Kamis, 20 Februari 2014

Mengenang Tsunami (Feature)

PUKUL 07.45, 26 Desember 2004, gempa besar 8,9 skala Richter mengguncang Aceh.
Fahrul terbangun pagi itu, karena ia merasa bumi bergoyang. Ia langsung tiarap, lalu bergegas keluar setelah gempa mereda. Dijalan orang-orang berlalu dengan tergesa-gesa, bahkan ada sebagian yang berlari-lari. Belum hilang rasa kaget Fahrul, tiba-tiba seorang tukang becak yang lewat di depan rumahnya mengatakan air laut naik. Setelah terdengar tiga kali ledakan, tsunami pun datang.
Semula ia cuma menyangka itu air pasang biasa. Tak berapa lama ia mendengar orang-orang mengatakan bahwa air sudah masuk kota. Ia ikut lari bersama mereka. Tapi langkah Fahrul terhenti begitu mendengar dari tetangganya banyak orang yang minta tolong di sungai yang tak begitu jauh dari rumahnya. Rumah Fahrul terletak di Lambuk, sekitar 15 menit dari pusat kota Banda Aceh.
Tanpa pikir panjang ia bergegas kembali ke rumahnya. Walau sudah dilarang ayahnya, ia tetap bersikeras pulang. Ia menitipkan jam tangan, dompet dan berpesan ia minta dicari bila nanti tak bertemu lagi.
Sampai di rumah diambilnya tali yang biasa digunakannya untuk memanjat tebing. Dengan membawa tali lengkap dengan alat-alat lain, ia dan tiga teman yang ditemuinya di jalan melangkah ke arah jembatan Simpang Surabaya.
Di jembatan itu sudah banyak orang berkerumun. Mereka melihat ke bawah jembatan, menonton orang yang minta tolong dan timbul-tenggelam di air hitam yang penuh sampah serta mayat itu.
Fahrul meminta orang-orang membuka jalan untuknya. Ia berjalan sampai ke besi pembatas, melihat ke bawah dan tanpa sadar ia menangis.
Dengan spontan, ia langsung mengikat tali di besi jembatan dan meluncur ke bawah. Semula ia ingin menolong seorang pria, tapi ia mendengar suara yang entah dari mana datangnya agar ia membantu seorang perempuan, sudah ibu-ibu. Susah payah, ia melalui tumpukan kayu yang menghalanginya.
Ia berhasil mencapai perempuan itu. Begitu si perempuan berhasil memegang tangannya, tetap tak mudah baginya naik ke atas. Ada orang lain yang ikut bergelayutan di tangannya. Mereka kembali tercebur ke air hitam itu. Perempuan tersebut lepas darinya.
Dalam sungai ia melihat banyak mayat melayang, sampai akhirnya nalurinya mengatakan bahwa ia telah menyentuh tubuh perempuan yang tadi ditolongnya. Ketika ia berhasil membawanya ke atas jembatan, perempuan itu malah terjun lagi ke sungai. Dengan susah payah, diraihnya kembali tubuh perempuan itu dari dalam sungai. Lagi-lagi, si perempuan ingin terjun. Ia tak ingin hidup lagi. Fahrul kemudian mencari akal untuk membujuknya.
Ia lantas berkata, “Nggak bisa begitu dong bu, anak ibu di atas tadi minta saya nolong
ibu.”
“Mana anak saya?” tanya ibu itu.
Fahrul menunjuk sembarang tempat di atas. Akhirnya mereka berdua kembali lagi ke atas jembatan. Sebuah ambulan lewat dan Fahrul yang mencari bantuan pengobatan segera meminta ibu tersebut masuk ke dalamnya. Sejak itu ia tak pernah lagi bertemu orang yang diselamatkannya itu.
Tepat setahun tsunami, sebuah pameran foto diselenggarakan di museum Banda Aceh. Fahrul datang, karena diajak temannya. Di depan sebuah foto, mereka berhenti. Sang teman merasa kenal dekat dengan subjek dalam foto tersebut. Fahrul juga berkomentar sama. Lama-lama ia sadar bahwa itu adalah foto dirinya dan perempuan yang ditolongnya. Mereka tergantung di tali. Pada keterangan foto tercantum tulisan “pemuda ini dan wanita yang ditolongnya tewas setelah akhirnya jatuh kembali ke sungai”.
Malam itu juga Fahrul protes kepada panitia dan meminta mereka mengganti keterangan di bawah foto.
“Itulah wartawan, setelah ambil foto langsung pergi jadi nggak tahu,” ujar Fahrul, sambil tersenyum.
Sekarang Fahrul agak gemuk dibandingkan waktu tsunami. Namun, tulang tangannya tak bisa kembali normal. Bekas tali pun masih menghitam di pergelangan tangan kanannya. Menjelang peringatan tsunami dia selalu bermimpi kejadian di jembatan itu.
Di hari yang sama, di tempat beda, Saiful Sulaiman tengah berada di laut. Ia nelayan desa Suak Ribee, Aceh Barat, tapi asal Palembang. Tahun 1975 ia meninggalkan kampung halamannya, pindah ke Aceh.
Saiful biasa melaut malam hari dan kembali siang esok harinya dengan membawa ikan-ikan. Malam minggu itu ia berangkat bersama 20 orang dengan 10 perahu. Awalnya Saiful juga tidak merasa ada yang janggal. Laut tenang dan airnya jadi dingin. Tidak ada ikan yang didapatkannya. Ia sempat melihat ada ombak besar menghantam darat tapi karena dari jauh, ia pikir cuma ombak pasang. 

Tak jua mendapat ikan akhirnya ia dan nelayan lain memutuskan untuk pulang. Saiful dan teman-temannya tak menemukan tepi pantai yang jadi tanda daratan. Rumah-rumah hilang digantikan wujud lautan berisi sampah. Perahu pun tak bisa berlayar karena tertahan kayu-kayu. Mereka kemudian berenang mencari daratan.
Saat tsunami itu Saiful kehilangan istri dan anaknya. Empat tahun setelah tsunami, saya menemuinya. Ia sedang membuat jala bersama istri barunya, di pinggir laut. Ada perubahan besar di Suak Ribee pascatsunami.
“Setelah tsunami di desa ini tinggal 30 kepala keluarga dari 200 kepala keluarga. Tapi sekarang sudah ramai lagi dan banyak yang saya tidak kenal,” ujarnya, seraya tersenyum.
Tapi bukan hanya itu perubahan yang terjadi. Setelah tsunami air laut jadi agak dangkal dan ikan berkurang. Selain perubahan alam, kedatangan kapal pukat harimau membuat nelayan tradisional seperti dia menjadi susah dapat ikan.
“Selain itu di sini banyak penjual buah yang mendapat bantuan perahu, bukan nelayan. Aneh kan?” kata Saiful, lagi.
EMPAT tahun setelah tsunami, Annisa masih terus memikirkan cara memperbaiki rumahnya. Rumah bantuan ini tanpa dapur dan kamar mandi yang layak pakai,  juga sudah miring sebelah. Rumah terus melesak ke dalam tanah, sehingga Annisa dan suaminya harus bertindak cepat sebelum rumah mereka hilang. Suami-istri ini bekerja sebagai penyadap karet. Desa Suak Nie, tempat mereka tinggal, sebagian besar daratannya sudah jadi laut. Warga yang ingin punya rumah harus membeli tanah.
“Semuanya akan ada jalan keluarnya?” tanya Annisa, kecewa.
Tsunami tak hanya melanda Aceh dan menewaskan lebih dari 150 ribu jiwa, kepulauan Nias di Sumatera Utara juga dilandanya. Di Nias, 850 jiwa jadi korban.
Saat tsunami menghantam desa Sisara Hili, Indra sedang berada di Gunung Sitoli—ibukota Nias yang letaknya beberapa kilometer dari desa tersebut. Indra relawan Palang Merah Indonesia. Pukul 12 siang dia bersama sembilan rekannya berangkat ke tempat bencana. Di hari itu 54 orang berhasil dievakuasi tim Indra dari desa yang dihuni 120 kepala keluarga itu.
Menjelang peringatan empat tahun tsunami, saya bertemu Indra Lesmana Adi Putra Lase dan temannya, Herman. Mereka memberi pelatihan siaga menghadapi bencana kepada warga.
Sama seperti di Aceh, Nias juga melakukan pembangunan kembali pasca bencana. Tapi hambatan juga ada.
“Pembangunan di sini juga berjalan lambat. Ada kesalahan di sana-sini. Bahan bangunannya juga tidak sesuai standar,” ujar Indra.
Rasa percaya dan harapan warga Nias terhadap terhadap Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pun telah memudar.[]
Khiththati (Tulisan Ini sudah di publikan di AcehFeature.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar