Sabtu, 19 Agustus 2017

Ramadhan Dengan Rasa Yang Berbeda (Feature)


Ratusan lampu berwarna warni dan cahayanya menerangi berbagai lorong yang dulunya hanya memiliki penerangan yang biasa saja. Tidak ada pawai dan karnaval yang akan terjadi apalagi kontes untuk memilih lorong paling cantik namun ini semua dilakukan untuk menyambut tamu istimewa yaitu ramadhan diseluruh penjuru Mesir. “kalau diIndonesia upaya memperindah lingkungan biasanya dilakukan saat menyambut lebaran namun disini malah saat menyambut puasa, mereka bahkan beramai ramai membeli baju baru” Cerita Farhan Jihadi, Mahasiswa Aceh yang sedang melanjutkan pendidikan dinegeri piramida itu.

Mesir menyambut ramadhan, Photo by Farhan JIhadi

Ada beberapa cerita menarik tentang berpuasa diluar negeri yang diceritakan oleh para mahasiswa asal Indonesia terlebih Aceh yang melewatkan Ramadhan mereka di luar negeri. Para musafir ini berpuasa sembari menuntut ilmu. Sebagian dari mereka juga berjuang berpuasa di musim panas dikarenakan berada di belahan bumi bagian utara
.
Sahlan Zuliansyah, Mahasiswa Aceh peraih beasiswa DAAD  pemerintah Jerman ini sudah tiga tahun melewatkan ramadhannya ditengah musim panas. “Awalnya sangat sulit beradaptasi dengan singkatnya malam hari jadi waktu berbuka, sahur dan tarawih menjadi sangat singkat.” Bila di Aceh kita hanya menahan lapar dan dahaga selama 13 jam namun bagi masyarakat muslim di Jerman mereka melakukannya hingga lebih dari 19 jam ditengah musim panas. “karena singkatnya waktu sahur sangat penting buat cermat mengatur waktu makan, saya biasanya hanya makan berat saat berbuka dan hanya makan buah serta banyak minum air saat sahur atau sebaliknya”kisahnya lagi. “sebenarnya singkatnya waktu tidur malamlah yang lebih berat bagi saya ketimbang lamanya waktu berpuasa, makanya untuk menjaga tubuh tetap fit saya juga menyempatkan diri untuk tidur siang” Tambah mahasiswa HafenCity University Hamburg (HCU) ini.

Hal yang sama juga dirasakan muslim Tiongkok, Korea Selatan, Amerika Serikat bahkan Semenanjung Arab yang berpuasa ditengah musim panas. Nurul Wahyuni, mahasiswi asal Aceh yang tengah melanjutkan pendidikannya di West Virginia University, Amerika Serikat ini memerlukan beberapa hari untuk beradaptasi dengan lamanya waktu berpuasa. “paruh pertama ramadhan itu terasa sekali capeknya karena juga belum terbiasa dengan iklim yang ada namun setelah itu jadi terbiasa sendiri” tutur alumni Unsyiah ini. “biar lebih semangat dan kuat saat sahur ya makan sayur yang banyak” tambahnya lagi.

“Berpuasa di Korea berpuasa saat ini sekitar 17 jam dan musim panasnya tidak ada angin, kering karena kelembapannya kurang jadi banyak memproduksi keringat dan gerah sehingga lebih mudah capek” Cerita Mutiara Hikmah Mahendradatta. Muti begitu ia bisa dipanggil sudah melewati lima kali ramadhan di negeri gingseng. Awalnya ia agak terkejut dengan cepatnya imsak dan lamanya waktu berbuka. namun untuk menghindari kelelahan dan dehidrasi ia lebih memilih melakukan banyak kegiatan didalam ruangan. “kalau nggak ada kegiatan apa apa lebih baik berada di rumah terlebih disini tidak ada istilah ngabuburit seperti di Indonesia” Sambungnya lagi.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Kukuh Pamuji yang baru pertama kalinya melaksanakan ibadah ramadhan di negeri tirai bambu, China. “Awalnya selalu kangen sama suara sirine yang ada menjelang sahur atau berbuka, takjil yang banyak dan harus membiasakan diri juga karena ini musim panas jadi banyak yang makan es krim di jalan-jalan.” Menurut kukuh tidak ada suasanya yang berbeda ditempat ia menuntut ilmu sekarang dalam menyambut bulan ramadhan. “tapi disitulah tantangannya tapi saya nggak tau kalau dengan distrik lain yang penduduk muslimnya lebih banyak” Tambah mahasiswa yang saat ini tinggal di Nanjing ini.

Moroko, negara di semenanjung Arab ini juga sudah beberapa tahun masyarakatnya melaksanakan ibadah puasa kala musim panas selama 17 jam dengan suhu mencapai 44 derajat celsius. Namun ini tidak memupuskan semangat Muharril Ashary menjalankan rukun islam yang ketiga ini. Alumni UIN Ar-Raniry ini sedang menuntut ilmu di Université Cadi Ayyad Marrakech. “karena kota Fez, tempat saya tinggal dan menempuh studi termasuk wilayah yang iklimnya paling ekstrem saat musim panas dan musim dingin, namun itu sudah terlewati dengan baik dan sekarang saya sudah melewatkan ramadahan ke enam disini” kisahnya lagi. Lulusan Sastra Arab ini juga memberikan beberapa tips melewati ibadah puasa kala cuaca panas.  “Saya memperbanyak minum air putih di malam hari dan juga mengonsumsi kurma, buah-buahansegar serta mengurangi kegiatan berat di siang hari karena itu akan membuat tubuh cepat dehidrasi dan lemah.”

Shalat Tarawih, Photo By Farhan

Mesir menyambut bulan penuh berkah ini dengan penuh suka cita walaupun melewatinya pada musim panas dengan durasi 16 jam. Orang-orang dinegeri seribu menara ini sangat mencintai Ramadhan saat bulan ini tiba tempat-tempat berbuka puasa gratis tersedia cukup banyak, mereka menyebutnya jamuan Ma'idaturrahman atau hidangan kasih sayang. Bahkan mereka berlomba-lomba menghidangkan makanan terbaik untuk merebut jama'ah. “Jika kita jalan-jalan menjelang buka puasa, pasti banyak tawaran untuk berbuka puasa, diajak dan bahkan karena kita mahasiswa asing sering dirangkul atau ditarik untuk berbuka bersama mereka. Selama itu juga mahasiswa asing tak perlu takut kelaparan, Sekali lagi jumlahnya cukup banyak sep lee pokok jih laju” Kisah Farhan Jihadi sudah melewatkan tiga tahun ramadahan disana.

Masyarakat Mesir juga gemar bersedekah dalam bentuk lain selain Ma'idaturrahman. Orang-orang ini biasanya bersedekah secara langsung, menemui orang yang dianggap membutuhkan, termasuk orang-orang mahasiswa asing yang dianggap musafir. “Tak jarang kita mendengar dan melihat, dermawan Mesir memberikan kepada orang lain atau mahasiswa asing secara tiba-tiba, baik dalam bentuk uang atau kantong plastik berisi sembako (Syanthah Ramadhan), Biasanya mereka memberi atau membaginya di mesjid, di jalan-jalan atau diantar langsung ke rumah-rumah orang miskin atau mahasiswa asing” Sambungnya lagi.

Kala Ruri Widyasari melewati Ramadhannya di Chaiang Rai tidak ada kendala yang berarti yang ia hadapi karena jadwal berpuasa di Thailand memang hampir sama dengan di Indonesia. “Pengalaman puasa disini memang tidak senikmat di Aceh tapi orang-orang Thailand sendiri sangat menghargai muslim yang sedang menjalankan ibadah ramadhan” Kenangnya. 

Saat puasa yang paling ditunggu pastinya saat berbuka karena para mahasiswa yang tinggal jauh dari tanah air ini kadang kala menggunakan waktu iftar untuk berkumpul dengan warga Indonesia yang lain dan juga muslim-muslim dari berbagai negara. Teman teman dari negara dengan minoritas muslim kebanyakan dari mereka melewatkan waktu berbuka bersama dimesjid mesjid terdekat dengan menu yang disedekahkan atau memasaknya sendiri. “Buka puasa bersama selalu di mesjid dengan menu bervariasi namun buka puasa bersama komunitas muslim lain dan juga teman teman Indonesia juga dinanti” Ungkap Nurul Wahyuni. Namun ada kalahnya mahasiswi ini rindu dengan menu andalannya ketika di Aceh, “Pepaya kerok itu suka kepingin karena bisa dibilang kesukaan saya.”

Hal yang sama juga dirasakan oleh Sahlan dan Kukuh yang sering menghabiskan waktu buka puasa di mesjid. “bagi saya sebagai mahasiswa maka waktu buka puasa bersama yang paling ditunggu”Ungkap Sahlan. “di Hamburg, komunitas Indonesia menagadakan buaka puasa bersama secara rutin setiap akhir pekan selama ramadhan di kantor konsulat selain itu mesjid yang ada disini juga mengelarnya setiap hari” Tambahnya. Hal yang sama juga dirasakan Kukuh, ia juga terkadang menghadiri acara berbuka bersama di mesjid sekitar Nanjing dan berbuka puasa dengan muslim yang datang dari berbagai negara, “seringnya juga memasak sendiri jadi bisa membuat beragam menu ala kampung halaman.” Ia meramu sendiri beragam menu tersebut dari rendang, sambal hingga gado gado. “kalau menu khas yang terkenal disekitar ada Ji Mifan yaitu semacam gule kari ayam yang dijual oleh muslim dari kota Lanzhou” Kisah mahasiswa Nanjing University.

Kerinduan berbuka dengan menu Indonesia juga dirasakan oleh Mutiara Hikmah, ia saban harinya jika ada waktu selalu menyempatkan membuat es buah “tapi harus menggunakan sirup dari Indo wah itu nggak bisa ketinggalan.” Walaupun begitu ia juga mempunyai menu Korea favorit yaitu Samgetang yaitu ayam yang dimasak bersama gingseng. Waktu sabtu dan minggu juga digunakan oleh komunitas muslim Indonesia untuk mengadakan buka puasa bersama di KBRI dan saling mengunjungi teman teman yang mengadakan buka puasa dikediaman mereka. “buka puasa di KBRI itu paling ditunggu karena selain bisa bersilaturahmi juga bisa menikmati makanan ala negara sendiri” Ceritanya lagi.

Muharril Ashary dan Farhan Jihadi sepertinya mempunyai pilihan menu yang lebih banyak untuk iftar mereka. Menu berbuka favorit terutama menu kuliner khas Maroko diantaranya msemmen (mirip canai), chebakia (kue manis), sup harira (sup tomat yang berisi potongan daging sapi dan kacang-kacangan), beidh/oeuf (telur rebus yang ditaburi garam dan bubuk jintan) “dan tidak lupaattai bi na’na’ yaitu tea mint khas Maroko”sebut Muharril lagi. 

Di Mesir menu berbuka puasa tidak banyak variasi seperti di Indonesia,  mereka biasa berbuka dengan daging, baik ayam maupun sapi Lalu ada kuah kuning berupa kacang atau kentang dan syurbah (kuah sop). Untuk minumannya biasanya mereka minum sobia (yang diolah dari susu, sari kelapa, tepung kanji, vanili dan gula serta dihidangkan kala dingin) tamar hindi (minuman dari olahan asam jawa dan gula), arkasus, karkadih minuman dari sari bunga rosela dan kurma susu. “Kalau kami ingin menu favorit, biasanya kami masak sendiri menu ala Indonesia”Ungkap Farhan Jihadi. “tapi ada juga menu favorit disini yang mirip di Aceh yaitu air tebu wah ini selalu ada menemani berbuka dan sangat laku namun tetap buka pasa dengan perkumpulan mahasiswa Aceh yang paling ditunggu karena menu utamanya kari kambing” sebutnya lagi.

Makanan berbuka puasa bagi muslim Thailand adalah kolak dengan olahan tradisional namun bagi Ruri, buah buahan tetaplah menjadi menu berbuka favorit. “tidak ada banyak sih apalagi gorengan itu jelas jarang sehingga sering kali langsung dilanjutkan dengan makan nasi namun kalau ada undangan buka puasa bersama lain ceritanya, lagi pula kita harus bersiap untuk tarawih jadi juga nggak sering makan banyak”tuturnya lagi. Ruri dan teman-temannya sering melaksanakan ibadah terawih ditempat yang disediakan oleh pihak kampus  Mae Fah Luang sehingga lokasinya tidak begitu jauh dari asrama.

Sahlan merasakan tarawih di mesjid mesjid Jerman selalu semarak dan ramai dan juga dapat kita temukan berbagai wajah muslim termasuk Asia “bacaan imamnya merdu dan jamaah selalu memenuhi mesjid dari awal hingga akhir ramadhan.” Hal yang sama juga di alami oleh Kukuh Pamuji di Mesjid Nanjing. Namun bagi Nurul ia memilih melaksanakan ibadah sunah ini  tempat tinggalnya  “Tidak serame di Aceh memang karena kebanyakan melakukan tarawih dirumah karena shalat tarawih baru dimulai jam 11 dan selesai diatas jam 12 malam Terutama yg perempuan lebih suka dirumah masing- masing” Ungkapnya. Mutiara Hikmah lebih sering melaksanakan terawih dengan teman teman dikampus mereka “atau ada teman yang tempat tinggalnya yang agak luas.”

“Jujur tarawih di Mesir lebih meriah dan semarak dibandingkan di Aceh,  Mesjid-mesjid bukan hanya penuh di awal-awal Ramadhan tapi hingga akhir, khususnya malam 27 Ramadhan” Papar Farhan Jihadi. Ketika Malam 27  Ramadhan jama'ah shalat Tarawih sangat membludak  ini disebabkan karena sanggapan bahwa malam 27 merupakan malam lailautul qadar. “walaupun lembaga fatwa Mesir Dar Ifta memutuskan bahwa shalat Tarawih 20 rakaat seperti mazhab empat, jumlah Tarawih sendiri yang dilaksanakan tetap bervariasi seperti lazimnya di Indonesia, ada 20 rakaat, ada juga 8 rakaat. Namun, jama'ahnya selalu ramai hingga akhir Ramadhan”ujarnya lagi.

Hassan II Casablanca menjadi pilihan favorit Muharril melaksanakan tarawih di Moroko, mesjid ini termasuk diantara 10 masjid terbesar di dunia namun selalu penuh terutama saat malam 27 yang dipercaya sebagai malam lailatul qadar. “Pada malam itu berlangsung sejak ba’da Isya hingga sebelum Subuh dan jamaahnya pun bisa mencapai 100 ribu orang sehingga sebagian para jamaah melaksankan shalat dijalan” kenangnya. Tradisi lain yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Maroko, yaitu pengajian raja yang dinamakan dengan Durus Hassaniyah dengan mengundang ulama-ulama dari mancanegara, termasuk beberapa ulama dari Indonesia.

Mesir dan Moroko merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim sehingga tidak ada kesulitan untuk menjelaskan makna berpuasa disana namun beberapa teman-teman yang lain mendapatkan pengalaman unik saat menjelaskan rukun islam yang ke tiga itu. “walaupun kebanyakan orang disini sudah tau Ramadhan dari media yang ada namun mereka tetap khawatir terlebih jika gelombang panas datang karena puasanya lama malahan terkadang ada menawarkan air karena takut kita sakit namun kita jelaskan lagi apa itu puasa”ungkap Mutiara Hikmah. Ruri juga menggungkapkan hal yang senada “pertanyaan yang pertama keluar itu kok sanggup apa nanti nggak mati atau sakit.” “lalu dijelaskan lagi bahwa ini kewajiban muslim dan juga cara kita untuk lebih bersyukur”sambungnya lagi.

Menjelaskan makna puasa tidaklah sulit bagi Sahlan walaupun seringkali ia harus mengatakan bahwa kewajiban ini tidak menyulitkan sama sekali dan tidak memberatkan. “saya menjelaskan ramadhan sebagai sarana untuk menumbujkan dan menguatkan rasa syukur, kepedulian terhadap sesama, peningkatan ibadah dan mengasah pengendalian diri” ujarnya. Di Amerika menurut Nurul bahwa Kebanyakan orang tahu apa itu ramadan jadi tidak begitu sulit menjelaskan “terlebih dibudaya kristen juga ada tradisi puasa jadi itu tak begitu asing bagi mereka.”


Petugas Mesaharati di Mesir sudah mulai menabuh drum dengan kayu sambil berkeliling. Ia berteriak sambil menabuh drum untuk membangunkan warga  tanda sudah tibanya sahur bagi mereka yang berpuasa. Seperti warga lainnya Farhan juga memulai harinya dibulan Ramdhan dengan suara lantang dari Mesaharati. [] Khiththati

*(Tulisan ini sudah dimuat pada Tabloid Kiprah Dinas Pendidikan Aceh Edisi Ramadhan Tahun 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar