Kamis, 17 Agustus 2017

Melurusi Makna Peusijiuek (Feature)



Tepung Tawar atau lebih dikenal dengan istilah peusijiuek merupakan upacara adat yang masih menjadi tradisi di Aceh. Bertahun-tahun tradisi ini dilakukan oleh nenek moyang dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh, terutama pada hari-hari (peristiwa) tertentu, seperti pada upacara pernikahan, khithanan, menyambut tamu-tamu agung , serta dalam kegiatan lainnya yang sifatnya memberi semangat dan selamat untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.

Ritual ini biasanya dilakukan oleh orang yang dituakandan dihormati di daerah tersebut. Bahan Peusijiuek lazimnya menggunakan air yang telah dicampur dengan sedikit wewangian dan tepung, padi dan beras, daun-daunan (Oen Sijuk – Naleng Lakoo) serta buuleukat (nasi dari beras ketan).


Badruzzaman Ismail, ketua Majelis Adat Aceh (MAA) mengatakan, Peusijiuek  merupakan upacara adat yang sangat berfungsi positif. Pada ritual ini banyak masyarakat yang berkumpul dan sekaligus menjadi ajang silaturahmi serta menjalin keakraban antar masyarakat itu sendiri.

Tgk. Tarmizi dahmy, dosen fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry juga mengatakan “Peusijiuek  sarat akan makna qiasan didalamnya, seperti air yang diqiaskan kepada ketenangan dan kesejukan, padi dan beras yang melambangkan kemakmuran.” “Dapat kita lihat pada prosesi pernikahan, Peusijiuek yang dilakukan olehorang tua ketika memercikkan air sambil membaca doa yang bertujuan agar kedua mempelai nantinya menjadi tenang, tentram dan bahagia dalam menjalani rumah tangga kelak” Ujar Tarmizi.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh R. Kasman M,Si, salah seorang tokoh masyarakat desa Lam Keunung,  Tungkop. “penisbahan-penisbahan makna dalam   Peusijiuek  bukanlah dilakukan secara asal-asalan tetapi semuanya mempunyai maksud dan maknanya sendiri seperti halnya air, dedaunnan dan buuleukat itu sendiri.”

Peusijiuek  itu merupakan tradisi nenek moyang kita, memang kita sadari bahwa tradisi masa lalu tidak selalu baik atau tidak selalu buruk, jadi kalau memang banyak yang bagusnya apa salahnya jika dilestarikan” Ujar Alfisyah, Mahasiswi Fakultas Adab jurusan ASK.

Berbeda pendapat dengan beberapa orang, Heri Maulizar  mahasiswa fakultas Syariah punya pendapat sendiri. Menurutnya Peusijiuek  itu kuno dan tradisi lama yang kalau tidak dilestarikan juga tidak menjadi masalah, lagi pula itukan budaya hindu dab bukan budaya islam yang sebenarnya.
Cut Ratna Dewi berdiri diantara kedua pendapat yang berbeda menurutnya Peusijiuek  itu memang kuno  tapi mempunyai makna yang sangat bagus asalkan tidal dilaksanakan secara berlebihan. “walaupun kuno sekarang ini kita tidak dapat membuat sesuatu yang lebih baik” tambah mahasiswi fakultas Dakwah ini.

“Perbedaan pendapat tentang Peusijiuek  ini disebabkan karena oramg tidak mengerti  ataupun Cuma mengetahuinya sedikit –sedikit saja mengenai hal ini” Ungkap Tgk. Tarmizi Dahmy.

Mengenai sejarah Peusijiuek  sendiri ada dua pendapat yang berbeda. Menurut pendapat pertama Peusijiuek  dilakukan pertama kali oleh Rasulullah sewaktu menikahkan anaknya Fatimag Az Zahra dengan Ali Bin Abi Thalib. Nabi Muhammad kemudian meminta Fatimah mengambil sebaskom air lalu air tersebut dipercikan kepada kedua mempelai sambil membaca doa seperti yang tertulis dalam kitab Zinatul Asrar.

Menurut pendapat kedua, sebenarnya Peusijiuek  itu awalnya berasal dari ritual agama Hindu sebelum Islam masuk ke Aceh. Namun ketika Islam mulai masuk ke Aceh, para penyiar agama Islam menjadikan Peusijiuek  sebagai sarana dakwah, yaitu dengan mengganti lafal-lafal yang ada didalamnya dengan doa-doa yang ada di dalam Al-Quran. Hal ini dilakukan oleh para pedagang dari Gujarat, India. Kesamaan kedua pendapat ini adalah sama-sama ada sewaktu Islam masuk ke Aceh.

Namun menurut pendapat H. Badruzzaman Ismail “hal-hal itu tidak perlu di permasalahkan, karena sampai saat ini belum ada seorang ulama pun yang mengatakan Peusijiuek  itu haram atau tidak boleh dilakukan, baik itu ulama salaf (tradisional) ataupun ulama modern sekarang ini.”

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tgk. Tarmizi Dahmy, “ Jika Peusijiuek  itu dikatakan tidak sesuai dengan syariat  jadi kenapa kalau para pejabat datang tetap di Peusijiuek  ataupun mereka yang berangkat berhaji, sebenarnya yang tidak boleh itu adalah berlebihan.”


“lagi pula kalau tidak di Peusijiuek  juga tidak apa-apa, karena itukan adat jadi tidak berdosalah bagi yang melakukan atau yang tidak melaksanakan” tutur R. Kasman M,Si. “Peusijiuek  merupakan tradisi warisan nenek moyang kita, namun tanpa dilestarikan semua tradisi tersebut akan hilang, tapi ingat jangan berlebih-lebihan karena Islam sendiri tidak menyukai sesuatu hal yang dilakukan secara berlebihan” Tambahnya diakhir wawancara.[] Khiththati (Tulisan ini telah dimuat di Majalah Sumberpost Edisi III tahun 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar