedatangan saya ke situ.
Saya cuma mengucapkan terima kasih. Air sungai berwarna kuning, bekas hujan semalam. Jalan juga becek. Hari ini banyak mobil ke Beutong Bawah untuk membawa sayur, buah dan lain sebagainya. Kebanyakan dari Takengon. Jarak Beutong Bawah ke Takengon kurang lebih lima jam kalau melalui Beutong Ateuh. Mobil bergerak pelan karena jalan licin.
Sampai di Beutong Bawah suasana sangat ramai. Hari Rabu merupakan uroe ganto atau hari pekan. Hari itu banyak barang dagangan yang dijual, mulai dari pakaian, mainan anak-anak dan barang-barang yang jarang dijual di hari biasa.
Saya berhenti di depan rumah Abdul Muthalib. Setelah pamit kepadanya, saya naik labi-labi ke Meulaboh dan meneruskan perjalanan ke Banda Aceh.
KASUS pembantaian Bantaqiah dan santrinya atau yang lebih dikenal dengan tragedi Beutong Ateuh akhirnya digelar di pengadilan koneksitas pada 19 April 2000.
Dua puluh lima orang jadi terdakwa. Namun, tersangka utama, Letnan Kolonel Sudjono, tak bisa diadili. Ia menghilang beberapa hari setelah kejadian Beutong Ateuh.
Pengadilan memanggil Manfarisah, istri kedua dari Bantaqiah, sebagai saksi. Tapi Manfarisah tidak menjawab panggilan itu.
Menurut Abdullah Saleh, ada beberapa hal yang membuat Manfarisah tak datang. Ia adalah kerabat Bantaqiah. Kakeknya dan kakek Bantaqiah bersaudara kandung. Saat ini Abdullah Saleh menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
“Ya, ada pihak yang tidak menginginkan pelaku diadili. Jadi memprovokasi, mendekati dan menghalangi agar keluarga Teungku Bantaqiah tidak menghadiri sidang,” tuturnya.
Abdullah tiba di Beutong Ateuh tiga hari setelah pembantaian tersebut. Ia membongkar semua kuburan untuk melaksanakan fardhu kifayah. Tapi karena mayat sudah mulai membusuk dan tidak bisa diangkat lagi, ia hanya menyiram kedua kuburan tadi dengan air dan menutupnya dengan kain kafan sebelum tanah ditimbun kembali.
Keputusan akhir dari pengadilan koneksitas diputuskan pada tanggal 17 Mei 2000. Sebelas terdakwa dijatuhi hukuman delapan tahun enam bulan. Tiga belas orang kena hukuman sembilan tahun penjara. Satu orang divonis 10 tahun. Walau pelaku utama tidak diadili, tapi Abdullah cukup bersyukur.
“Ini sudah pekerjaan besar dan sukses, karena berhasil dibawa ke pengadilan. Masih banyak kasus pelanggaran lain yang belum diadili,” katanya.***
[Khiththati] Tulisan Ini telah di publikasikan di AcehFeature.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar